Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu Tribun Manado

Menulis Tidak Berakhir pada “The End”

Dengan menulis, kita menghasilkan karya. Dengan bereksperimen melalui media penulisan, kita melukiskan keabadian.

sheknows.com
Ilustrasi 

Penulis Ambrosius M Loho M.Fil, Dosen Filsafat Unika De La Salle Manado Sekaligus Pegiat Estetika

SARANA, untuk mengatakan media pembelajaran-pengetahuan dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu, tidak pernah berawal mutlak dari tradisi cerita (oral tradition) semata.

Sumber pengetahuan dalam arti tertentu tidak benar-benar berawal dari cerita turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa banyaknya sumber, referensi, tulisan dan bahkan karya-karya sastra dalam bentuk buku, juga menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan.

Berbicara sumber pengetahuan, kita tidak bisa terlepas dengan apa yang yang dikenal dalam filsafat pengetahuan yaitu rasionalisme dan empirisme.

Rasionalisme menekankan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio.

Sumber pengetahuan yang berawal dari rasio itu, menekankan bahwa prosedur tertentu dari akal budi saja kita bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya, yakni pengetahuan yang tidak mungkin salah.

Bagi para pendukung rasionalisme sumber pengetahuan satu-satuanya adalah akal budi.

Sementara empirisme menekankan bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman.

Apa yang menjadi sumber dari pengetahuan subjek adalah pengalaman.

Dengan pengalaman dimaksudkan sesuatu yang terjadi melalui dan berkat bantuan panca indera.

Pengalaman semacam ini berkaitan dengan data yang ditangkap melalui panca indera. (Keraf & Dua, 2001: 43-49.)

Sejalan dengan itu, Sudarminta, seorang guru besar STF Driyarkara Jakarta, menguraikan bahwa dasar pengetahuan adalah pengalaman, ingatan, kesaksian, minat dan rasa ingin tahu, pikiran dan penalaran, logika, bahasa dan kebutuhan manusia.

Tentang yang terakhir, ditegaskan bahwa dalam interaksinya manusia membutuhkan pengetahuan.

Maka kebutuhan hidup manusia juga dapat masuk dalam golongan dasar pengetahuan. (Sudarminta 2002: 43.).

Hampir Semua Pengurus Daerah Ingin AHY Gantikan SBY

Berkaitan dengan uraian dalam tulisan ini, penulis fokus pada salah satu dasar (atau sumber) pengetahuan yang sudah disebutkan oleh Sudarminta di atas, yakni bahasa.

Mengapa bahasa penting untuk dikedepankan dalam pemahaman kita, karena bahasa adalah salah satu yang mendasari seluruh kegiatan berpikir manusia.

Dan kaitannya erat dengan fakta bahwa dalam realitas setiap saat manusia membutuhkan (menggunakan) bahasa.

Selanjutnya ditegaskan pula bahwa karena peran bahasa yang sangat vital itu, maka tidak terlepas juga adalah peran bahasa tertulis yang nyata lewat buku, majalah, dan pelbagai naskah lainnya. (ibid. 43.)

Kerangka teori di atas, jika itu termasuk dalam dasar teori untuk uraian sebagaimana tujuan penulisan tulisan ini, menguatkan apa yang dilakukan oleh Komunitas Literasi, Arsas Manado, yang digawangi Alfrits Ken Oroh.

Upaya untuk memberi perhatian pada bahasa tulisan, demi sebuah proses pemustakaan (menambah pustaka-referensi) dalam bentuk buku, juga merupakan langkah konkret dalam memberi perhatian pada dasar-sumber pengetahuan.

BCL Pesan Makam Ashraf dan Dirinya

Pada hari Kamis, 6 Februari 2020, Komunitas Arsas menyelenggarakan peluncuran buku sekalian Diskusi Sastra dengan mengangkat tema "Jadi Pengarang Di Jaman Sekarang", dan Budayawan Fredy Wowor dan Sutradara Teater Breyvi Talanggai, menjadi bagian dari pemantik dalam diskusi itu.

Apa hasil yang sekiranya bisa dijadikan sasaran utama diskusi itu? Tentu saja menjadi seorang penulis, pengarang, dan seniman di bidang sastra.

Dengan menulis, kita menghasilkan karya.

Dengan bereksperimen melalui media penulisan, kita melukiskan keabadian.

Maka, karena fakta itu, kita kemudian akan sampai pada kesimpulan bahwa ingatan akan dilipatgandakan, demikian juga khazanah ilmu pengetahuan kita ditambahkan, dari dan melalui menulis.

Dalam status yang demikian, hemat penulis, sumber pengetahuan bukan semata-mata ada pada hasil karya, seperti selesainya tulisan-tulisan itu lalu diterbitkan menjadi semisal buku, tapi yang terpenting adalah kultur menulis yang harus berlangsung terus sepanjang hayat.

Manajemen Sulut United Sowan ke Gubernur Olly Dondokambey, Sampaikan Persiapan Liga 2 2020

Hal itu sebetulnya telah nyata dalam diri para filsuf yang karya-karyanya tetap abadi sampai kini.

Walaupun dunia semakin maju dan ilmu pengetahuan semakin tidak tertahankan untuk terus bergerak, karya-karya mereka tetap abadi dan termaktub di sana.

Kita pantas dan layak belajar dari mereka.

Dalam kapasitas sebagai orang yang sementara merintis menjadi pengarang di zaman sekarang, sebagaimana tema diskusi yang juga melibatkan penulis, penulis pun memiliki keyakinan yang sama bahwa untuk berkarya harus dimulai dari keberanian untuk menulis.

Jika menjadi penulis, harus dimulai dengan menulis.

Sejalan dengan pemikiran Prof Sudarminta, penulis sepakat untuk mengatakan bahwa hasil dari menulis yang setidaknya berawal dari dasar dan sumber pengetahuan sebagaimana telah diuraikan di atas, kita menjadi pengarang yang memiliki pengetahuan yang akan menunjang kesejahteraan hidup manusia.

Kartu Pra-Kerja Bukan untuk Pengangguran

Pengetahuan yang menunjang kesejahteraan itu tentu harus pula diamalkan dengan tujuan bahwa pengetahuan itu ditempatkan dalam konteks yang lebih luas dalam kehidupan manusia.

Menulis bukan semata ekspresi diri pribadi ke dalam medium kata-kata, yang nantinya akan berakhir dengan kata: "akhirnya..", "the end..", dlsb, tapi tetap saja apa yang kita tulis itu akan "to be continued". (*)

Cerita Dokter Budi di Balik Evakuasi WNI (1): Wuhan seperti Kota Zombie

Pembayaran SPP Menggunakan Go-Pay: Nadiem Harus Jelaskan ke Publik

Hampir Semua Pengurus Daerah Ingin AHY Gantikan SBY

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved