Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu Tribun Manado

Kebudayaan, Peradaban dan Keterasingan Manusia

Kemajuan tidak mutlak identik dengan kebudayaan dan peradaban yang membawa kita pada imperialisme budaya semata

Net
Gaya Hidup Vegetarian 

Oleh:
Ambrosius M Loho M Fil
* Dosen Filsafat Unika De La Salle Manado
* Pegiat Filsafat

IDE tulisan ini mengetengahkan sebuah fenomena tentang kebudayaan, paradaban dan keterasingan yang diakibatkannya. Acapkali kita mengerti bahwa kedua kata itu – kebudayaan dan peradaban – dianggap sama atau diidentikan. Pada titik tertentu kita juga beranggapan bahwa hal itu memang tidak ada beda.

Salah satu sumber yang menarik untuk dirujuk, yang mengelaborasi kedua kata itu adalah Filsafat Kebudayaan: Proses Realisasi Manusia 2017 karya Budiono Kusumohamidjojo. Karya ini memberi perhatian yang bagi penulis menarik untuk disimak dan bahkan diuraikan secara lebih jelas ke publik.

Dalam karya itu telah diketengahkan bahwa dalam wacana tentang kebudayaan dan peradaban terdapat ketidaksepakatan yang definitif dalam pengertian dasarnya. Kedua kata ini, tidak berarti sama dengan asal katanya.

Jika kebudayaan (culture-cultura) dari akar sejarah katanya berarti pekerjaan tanah, saat ini berkembang tidak sejalan dengan itu. Saat ini kata ‘culture-cultura’ dipahami sebagai sesuatu yang mencakup segala kemungkinan berkenaan dengan perilaku eksistensial manusia. (Kusumohamidjojo 2017: 201).

Gaya Hidup Pasif Memicu Serangan Jantung

Selanjutnya pengertian peradaban menunjuk pada ‘civilization’ yang berarti bahwa setiap orang terlibat dalam proses kebudayaan dan sampai tingkat tertentu, menjadi subjek darinya. Dari pengertian ini, diyakini bahwa tidak semua orang terlibat dalam proses peradaban, karena tidak setiap orang akan mampu ambil bagian dalam proses penciptaan dan penggunaan karya, kemampuan teknologi, dan tentu saja perkembangan filsafat yang canggih, yang menjadi pilar utama sebuah peradaban. (ibid).

Dari uraian ini, dapat dikatakan bahwa kebudayaan dan peradaban pada dasarnya memiliki perbedaan yang mendalam. Hal itu tampak lewat apa yang dikatakan oleh seorang sejarawan Oswald Spengler bahwa ‘kebudayaan’ menunjuk pada gaya hidup masyarakat muda yang berkembang, sebuah kelompok yang masih usia muda dan belum menyentuh sebuah ujian tentang gaya hidup yang mapan.

Sedangkan ‘peradaban’ menunjuk pada masyarakat lama yang lebih mapan dan sebaliknya sedang sirna. Demikian, dapat dipahami bahwa kebudayaan adalah gaya hidup suatu kelompok masyarakat yang mencakup segala perilaku yang dipelajari oleh individu sebagaimana diharapkan oleh kelompok tersebut, terlepas dari persoalan apakah gaya hidup itu primitif atau modern. (Ibid. 202).

Mahasiswi Cantik Ditembak Kakak Ipar, Pelaku Tak Tahu, Sempat Berduel di Depan Pintu

Hemat penulis, peradaban menunjuk juga pada keunggulan kebudayaan. Jadi, saat proses kebudayaan menghasilkan sebuah jenis, misalnya, seni, teknologi, kompleks kekayaan tulisan, kehidupan urban, dll, maka kebudayaan itu mencapai suatu tingkat peradaban tertentu yang seolah menantang siapa saja yang tidak memilikinya.

Maka pada dasarnya peradaban mencerminkan puncak prestasi manusia, bukan hanya untuk sekedar survive dalam alam yang deterministik, tapi juga mendayagunakannya secara konstruktif.

Dalam konteks kini, kita bisa melihat bahwa peradaban kita semakin maju, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita tidak bisa memungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kini, membawa banyak konsekuensi bagi kita.

Ongen Saksoniwi Rebut Juara IBA, Daud Yordan Cetak Sejarah Baru

Konsekuensi itu tampak lewat sebuah fakta bahwa kita disuguhi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang nyata lewat perkembangan media, termasuk media sosial, tapi juga perkembangan-perkembangan lain seperti perkembangan sikap dan perilaku manusia terhadap alam. Kita bisa melihat juga bahwa saat ini manusia sering mengabaikan apa yang menjadi kodrat-nya untuk kemudian ‘mengabdi-menghamba’ pada ilmu dan teknologi yang dikenal instan itu.

Demikian juga saat ini terjadi bahwa kita berada pada periode peradaban yang bergerak sangat cepat. Era globalisasi kini melalui penciptaan jaringan investasi dan bisnis sulit dihindari. Bahkan hal itu menyebabkan ‘serpihan’ kegelisahan dan kecemasan senantiasa ‘merasuki’ manusia dan pola hidupnya sehari-hari.

Fakta ini kemudian sering mempunyai dampak yang disinyalir mengasingkan manusia sendiri. Maka dalam kondisi inilah, jati diri individu manusia dipertanyakan. Bahkan ia dihadapkan pada ketidakpastian. Identitas jati diri manusia sungguh dipertaruhkan. (Sugiharto 2013: 263).

Polisikan Politikus PDIP: Ini Dalil Tetangga Novel

Berpijak dari fakta-fakta tentang kebudayaan dan peradaban, yang digadang-gadang menyebabkan keterasingan manusia, kita perlu belajar dari George Ritzer dalam karyanya ‘The McDonaldization of Sociology (2000)’, yang diuraikan oleh Damianus Hali dalam ‘Humanisme & Humaniora 2017’, bahwa gerakan global sebuah kebudayaan dan peradaban, harus kuat berpijak pada lokalitas masing-masing budaya, spirit dan kearifan lokal (local wisdom).

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved