Peluang VAP-Imba-Elly Maju Pilkada 2020: Begini Sikap Mendagri
Langkah Vonnie Anneke Panambunan (VAP), Jimmy Rimba Rogi dan Elly Engelbert Lasut (E2L) menuju Pilkada Serentak 2020
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Ferry Liando, pengamat politik dari Unsrat mengatakan, sudah banyak imbauan soal keinginan agar koruptor tidak boleh jadi calon kepala daerah, atau jadi caleg, baik dari KPK atau Kemendagri. Cuma imbauan itu bukan hukum positif.
Kalau hanya sekadar imbauan maka hal ini akan sulit terwujud. Masalahnya parpol memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan. Tak ada satu lembaga pun baik pemerintah ataupun KPK yang bisa mengintervensi keputusan parpol termasuk dalam penetapan calon kepala daerah.
Satu-satunya cara adalah memperbaiki 2 UU sekaligus yakni UU nomor 2 tahun 2011 sebagai perubahan UU nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik.
Kemudian, UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Dua UU ini tidak memberikan larangan bagi parpol merekrut calon yang pernah terpidana kasus korupsi.
Buktinya beberapa kepala daerah yang pernah terangkut korupsi dicalonkan parpol dan terpilih kembali. Parpol itu selalu yang dipikirkan adalah bagiamana calon yang diusungnya bisa menang. Tanpa ada rasa peduli, dan malu jika yang dicalonkan itu pernah bermasalah hukum atau tidak.
Apalagi sebagian besar parpol lalai melaksanakan fungsi-fungsi rekrutmen dan kaderisasi secara sistematis dan berjenjang. Parpol hanya kerap cari gampang memberi peluang siapa yang menyanggupi memodali pilkada termasuk uang mahar dalam pencalonan, tanpa memedulikan dari mana modal itu diperoleh.
Masalah terberat bagi bangsa ini adalah parpol. Selama parpol tidak dibenahi, maka sistem apapun yang digunakan dalam proses pemilihan, maka hasilnya akan tetap buruk dan publik tidak mendapatkan apa-apa. Jadi selain UU lemah, political will para elite di DPR tidak ada kemauan soal itu.
Alasannya adalah pelanggaran UU HAM yang mereka buat sendiri. Pasal 43 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak, melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Inilah pasal yang kerap dijadikan alat pembenaran bahwa mantan narapidana korupsi pun tetap berhak mendapatkan jabatan apapun. KPU pernah mengatur larangan mantan koruptor jadi caleg. Cuma aturan KPU yang termuat dalam PKPU ditolak MA karena PKPU itu tidak sederajat dengan UU sebagaimana yang diatur dalam UU 39.
Berkaca dari kasus kepala daerah jadi koruptor, hingga kini berdasarkan data dari KPK, jumlah kepala daerah yang ditangkap sejak tahun 2004 hingga 2019 sebanyak 105 kepala daerah. Bupati merupakan kepala daerah yang paling banyak ditangkap oleh KPK, 63 orang. Kemudian, disusul oleh Wali Kota sebanyak 24 orang.
Kasus yang ditangani penegak hukum, korupsi yang dilakukan kepala daerah selalu berkaitan dengan fee proyek, pembahasan tata ruang, imbalan pihak ketiga terhadap kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya, pengalokasian dana transfer di daerah, pemberian Ijin usaha serta penempatan pejabat pada posisi tertentu.
Lantas apa yang menyebabkan kepala daerah rentan masuk dalam pusaran korupsi. Pertama adalah faktor motif. Banyak oknum berusaha merebut jabatan kepala daerah dengan maksud untuk memperkaya diri. Segala cara dilakukan untuk menang dalam kontesatsi Pilkada sebab ada keyakinan baginya bahwa jabatan itu bisa membuatnya jadi kaya raya.
Kedua faktor rekrutemen calon oleh partai politik. Selama ini mekanisme seleksi calon yang dilakukan partai politik masih terkesan pragmatis murni.
Kepentingan parpol hanya satu yakni harus menang dalam Pilkada. Untuk alasan itu parpol kerap lebih mengutamakan calon yang kuat dari satu aspek yakni finasial.
Parpol seakan melupakan bahwa kapasitas dan moralitas seorang calon masih jauh lebih penting daripada kriteria lainnya. Lihat saja keadaannya kini. Memang tidak semua kepala daerah yang terjerat kasus hukum, namun sayangnya ketika selesai menjabat, daerah yang dipimpinnya stagnan tanpa kemajuan apa-apa.
Mengabaikan mekanisme seleksi yang ketat mengakibatkan lahirnya kepala daerah miskin inovasi, tidak kreatif dan tidak menghasilkan apa-apa terhadap daerahnya. Ketiga faktor sistem pemilihan kepala daerah yang cenderung mahal.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Irjen Pol (Purn) Basaria Panjaitan mengatakan untuk menjadi kepala kabupaten/kota bisa menghabiskan uang Rp 20 miliar sampai Rp 30 miliar. Untuk jadi kepala daerah tingkat Gubernur bisa menghabiskan uang sampai ratusan miliar. (tribun/ryo/mci)