Tajuk Tamu Tribun Manado
Satu-satunya Jalan Pembebasan!
Kasih adalah bapak-moyang sang subyek. Atau, kata orang Minahasa, amang kasuruan se tou i ndai se ata.
Buku setebal xxxii+162 ini berisi refleksi mendalam atas pelbagai fenomena yang diinderai dan dialami penulisnya (baik pengalaman di dalam ranah murni transcendental maupun pengalaman konkret di lantai market-place), termasuk pengalaman mencerap pelbagai informasi mengenai pribadi-pribadi lain maupun pengalaman mereka. Refleksi untuk mengevidens sang “ama et fac quod vis”, dan tidak untuk lain. Hasilnya: dari Prolog sampai Epilog, yang menjalin 14 bab (dikelompokkan dalam 3 Bagian), kita akan menjumpai serangkaian penjelasan yang betul-betul jelas.
Bermacam isu dan ihwal yang sesungguhnya berat nan abstrak, disajikan secara sedemikian jernihnya sampai terasa ringan dan gurih. Begitu pula sebaliknya bermacam fenomena ringan, yang oleh mata kebanyakan orang terkesan sepele, enteng, tak perlu diperhatikan, tapi oleh mata atau perspektif ‘ama et fac quod vis’ Lily Widjaja mampu diisukan menjadi fakta problematis yang ternyata memang berat dan sangat penting bagi kehidupan, sebelum dibereskan serta disajikan secara jernih, ringan dan enak disantap. Mengapa bisa begitu, bagaimana sampai hal-hal yang berat dan abstrak bisa diterangkan secara amat ringan, jelas dan jernih? Itu tak lain karena tolok ukur atau perspektif yang digunakan untuk menyorot setiap persoalan memang betul-betul terang. Tak mungkin ada jawaban lain.
Jadi, ‘ama et fac quod vis’ adalah proposisi yang mesti menjadi presuposisi kita semua. Semua kita, agama apapun kita, dari latar disiplin ilmu apapun kita, dalam profesi dan bidang apapun kita bergiat, dan falsafah hidup apapun yang selama ini menjadi worldview kita.
• Kakek Umur 100 Tahun Tak Kunjung Kembali saat Pamit Pergi ke Hutan
Covid Maut 19
Barangkali ada yang lantas buru-buru menginterupsi dengan pertanyaan, “Baiklah, proposisi itu memang paling benar untuk menjadi presuposisi kita. Tapi itu nanti saja dulu, nanti kalau nyawa saya ternyata selamat melewati badai mengerikan pada hari-hari ini. Yang paling dibutuhkan sekarang ialah: adakah dari buku ini yang bisa diambil buat sekadar refleksi dalam kondisi kita di tengah kepungan bertriliun-triliun pasukan virion maut (Covid-19) yang tak kelihatan ini?!”
Jawaban atas pertanyaan itu: ada. Bahkan, ada banyak yang bisa diambil, dan harus diambil, dari isi buku itu terkait dengan fenomena Co(rona)Vi(rus)D(isease)-19 ini. Namun sebelum menunjuk satu contoh dari apa yang penting untuk harus diambil itu, sangat penting untuk menginsafkan bahwa sesungguhnya pertanyaan putus asa dan bingung seperti itu hanya muncul lantaran kita semua selama ini sudah hidup dalam belenggu budaya yang tak membina kita untuk selalu mendasarkan setiap hal yang paling praktis pun di atas fondasi sejatinya (malah filsafat Pragmatisme mendalilkan anti-fondasionalisme) sehingga kita semua hidup secara mengambang, terapung-apung oleh segala gelombang arus mode (mode filsafat, mode lifestyle, sampai mode agama) yang datang silih-berganti mengempas kita ke sana-sini.
Tentang jawaban atas pertanyaan tadi. Selasatu yang sangat penting untuk harus kita ambil dari buku ini, sebagaimana sudah dijelaskan di bagian awal, ‘ama et fac quod vis’ adalah pedoman solusi yang SESUAI KEBENARAN HUKUM ALAM untuk MELAMPAUI HUKUM ALAM itu. Dengan demikian, maka: [1] jelas bahwa kita tak boleh lagi beragama hanya seperti memperlakukan Tuhan cuma sebagai dukun yang kita bayar untuk menyembuhkan masalah yang kita timbulkan sendiri melalui pelanggaran terhadap hukum alam biologi kita manusia. Memang kehadiran segala virus maut itu bukan disebabkan oleh pelanggaran pribadi kita terhadap hukum kehidupan alamNya, tetapi pelanggaran kita sendiri terhadap hukum kehidupan alam itu berakibat merosotnya imunitas dalam diri kita sehingga tubuh kita menjadi rentan penyakit apa saja (bukan hanya Covid19); [2] dengan pengertian yang jelas dan jernih itu maka kita bisa berkonsentrasi pada iman dan pengharapan imanat untuk memohon berlakunya hukum kasih karuniaNya. Pikiran maupun tindakan kita tidak bingung lagi ke sana-sini. Dalam kondisi yang sudah seperti itu, yang boleh kita lakukan memang hanyalah, dan haruslah, beriman memohon berlakunya hukum kasih karuniaNya; [3]…, [4]… dst., bisa Anda jelaskan sendiri bila menggunakan perspektif ‘ama et fac quod vis’.
Dan yang terpenting: Anda hidupkan sendiri kebenaran dari penjelasan-penjelasan itu di dalam hidup sehari-hari, detik demi detik. Titik! (*)
• AS Izinkan Remdesivir untuk Obati Covid-19
• 91 Juta Akun Tokopedia Bocor: Dijual Rp74 Juta di Forum Darkweb
• Sembuh dari Corona, PM Inggris Boris Johnson Namai Anaknya dengan Nama Dokter yang Merawatnya