Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu Tribun Manado

Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern dan Melek Inti Keagamaan

Ateisme filosofis itu justru paling berbahaya daripada yang diduga orang ateisme praktis. Ibarat orang tanpa gejala (OTG) di zaman pandemi Covid-19.

zoom-inlihat foto Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern dan Melek Inti Keagamaan
ist
Stefi Rengkuan

Oleh:

Stefi Rengkuan

Anggota Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA)
Wakil Bendahara Perhimpunan Intelektual Kawanua Global (PIKG)
Bendahara Umum Ikatan Alumni STFSP

DISKUSI buku pada Minggu, 26 Juli 2020, yang diselenggarakan Forum Spritualitas ESOTERIKA mengupas dan mengkritik pemikiran ateisme Charles Dawkins patut dihargai di tengah ketidaktahuan dan ketidaksadaran masyarakat akan bahaya ateisme yang secara halus disuburkan sejak semangat zaman yang mengagungkan kebebasan berpikir termasuk pikiran liar sampai tertib yang menolak Tuhan seolah dianggap pencapaian intelektual tertinggi. Sementara malah tak kurang filsuf teolog besar seperti Aquinas mengaku bahwa puncak tertinggi pengetahuan adalah kesadaran akan keterbatasan, mengetahui bahwa tidak tahu segala sesuatu. Namun bukan berarti kita tidak perlu mengetahui pemikiran filsafat ateistik itu, malah sebenarnya segala sesuatu tentangnya sudah ditimbang dan diukur, dan terbukti kurang bahkan tidak ada apa-apanya.

Materi bahasan ateisme sendiri bukan hal baru, dan buku Dawkins ini sudah lebih sepuluh tahun lalu dan para filsuf penganjur ateisme sudah ada jauh sebelum Dawkins. Entah terkait atau tidak, pada tahun-tahun itu seorang peneliti budaya, Benni Erick Matindas, sudah menerbitkan buku yang berusaha menelanjangi bahkan mematikan konsep pemikiran para filsuf ateis. Bahkan ide-ide tulisan itu tampaknya sudah ada dalam proses pembuatan buku best seller-nya, “Negara Sebenarnya” (2007), yang mencapai 1.000 halaman lebih untuk memperlihatkan dan meninggalkan sejumlah salah kaprah dalam kehidupan bernegara.

Teori seleksi alam Darwin dan teori-teori sains pendukung yang dibanggakan Dawkins itu malah cukup dibantah secara singkat di dalam kata pengantar secara singkat saja. Bukan menjadi teori yang perlu dibahas penulis dalam isi buku, karena sudah jelas dibuktikan pelbagai penelitian fisika mutakhir bahwa evolusi alam itu bukan tidak memerlukan Ide awal yang mengarahkan. Juga begitu banyak bukti dalam proses alam raya dan kehidupan manusia sehari-hari bahwa Tuhan diperlukan. Teori yang diklaim lebih unggul dari "hipotesis Tuhan" sebenarnya itu tidak meruntuhkan ajaran utama Alkitab tentang keberadaan Tuhan dan “Hukum Kasih”, demikian juga tak sampai mengusik wilayah iman Kristiani yang bahkan percaya, kalau Tuhan menghendaki, dunia ini bisa diciptakan dalam sekejap atau 6 jam saja, bukan 6 hari seperti ada tertulis dalam kitab Genesis yang dibantah orang ateis itu. Klaim kebanggaan dan kesadaran menjadi ateis justru menjadi tanda kebodohan dan ketidakbebasan bahkan kesia-siaan belaka.

Benni memberi judul bukunya setebal 240 halaman itu “Meruntuhkan Benteng Filsafat Ateisme Modern” (2010), dan pertanyaan bisa langsung dinyatakan: Apa yang menjadi benteng ateisme di zaman modern ini?

Salah satu jawaban sebenarnya sudah tersirat dalam dua alasan yang dikemukakan penulis dalam kata pengantar buku, juga saat memberi analisis fenomena banyaknya pemimpin umat itu tak pernah atau jarang berkhotbah tentang bahaya pemikiran ateisme itu bagi umat dan dirinya sendiri. Pertama, karena filsafat ateisme itu langsung dianggap oleh pemimpin sebagai konsep yang sulit dan berbelit-belit. Kedua, karena sulitnya filsafat ateisme itu bagi pemimpin maka diandaikan bahwa umat pun tak akan terpengaruh oleh pemikiran yang abstrak nun jauh di awang-awang itu. Penafsiran ini berangkat dari prinsip dalam strategi pemenangan perang di Tiongkok kuno: pertahanan terbaik adalah dengan menyerang! Bandingkan kata 'kelung' sebagai nama perisai yang biasa dipakai dalam tari Kabasaran di Minahasa, ternyata aslinya adalah sebuah parang besar yang dipakai untuk menyerang dalam kisah perang Sam Kok.

Maka dua jawaban itu, dalam arti tertentu merupakan skor kekuatan benteng ateisme itu. Jadi bukan semata fakta para pentolan dan penganjur ateisme itu gencar dan kuat menyerang kaum teistik, tapi terutama dari pihak beragama, khususnya Kristen, rupanya tiada serangan berarti yang dilancarkan, malah jangan-jangan tiada keberanian menyerang. Ini bisa pernyataan atau pertanyaan.

Memakai prinsip dan analogi itu, maka kekuatan kaum beragama itu didapatkan dengan pertama mempelajari dan memahami apa filsafat ateisme. Itu menjadi bekal dan persiapan yang cukup untuk bisa menjadi vaksin dari luar yang memberi imunitas yang mesti ditemukan dan disuntikkan dalam pemahaman rasional menghadapi bahaya pandemi ateisme itu. Dan tentu saja bagaimana kekebalan itu bisa diteruskan kepada kaum keluarga dan komunitas yang membutuhkannya supaya ikut memiliki kekebalan dan kesehatan yang sama.

Kecemasan mental tak berguna tentang filsafat ateisme ini bisa diatasi juga secara sederhana dari fakta kebahasaan. Bahwa kata 'teis' (Tuhan) itu sendiri menjadi kata utama, dan kata 'ateis' (a = tidak) diturunkan alias dimunculkan kemudian. Pernyataan tidak ada Tuhan hanya bisa dipahami karena kata “Tuhan” itu sendiri. Ini juga didukung oleh neuro-sience mutakhir bahwa otak manusia dirancang hanya memikirkan apa yang ada positif, artinya otak manusia tidak dapat mengenal kata "tidak" itu. Pada saat kita mengatakan tidak ada Tuhan, justru Tuhan itu yang muncul dalam gambaran dan kesadaran.

Namun demikian kita tidak bisa langsung bisa meruntuhkan tembok dan benteng ateisme hanya dengan permainan kata walau secara konstitutif tidak ada secara natural dalam struktur otak manusia. Walau pernyataan "tidak ber-Tuhan" itu hanyalah ilusi bahkan delusi manusia selevel Charles Dawkins itu, bukan berarti orang beriman dan berasio tak perlu berdialog kritis dengan pemikiran tersebut. Apalagi fakta fenomena semakin menguat dan membesarnya pengaruh ateisme di dunia bukan karena gelombang pasang pengungsian orang karena keruntuhan negara-negara berideologi komunis, tapi justru dalam kehidupan normal keseharian yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang sedang menentukan peradaban moderen secara cepat dan dasyat, dan cukup banyak pentolan dan pelopornya mempunyai beberapa pemikiran yang dirancang bangun sedemikian rupa sampai menganjurkan ateisme itu, dari yang lunak sampai paling keras. Padahal beberapa di antara mereka awalnya terlahir beragama dalam keluarga religius, bahkan bercita-cita menjadi pendeta atau pengkotbah yang serius.

Tampaknya Dawkins lepas dari motifnya apa termasuk yang keras karena menyebut sebuah kengerian bila status beragama dikenakan pada diri seorang anak Kristen atau Islam, misalnya. Mungkin dia mengalami semacam kenangan traumatik atau pemahaman keliru tentang ajaran inti agama-agama? Nah lho. Ya memang masalahnya bukan sesederhana seperti yang kelihatan dalam keseharian itu yang dalam kadar tertentu umat menikmati dan menghidupkan bahkan membanggakan para tokoh dan nabi ateisme itu, bahkan tanpa tahu ajaran mana yang membahayakan pengetahuan dan iman ketuhanan mereka.

Matindas mengingatkan bahwa semuanya bisa berawal dari dan berakhir pada sistem berpikir dan konsep yang langsung tak langsung masuk dalam kesadaran pikiran dan praktik bertindak umat manusia termasuk kaum beragama, mulai dari hal-hal kecil yang tampak sepele dan bahkan tak kelihatan atau tak disadari. Dan ateisme filosofis itu justru yang paling berbahaya daripada yang diduga orang ateisme praktis. Ibarat orang tanpa gejala (OTG) di zaman pandemi Covid-19 ini yang menurut laporan mencapai 80 persen dari yang diperiksa. Mereka bisa menjadi super-spreader yang berpotensi menjadi biang kerok penularan, meningkatkan grafik yang positif dan seterusnya memperbesar pasien meninggal dengan tiba-tiba karena terlambat dicegah.

Pada titik ini penting mendesaknya sebuah proses discernment, yakni pembedaan dan pemilahan serta penegasan secara rasional konsep-konsep filsafat ateisme tersebut, mana yang inti yang mesti dihancurkan, bila harus diserang. Dan Matindas menunjukkan senjata pemungkas itu seperti jubi-jubi atau tombak bermata dua yang relatif panjang dan pendek. Pertama, dengan berusaha menguraikan posisi tokoh serta konteks setiap filsafat, pengetahuan, dan kebudayaan umat manusia dan kemungkinan pengaruh teori ateisme itu sendiri bagi jemaat, dan uraian singkat siapa filsuf itu sampai menjadi ateis dalam proses kreatif berteori bahkan dalam perilakunya kesehariannya, kemudian walau secara sangat ringkas namun padat dan fokus pada uraian teori utama sistem dan implikasi ateistik yang dibangun, dan walau tidak semua filsuf ateis disebut namun keterwakilan dan keterkaitannya dengan para filsuf lain cukup ditunjukkan. Dan pemilihan 12 judul artikel tampaknya bukan semata menunjuk pada tokoh utama, tapi juga rupanya dimaksudkan untuk mengingatkan sasaran pembaca Kristen sebagai bagian dari yang berkepentingan dengan ajaran teistik yang mau tak mau mesti memusuhi dan mematikan ateisme itu. Karena itulah sub judul buku adalah "APOLOGETIKA IMAN KRISTIANI terhadap Fisafat Ateisme Modern".

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved