Tajuk Tamu Tribun Manado
Satu-satunya Jalan Pembebasan!
Kasih adalah bapak-moyang sang subyek. Atau, kata orang Minahasa, amang kasuruan se tou i ndai se ata.
Oleh:
Dr Benni E Matindas
Budayawan Senior
KITA sudah berangkat dari realitas ketidakbebasan, bahkan ketidakmungkinan untuk bebas. Semua yang berada dalam semesta, bahkan semesta itu sendiri, dipastikan oleh Immanuel Kant, tidak terlepas dari belenggu determinisme hukum kausalitas alam. Bahkan, khusus mengenai keberadaan manusia, kata Sartre, ketidakbebasan itu sedemikian absolut dan mengerikan karena sudah langsung membelenggu kebebasan itu sendiri: manusia persis ikan di dalam air yang ditakdirkan untuk tak pernah bisa bebas dari keharusan bergerak bebas selamanya. Setiap kita tak bebas untuk membebaskan diri kita maupun orang lain; setiap kita ditakdirkan menjadi neraka bagi orang lain sebagaimana setiap orang lain (tak kecuali kekasih kita ataupun ibu kita) adalah neraka yang segera menghanguskan kita.
Segala omongan tentang “kehendak bebas” tidak lebih daripada cuma permainan akrobat logika dari teodisi murahan yang membuat para teolog yang bicara tentang ‘free will’ itu justru memojokkan iman ketuhanannya sendiri pada posisi serba salah dalam artian serba tidak benar dari hulu sampai hilir dan malah semakin memastikan ketiadaan Tuhan. Sejak Zeno (filsuf Yunani pra-Socratik yang rintisannya terus tegak hingga dalam era modern kini) sampai Spinoza (filsuf yang oleh Albert Einstein disanjung karena berhasil mentransendensi-mendestilasi Yudaisme kepada kemurnian mulia) sudah dijelaskan bahwa ide “kehendak bebas” cuma ketersesatan hermeneutis dari pikiran manusia sendiri yang serba terbatas.
Tetapi! Kebebasan senantiasa kita butuh. Setiap kita pada setiap saat selalu butuh kebebasan. Tidak untuk sekadar syarat moralitas ala Kantian, apalagi sekadar kondisi bebas dari penjajah asing yang kenyataannya hanya melahirkan banyak penjajah lebih keji atas bangsa sendiri. Kebebasan adalah prasyarat mutlak untuk manusia bisa bereksistensi sebagai sejatinya manusia. Tidak kurang dari itu! Di situ dipertaruhkan seluruh kebahagiaan, kecerdasan optimal, prestasi puncak, dan maka dipertaruhkanlah kualitas peradaban bangsa: apakah akan menjadi habitat subur pemenuhan kemanusiaan setiap manusia, atau sebaliknya hanya jadi peternakan homo sapiens yang sub-human!
Jadi, bagaimana bisa bebas?
Tak terhitung sudah solusi yang pernah diajukan para filsuf cemerlang, arifin bijak-bestari dan pemimpin spiritual di setiap zaman. Tapi di sini saya hanya perlu menunjuk beberapa contoh yang ternilai paling logis, yang terdiri dari 3 kelompok.
Kelompok pertama: mereka yang melihat bahwa kebebasan hanya mungkin dicapai dengan jalan mengintegrasikan diri kita secara sadar ke dalam ketidakbebasan oleh determinasi hukum alam itu. Caranya, sistem rasio kita di-up-grade sedemikian tingginya sampai bisa paralel dengan kebenaran ide yang menata segenap sistem semesta. Jalan ini adalah teori yang paling tua, pernah tumbuh di semua peradaban. Yang sempat tercatat oleh sejarah saja, yakni Lao-tze di Tiongkok, sudah dari abad VI sebelum tarikh Masehi. Ide solutif ini ternilai paling logis, itulah sebabnya ia tetap membangkitkan banyak penganut baru hingga dalam zaman modern maupun postmodern. Dan penjelasan paling logis dari struktur logika ajaran ini dibentangkan oleh Epiktetos yang budak sedari kanak-kanak maupun Marcus Aurelius yang kaisar agung imperium Romawi, dan diperkuat oleh daya bahasa yang luar biasa jernih dari Cicero, Seneca, Cato, dan sebagainya.
• Bupati Tetty Support Daud Bikin Robot UV Anti-Covid-19
Kelompok kedua: mereka yang yakin bahwa kebebasan hanya mungkin dicapai dengan jalan kita membebaskan diri dari status manusia universal, manusia dalam teori, manusia-massa. Artinya, kita harus bereksistensi [“eksistensi” berasal dari dua akar kata: “ex” (ke luar) dan “sit” (seakar dengan kata situs, estate, seat, sit), berposisi pada koordinat lain di luar diri kita sendiri], manusia harus keluar dari dirinya yang umum/universal/teoretis sampai ia bisa melihat dirinya yang umum/universal/teoretis itu. Ide solutif Eksistensialisme ini diajukan oleh sebarisan pemikir dahsyat, dari Kierkegaard, Nietzsche, Jaspers, Camus, Heidegger, Levinas, O’Neil, dan seterusnya. Teologi Pembebasan yang diproklamirkan Gustavo Gutierrez, Paolo Freire dan sebagainya, pun sebetulnya hanya jelas bila ditatap dari perspektif jalan pembebasan kaum Eksistensialis ini, sebagai jalan Marxian untuk membebaskan diri dari alienasi diri sendiri (itulah mengapa para eksponen Eksistensialisme seperti Jaspers, Sartre dan Camus rerata pernah jadi aktivis politik Marxis).
Tetapi! Sementara jalan yang diusulkan kelompok pertama terlalu abstrak, jalan yang diusulkan kelompok kedua bahkan terlalu absurd. Semuanya terlalu abstrak dalam teori dan sekaligus terlalu absurd dalam praktik.
Jalan yang ketiga, jalan satu-satunya yang paling mungkin, diajukan oleh Augustinus: Mengasihilah, maka engkau bebas untuk berbuat! Ama et fac quod vis! Sungguh jalan yang amat sederhana buat dinalar, dan amat praktis dijalankan. Dan yang terutama: paling benar.
• Kisah Bapak Sosialis Karl Marx: Guru Liberal, Cinta Terpisah, Jurnalis hingga Kaul Kemiskinan
Rousseau pernah mengajukan dalil untuk pembebasan atau otonomisasi yang sampai hari ini diaminkan oleh seluruh dunia filsafat politik, yaitu keputusan kita sebagai subyek untuk dengan sukarela menuruti hukum. Tapi bila kita tilik secara jernih, di situ ada dua sekaligus kesalahan. Pertama, itu tetap sebuah keterpaksaan alias tidak bebas, sehingga bisa berarti subyek menjebloskan dirinya sendiri menjadi obyek. Kedua, hukum itu sendiri belum tentu benar, sehingga bukan tak mungkin itu berarti kita dengan sukarela dirusak oleh ketidakbenaran dan ketidakadilan. Tetapi dengan “ama et fac quod vis”-nya Augustinus, subyek pengasih bukan saja tetap subyek tapi bahkan semakin kokoh bereksistensi sebagai subyek sejati.
Wanita filsuf kontemporer asal Bulgaria, Julia Kristeva, dengan mantap meng-konstitusikan: kasih adalah bapak-moyang sang subyek. Atau, kata orang Minahasa, amang kasuruan se tou i ndai se ata. Sedang mengenai kemungkinan salahnya pasal-pasal hukum positif, kasih-lah yang justru akan meregulasinya ke arah yang benar. Tiada hukum yang pada dasarnya hendak bertentangan dengan kasih (bdk Galatia 5:22-3).
"Ama et Fac Quod Vis” itulah judul yang dipilih oleh A Lily Widjaja untuk bukunya yang terbit tahun 2006. Luar biasa, judul konstitutif!