Tajuk Tamu Tribun Manado
Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern dan Melek Inti Keagamaan
Ateisme filosofis itu justru paling berbahaya daripada yang diduga orang ateisme praktis. Ibarat orang tanpa gejala (OTG) di zaman pandemi Covid-19.
Kedua, masih sejalan dengan makna apologetika sebagai bagian dari proses pertanggungjawaban iman personal (komunal), yakni dengan menunjukkan kebenaran utama dari ajaran Kristiani sendiri, yakni Hukum Kasih yang menjadi utama sebagaimana diajarkan dan diteladankan Yesus sendiri sebagai kegenapan dan kesempurnaan itu. "Jika ada cinta kasih hadirlah Tuhan". Dan sesungguhnya tak banyak jurus kutipan ayat yang dipakai penulis sebagaimana lazimnya pengkhotbah merasa wajib menyebut ayat untuk sekadar memastikan bahwa dia (dinilai) hanya menyatakan kebenaran firman Tuhan, bukan sedang memakai pikiran, ego, bahkan suara hati sendiri. Benni bahkan tak berusaha berteologi, tapi memang lebih banyak memberi penjelasan dan menunjukkan aspek dan sisi kekeliruan ateisme filsuf masing-masing, termasuk kekeliruan teori filsafat utama sejauh dianggap perlu.
Ya, sebagai seorang pemikir dan filsuf jelas Benni memang menggunakan rasionalitasnya, konkretnya penelitian kepustakaan yang luas dan pengalaman intelektual, spritual, dan sosial umumnya tentu saja, yang bisa diasumsikan didasarkan pada kepekaan iman kristiani yang sudah diwarisinya sejak dalam kandungan yang penuh misteri itu, bagaikan rancang kreasi agung sang arsitek kehidupan. Kecenderungan berpikir teistis itu mestinya sudah ada dalam diri setiap insan manusia. Maka juga tampak Benni sangat percaya diri dan menunjukkan wibawa yang otoritatif yang tak kurang seperti dimiliki seorang pengkhotbah yang mesti selalu mengutip ayat dari Alkitab yang bahkan sampai dihafal di luar kepala.
Benni mengelompokkan ateisme itu dalam beberapa sifat yang menjadi penekanan atau yang tampak secara tekstual dan tentu saja dengan segala kecenderungan lemah dan kuatnya dalam jagad lintasan pemikiran dan arena pertarungan pemikiran filsafati berhadapan dengan paham yang teistik. Pertama, Tuhan jangan ada, yang paling jelas dalam teori etika Nietzche, yang dianggap ateisme yang paling lemah. Kedua, bahwa Tuhan tidak dapat diketahui oleh "pengetahuan yang benar", suatu sifat ateisme yang dibangun atas dasar epistemologi seperti tampak dalam filsafat ateisnya Hume, Kant, Comte, Wittgenstein, juga dalam Pragmatism, dll. Ini pada dasarnya sama dengan yang pertama, pokoke Tuhan mesti ditolak dan tak boleh ada. Ketiga, Tuhan tidak ada di mananapun karena "Tuhan" yang ada ternyata bukan Tuhan yang diajarkan agama-agama. Ateisme Feuerbach, Freud, Durkheim, Taylor-Frazer, juga Marx dengan teori alienasinya tergolong dalam sifat ini. Keempat, tak mungkin ada Tuhan, seperti yang diteorikan oleh Sartre bahwa Tuhan adalah suatu ketidakmungkinan, dan ini memberi kesan ateisme yang paling kuat.
Keberagaman sifat dasar dari filsafat ateisme ini justru saling berbeda dan saling menihilkan sehingga sebenarnya makin jelas kerapuhannya sebagai sebuah sistem filsafat. Dan Matindas menyimpulkan lanjut bahwa sebenarnya mereka memang memilih bersikap ateistis bukan karena didasarkan pada filsafat atau teori mereka yang berimplikasi ateisme, tapi sebaliknya mereka tergiring membangun filsafat yang ateistik karena pada dasarnya mereka sudah ateis, berangkat dari kehendak bebas dan sikap dasar yang sama: menolak Tuhan.
Berbeda dengan keragaman sifat dasar dari setiap aliran dan denominasi gereja dalam Kristianitas misalnya, yang masing-masing atas caranya sendiri mempunyai kecenderungan eklesiologi tertentu, tapi masih menunjuk pada hakikat Gereja itu sendiri dengan penekanan tertentu. Dan karena itu alasan mengapa tidak bisa dibenarkan lagi orang saling menuduh sesat sampai kutuk mengutuk antardenominasi itu seperti yang dulu bahkan masih sering terjadi belum lama ini tokoh besar dari dua tiga bahkan lebih saling menyerang yang dipicu oleh pendapat dan sikap menghadapi anjuran physical distancing dalam beribadah. Semuanya mengaku dan percaya pada Yesus yang satu dan sama adalah Tuhan Allah yang memasuki dunia dalam segala kemanusiaanya kecuali dalam hal dosa. Perbedaan jumlah kitab dan tafsiran dalam beberapa bagian yang membuat beberapa doktrin berbeda biasanya disikapi dengan hormat pada keyakinan personal dan lembaga gerejani masing-masing yang diyakini sebagai institusi Ilahi yang suci sekaligus sosial manusiawi yang tak luput dari dosa. Juga dalam tataran agama tradisi Abrahamik khususnya, ada banyak kesamaan yang membuat kita bersatu di bawah paham monoteisme, dan perbedaan kitab serta tafsiran pada akhirnya dikembalikan ke wilayah iman keyakinan yang mesti diakui dan dihargai dan punya sejarah serta penjelasan rasionalnya yang khas.
Namun terhadap ateisme sebagai sebuah paham berpikir dan bertindak, yang baru muncul dan dimunculkan justru berpretensi mengoreksi dan bahkan meninggalkan kepercayaan dan filsafat ketuhanan, tampaknya penyelesaian perbedaan itu secara iman keyakinan jelas mengandung problematik karena keduanya memang saling meniadakan, "teisme vs ateisme". Tidak bisa seorang yang berkhotbah tentang teisme lalu tak memusuhi lagi ateisme. Orang ateis mungkin saja masih menerima Tuhan dalam bentuk dan cara lain dari kaum beragama, misalnya, atau menjadi agnostik alias tidak tahu atau belum tahu pasti ada tidaknya Tuhan.
Sampai di sini saya terinspirasi kemudian dengan kuliah online dalam “Kala Kalam” yang diadakan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta tadi sore (27/7) yang menampilkan dua dosen, ahli Alkitab dan ahli Islamologi, dalam dua sesi tema masing-masing yang sangat peka karena memang membuat umat beriman awam maupun profesional bingung dan bertanya bahkan ribut dan teprovokasi khususnya di media sosial. Menurut saya, dua narasumber itu sangat paham dengan tema dan perspektif serta tujuan yang dirancang mereka, termasuk menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta, cerdas dan bijak! Ya, bagaimanapun juga pada hakikatnya sebuah apologetika, – walau sering dipicu oleh konteks problem dan kecemasan dari luar seperti terlacak dalam beberapa peristiwa dan tokoh pada zamannya bahkan sekarang masih terjadi pengulangan yang sama, – apalagi apologetika kristiani, bukan pertama berangkat pertama dari ketakutan dan kecemasan tentang yang lain atau di luar itu, melainkan mesti terutama berangkat dari semangat memahami internal secara benar dan tepat apa yang diimani dan diritualkan dan dihidupi dalam keseharian nyata.
Dengan demikian diharapkan agama Kristen dan semua agama lainnya tetap relevan dan menjawab kebutuhan alamiah manusia untuk menjalani kehidupannya lebih baik. Penting disadari karena itu sebuah apologetika sebagai sebuah usaha pikiran manusiawi mau tak mau mesti tetap terbuka pada dialog bahkan kritik, misalnya sejauh mana memahami tuntas paham agamanya sendiri sehingga bisa menyebut ajaran agama lain termasuk ateisme itu keliru dan salah? Sebagaimana tuduhan dan serangan Dawkins dan para ateis lainnya membuat kaum beragama merasa tidak dipahami dengan benar dan tepat, demikian sebaliknya juga adalah sebuah kemungkinan bahkan ada poin-poin kritik para ateis itu secara faktual ada terutama terkait kekerasan atas nama agama bahkan demi Tuhan sendiri menunjukkan problem ber-Tuhan dalam cara memahami dan menghidupi agama masih sering menghantui dunia, karena kaum beragama belum selesai atau telah keliru menafsirkan teks-teks kekerasan dalam kitab suci.
Yang pasti buku ini membuat Anda yang cemas karena kesulitan belaka memahami ateisme akan mendapatkan keberanian yang mantap sekaligus untuk menjadi lebih paham dengan posisi inti dan utama beriman secara rasional dan bertanggung jawab. Bila pembaca ingin menambah pengetahuan lebih benar dan meyakinkan tentang Tuhan dari sisi kritik atas filsafat ateistik, membaca buku ini sangat dianjurkan karena bermanfaat. Mengerti semua kekeliruan ateisme hanya akan membuat kita makin mensyukuri nikmat karunia rasio dan iman yang bagaikan double helix dari DNA yang satu dan sama dari setiap manusia ciptaan. Memaknai filosofi Hari Raya Kurban (Nabi Ibrahim/Abraham), membeli dan menyembelih hewan kurban sama dengan mematikan nafsu hewani (termasuk segala kecenderungan dan tindak kekerasan kotornya) yang sering membuat manusia luhur itu tidak menggunakan lagi akal budi dan akal imannya yang sehat dan aman. Bahkan kadang tiba saat akal itu kurang, rahmat Kasih itu mencukupi untuk manusia tetap mencintai Tuhan dan sesama serta lingkungan sekitarnya. (*)
• Gagal di Pilpres, Sulit Bagi Sandiaga Uno Kembali Terjun ke Dunia Bisnis, Kini Fokus Jadi Youtuber
• Harga Emas Tembus Rp 1 Juta per Gram: Tertinggi Sepanjang Sejarah