Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Peluang VAP-Imba-Elly Maju Pilkada 2020: Begini Sikap Mendagri

Langkah Vonnie Anneke Panambunan (VAP), Jimmy Rimba Rogi dan Elly Engelbert Lasut (E2L) menuju Pilkada Serentak 2020

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
Ist
Bupati Minut Vonnie Anneke Panambunan saat mendatangi Kejati Sulut 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO – Langkah Vonnie Anneke Panambunan (VAP), Jimmy Rimba Rogi dan Elly Engelbert Lasut (E2L) menuju Pilkada Serentak 2020 bakal tersendat. Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah menyiapkan aturan larangan terhadap mantan terpidana korupsi ikut pilkada. Aturan itu akan dituangkan dalam Undang-undang dan Peraturan KPU.

Komisioner KPU Sulawesi Utara Meidy Tinangon mengatakan, mencuat ke publik soal larangan eks koruptor maju pilkada, tapi KPU Sulut masih menunggu petunjuk KPU RI. "Sejauh ini aturan belum berubah dan punya kewenangan bikin PKPU itu kan KPU RI," kata Kepala Divisi Hukum KPU Sulut ini kepada tribunmanado. co.id, belum lama ini.

Baca: Hadapi Kongres V Bali: Ini Kata Kader PDIP Sulut soal Ketua Harian

Penyampaian soal isu itu dari KPU RI secara resmi pun belum dilakukan. Memang diakui pada pemilihan legislatif lalu, ada PKPU poinnya soal larangan untuk eks terpidana korupsi nyaleg, tapi akhirnya dimentahkan Mahkamah Agung. "Itu (aturan) tidak berlaku lagi," kata mantan Ketua KPU Minahasa ini.

Padahal, kata Meidy, dukungan melarang eks narapidana korupsi ikut pemilu dari dulu sudah mengalir kencang. Baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), organiasi antikorupsi hingga masyarakat umum mendukung pelarangan eks koruptor ikut pilkada. "Kan bisa disaksikan sendiri dukungan masyarakat, waktu pileg juga banyak," kata dia.

Tapi akhirnya mesti mengikuti koridor aturan. "Kalau UU mengatur demikian, karena pengalaman pileg, UU tidak diatur demikan (larangan koruptor), akibatknya PKPU dianggap bertentangan dengan UU. MA sampai putuskan juducial review," ujar mantan Ketua GAMKI Sulut ini.

Ketua Bawaslu Sulut, Herwyn Malonda mengatakan, sikap Bawaslu dari dulu itu tetap soal regulasi. "Kalau regulasi mengatur larangan maka kita ikut, " ujar dia. KPU pernah membuat regulasi soal larangan caleg eks koruptor dilarang nyaleg lewat PKPU. Berkaca dari kasus tersebut, akhirnya aturan itu dimentahkan MA. "Soal itu (larangan) sudah dibatalkan MA," kata dia.

Agar tak kejadian seperti lalu, maka pedomannya sesuai UU, pembatasan calon itu berdasarkan dua hal, pertama UU Pemilu dan keputusan pengadilan. "UU Pemilu kan sudah mengatur, kemudian untuk pembatasan orang itu juga sesuai keputusan pengadilan berkuatan hukum tetap, adakan putusan yang mencabut hak dipilih dan memilih," ungkap dia.

Selama tak ada revisi UU, kemudian semua yang disyaratkan dan dipenuhi maka bisa ikut pemilu. Pada pileg lalu, Bawaslu Sulut panen gugatan ajudikasi setelah sejumlah eks koruptor dianulir pencalonan oleh KPU.

Baca: Sugeng Tindak Mbah Moen

Bawaslu berpatokan kepada UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 yang tak menyertakan aturan soal kejahatan tertentu untuk membatasi orang untuk memilih dan dipilih.

KPU menyebut larangan eks koruptor maju di Pilkada 2020 ada di tangan pemerintah dan DPR. Larangan perlu sokongan UU. "Jika pemerintah punya keinginan agar masyarakat bisa memilih orang-orang terbaik, bukan mantan napi koruptor, bukan orang yang berkali-kali melakukan tindak pidana korupsi, maka (larangan) itu harus ada di undang-undang," kata Komisioner KPU, Ilham Saputra, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (6/8/2019).

Ilham menyambut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, setuju mantan koruptor dilarang maju di pilkada. Ilham menilai semangat KPU dan pemerintah sama. Namun, Ilham menegaskan larangan tetap harus diatur dalam UU.

Larangan eks koruptor maju pilkada sia-sia jika hanya bertumpu pada PKPU. "Kalau tidak ada klausul itu (di undang-undang), (akan) dibatalkan oleh MA. Itu sudah ada yurisprudensinya bahwa MA sudah pernah menolak itu," ujar Ilham. Ilham menyebut pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah dan DPR.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyetujui larangan eks koruptor maju di Pilkada 2020. Aturan itu perlu disetujui partai politik. "Saya kira itu termasuk partai harus diingatkan agar rekrutmennya jangan sampai salah," ujar Tjahjo di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.

Namun, larangan itu menjadi ranah KPU. Aturan tersebut harus disempurnakan di PKPU untuk Pilkada 2020. "Nanti bisa disempurnakan di PKPU (Pilkada 2020). Kemarin sudah rapat dengan Komisi II DPR, perwakilan Kemendagri dan juga Bawaslu," kata Tjahjo.

Baca: DPR Dukung E-Rekap di Pilkada 2020: Begini Manfaatnya


Tjahjo menambahkan, persoalan itu bakal diselesaikan anggota DPR periode berikutnya. Agenda ini bakal masuk agenda awal revisi Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. "Itu yang kita akan selesaikan dengan anggota DPR terpilih nanti. Sebagai agenda awal revisi UU, supaya ada sisa waktu kesana (Pilkada 2020)," ucap politikus PDIP itu. 

Ferry Liando
Ferry Liando (tribunmanado.co.id/Arthur Rompis)

Benahi Dulu Partai Politik

Ferry Liando, pengamat politik dari Unsrat mengatakan, sudah banyak imbauan soal keinginan agar koruptor tidak boleh jadi calon kepala daerah, atau jadi caleg, baik dari KPK atau Kemendagri. Cuma imbauan itu bukan hukum positif.

Kalau hanya sekadar imbauan maka hal ini akan sulit terwujud. Masalahnya parpol memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan. Tak ada satu lembaga pun baik pemerintah ataupun KPK yang bisa mengintervensi keputusan parpol termasuk dalam penetapan calon kepala daerah.

Satu-satunya cara adalah memperbaiki 2 UU sekaligus yakni UU nomor 2 tahun 2011 sebagai perubahan UU nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik.
Kemudian, UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Dua UU ini tidak memberikan larangan bagi parpol merekrut calon yang pernah terpidana kasus korupsi.

Buktinya beberapa kepala daerah yang pernah terangkut korupsi dicalonkan parpol dan terpilih kembali. Parpol itu selalu yang dipikirkan adalah bagiamana calon yang diusungnya bisa menang. Tanpa ada rasa peduli, dan malu jika yang dicalonkan itu pernah bermasalah hukum atau tidak.

Apalagi sebagian besar parpol lalai melaksanakan fungsi-fungsi rekrutmen dan kaderisasi secara sistematis dan berjenjang. Parpol hanya kerap cari gampang memberi peluang siapa yang menyanggupi memodali pilkada termasuk uang mahar dalam pencalonan, tanpa memedulikan dari mana modal itu diperoleh.

Masalah terberat bagi bangsa ini adalah parpol. Selama parpol tidak dibenahi, maka sistem apapun yang digunakan dalam proses pemilihan, maka hasilnya akan tetap buruk dan publik tidak mendapatkan apa-apa. Jadi selain UU lemah, political will para elite di DPR tidak ada kemauan soal itu.

Alasannya adalah pelanggaran UU HAM yang mereka buat sendiri. Pasal 43 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak, melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Inilah pasal yang kerap dijadikan alat pembenaran bahwa mantan narapidana korupsi pun tetap berhak mendapatkan jabatan apapun. KPU pernah mengatur larangan mantan koruptor jadi caleg. Cuma aturan KPU yang termuat dalam PKPU ditolak MA karena PKPU itu tidak sederajat dengan UU sebagaimana yang diatur dalam UU 39.

Berkaca dari kasus kepala daerah jadi koruptor, hingga kini berdasarkan data dari KPK, jumlah kepala daerah yang ditangkap sejak tahun 2004 hingga 2019 sebanyak 105 kepala daerah. Bupati merupakan kepala daerah yang paling banyak ditangkap oleh KPK, 63 orang. Kemudian, disusul oleh Wali Kota sebanyak 24 orang.

Kasus yang ditangani penegak hukum, korupsi yang dilakukan kepala daerah selalu berkaitan dengan fee proyek, pembahasan tata ruang, imbalan pihak ketiga terhadap kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya, pengalokasian dana transfer di daerah, pemberian Ijin usaha serta penempatan pejabat pada posisi tertentu.

Lantas apa yang menyebabkan kepala daerah rentan masuk dalam pusaran korupsi. Pertama adalah faktor motif. Banyak oknum berusaha merebut jabatan kepala daerah dengan maksud untuk memperkaya diri. Segala cara dilakukan untuk menang dalam kontesatsi Pilkada sebab ada keyakinan baginya bahwa jabatan itu bisa membuatnya jadi kaya raya.

Kedua faktor rekrutemen calon oleh partai politik. Selama ini mekanisme seleksi calon yang dilakukan partai politik masih terkesan pragmatis murni.
Kepentingan parpol hanya satu yakni harus menang dalam Pilkada. Untuk alasan itu parpol kerap lebih mengutamakan calon yang kuat dari satu aspek yakni finasial.

Parpol seakan melupakan bahwa kapasitas dan moralitas seorang calon masih jauh lebih penting daripada kriteria lainnya. Lihat saja keadaannya kini. Memang tidak semua kepala daerah yang terjerat kasus hukum, namun sayangnya ketika selesai menjabat, daerah yang dipimpinnya stagnan tanpa kemajuan apa-apa.

Mengabaikan mekanisme seleksi yang ketat mengakibatkan lahirnya kepala daerah miskin inovasi, tidak kreatif dan tidak menghasilkan apa-apa terhadap daerahnya. Ketiga faktor sistem pemilihan kepala daerah yang cenderung mahal.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, Irjen Pol (Purn) Basaria Panjaitan mengatakan untuk menjadi kepala kabupaten/kota bisa menghabiskan uang Rp 20 miliar sampai Rp 30 miliar. Untuk jadi kepala daerah tingkat Gubernur bisa menghabiskan uang sampai ratusan miliar. (tribun/ryo/mci)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved