Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Pesparani I Sulut: Etnografi Persatuan Menuju Panggung Pesparani Nasional 2027

Perlu ada upaya nyata menjadikan Pesparani 2027 sebagai event budaya bersama, di mana masyarakat non-Katolik pun merasa memiliki dan berpartisipasi.

Dokumentasi Panitia Pesparani
Penampilan peserta Paduan Suara Dewasa Wanita LP3KD Kota Manado pada ajang Pesparani Katolik I Daerah Sulawesi Utara 2025 di Aula Mapalus, Kantor Gubernur Sulut, Kamis (20/11/2025). 

Oleh: 
Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd
Alumnus STF Seminari Pineleng dan IAIN Manado

LANTUNAN madah dan puji-pujian tidak hanya mengisi ruang akustik gereja atau balai pertemuan; ia sejatinya adalah getaran peradaban yang merangkum segenap cita, rasa, dan karsa kemanusiaan. Ketika Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) Katolik I Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) usai, yang tersisa bukan hanya kenangan akan kompetisi dan tepuk tangan, melainkan cetak biru keberhasilan multidimensi yang menuntut refleksi kritis yang mendalam – sebuah cermin untuk melihat wajah Sulut yang sesungguhnya di hadapan tugas yang lebih besar. Tiga tonggak sukses yang diakui – sukses event, sukses tujuan, dan sukses politik (pemerintahan) – bukanlah akhir sebuah perjalanan, melainkan starting point sebuah narasi kolektif yang lebih ambisius: menyambut Pesparani Nasional Ke-4 tahun 2027. Di persimpangan jalan ini, Sulut ditantang untuk meresapi makna hakiki dari harmoni, melampaui notasi-notasi lagu, dan mentransformasikannya menjadi kekuatan etis, sosial, kultural, dan politis yang solid. Keberhasilan Pesparani I ini, dengan segala keterbatasannya, menjadi tesis awal yang harus dibuktikan kebenarannya di tahun 2027: mampukah Sulut menyelenggarakan perayaan iman yang agung tanpa tergerus oleh ego sektoral dan kepentingan sesaat?

Secara filosofis, suksesnya event Pesparani I Sulut, yang gaungnya meluas hingga ke tingkat nasional, dapat dipandang melalui lensa hermeneutika dan fenomenologi. Kegiatan ini adalah sebuah fenomena yang dimaknai oleh masyarakat luas sebagai perwujudan iman kolektif yang hidup dan artistik. Keberhasilan kolaborasi dan sinergi lintas sektoral sejak awal hingga akhir menunjukkan adanya kesadaran intersubjektif (Husserl, 1960) yang melampaui batas-batas institusional formal. Inti dari sukses event ini adalah tercapainya epoche kolektif, di mana semua pemangku kepentingan 'menangguhkan' perbedaan pandangan demi fokus pada esensi pesta paduan suara sebagai perayaan iman dan budaya. Dalam konteks ini, musik gereja bukan lagi sekadar alat liturgi, tetapi menjadi bahasa universal yang menjembatani keberagaman, menegaskan bahwa hakikat manusia adalah makhluk yang mencari makna (Frankl, 1984), dan dalam kerangka Pesparani, makna itu ditemukan dalam ekspresi artistik keimanan yang terorganisir. Kritisnya adalah, sejauh mana epoche kolaboratif ini dapat dipertahankan di luar momen event? Apakah sinergi ini berakar pada keharusan pragmatis semata, ataukah pada pemahaman filosofis yang lebih dalam tentang bonum commune atau kebaikan bersama? Jika kebersamaan ini hanya bersifat artifisial, maka struktur keberhasilan yang dibangun akan rapuh dan rentan terhadap friksi begitu tekanan kepentingan politis kembali menguat. Pesparani 2027 harus didasari oleh etika diskursus (Habermas, 1984) di mana semua pihak terlibat dalam dialog yang rasional dan setara mengenai tujuan bersama, bukan sekadar menerima keputusan sepihak.

Berlanjut pada refleksi etis, sukses event ini mengandung implikasi ganda. Di satu sisi, sukses kolaborasi lintas sektoral mencerminkan etika tanggung jawab (Jonas, 1984), di mana setiap komponen masyarakat, baik pemerintah maupun swasta, merasa bertanggung jawab atas kelancaran acara. Ini adalah perwujudan dari etika solidaritas di mana kepentingan individu dileburkan demi pencapaian target komunal. Namun, refleksi kritis menuntut pertanyaan: apakah kolaborasi ini dilandasi oleh etika kebajikan (Aristoteles) yang sungguh-sungguh, ataukah hanya kepatuhan terhadap tuntutan struktural? Etika menuntut kejujuran intelektual dalam mengakui bahwa semangat kolaborasi harus diterjemahkan ke dalam transparansi anggaran dan akuntabilitas pelaksanaan. Keberhasilan Pesparani I harus menjadi landasan etis untuk memastikan Pesparani Nasional 2027 tidak hanya sukses secara fisik, tetapi juga secara moral, bebas dari potensi konflik kepentingan atau penyalahgunaan kekuasaan yang bisa merusak legitimasi etis kegiatan keagamaan. Prinsip prudence (kebijaksanaan) harus menjadi panduan utama dalam pengelolaan sumber daya, mengingat ini adalah event keagamaan yang membawa nama baik Gereja dan daerah.

Aspek sosial dari sukses event dan gaungnya ke tingkat nasional jelas merupakan modal sosial (Putnam, 1993) yang berharga. Gaung Pesparani di masyarakat luas di Sulut dan nasional menunjukkan peningkatan bonding (ikatan internal umat Katolik) dan bridging (jembatan dengan masyarakat non-Katolik atau instansi lain) yang signifikan. Pesparani berfungsi sebagai ruang publik yang menyatukan orang-orang dari latar belakang yang berbeda dalam satu tujuan bersama. Dalam terminologi sosiologis, Pesparani menciptakan integrasi mekanis (Durkheim, 1893/1984) di antara umat yang memiliki kesadaran kolektif serupa. Namun, tantangan sosial ke depan adalah bagaimana mempertahankan dan meningkatkan bridging social capital ini. Kekuatan kolektif yang muncul harus diintegrasikan ke dalam program-program pembangunan sosial berkelanjutan di Sulut, memastikan bahwa euphoria Pesparani tidak menguap setelah event berakhir. Secara kritis, perhatian perlu diarahkan pada potensi eksklusivitas. Meskipun Pesparani adalah perayaan Katolik, gaungnya harus mampu memperkuat toleransi dan inklusivitas Sulut secara keseluruhan, sebagaimana yang telah lama diakui sebagai salah satu daerah paling toleran di Indonesia. Perlu ada upaya nyata untuk menjadikan Pesparani 2027 sebagai event budaya bersama, di mana masyarakat non-Katolik pun merasa memiliki dan berpartisipasi, bukan hanya sebagai penonton atau penyedia layanan.

Dalam tinjauan kultural dan antropologis, sukses kedua, sukses tujuan – munculnya potensi-potensi kader dan umat dalam berbagai kategori lomba – adalah sangat vital. Musik gereja, dalam bingkai Pesparani, berfungsi sebagai medium enkulturasi dan kontekstualisasi iman (Tylor, 1871). Melalui paduan suara, lagu-lagu liturgi bukan sekadar dihafalkan, melainkan dihayati, dipadukan dengan ethos musikal lokal. Ini adalah proses penemuan kembali identitas keagamaan yang diperkaya oleh kekayaan budaya setempat. Namun, catatan bahwa "sebagian potensi belum digarap secara maksimal" dan "belum semua kontingen mengambil semua jenis lomba" menyiratkan adanya cultural lag (Ogburn, 1922) atau kesenjangan budaya, di mana semangat berkompetisi dan memanfaatkan seluruh spektrum seni yang ditawarkan oleh Pesparani belum sepenuhnya menyentuh semua lapisan umat atau kontingen. Secara antropologis, ini menunjukkan bahwa proses internalisasi nilai-nilai Pesparani sebagai cultural performance yang holistik masih memerlukan penguatan. Pesparani adalah ritual (Turner, 1969) yang menciptakan communitas atau rasa persatuan yang intens. Kegagalan sebagian kontingen untuk berpartisipasi penuh mengurangi intensitas communitas ini. Tantangan bagi Keuskupan Manado dan LP3KD adalah memastikan bahwa Pesparani Nasional 2027 menjadi arena cultural performance yang maksimal, bukan hanya menonjolkan aspek estetik event, tetapi juga menampilkan keragaman budaya (Antropologi Kultural) yang mendalam dan tergarap secara profesional, mencerminkan kekayaan etnisitas yang ada di Sulut.

Refleksi yuridis atas sukses event ini berpusat pada kepastian hukum dan tata kelola organisasi. Keberhasilan sinergi lintas sektoral mengindikasikan bahwa dasar-dasar regulasi (baik yang berbasis peraturan daerah, kesepakatan antar-lembaga, maupun Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga LP3KD) telah bekerja secara efektif, memfasilitasi pergerakan sumber daya dan otorisasi kegiatan. Dalam negara hukum Pancasila, kegiatan keagamaan seperti Pesparani harus berjalan sejalan dengan koridor hukum yang menjamin kebebasan beragama (Pasal 29 UUD 1945) sekaligus memastikan ketertiban umum dan akuntabilitas penggunaan dana publik, jika ada. Secara kritis, tantangan yuridis menjelang 2027 adalah memastikan legalitas dan transparansi anggaran yang jauh lebih besar yang akan digunakan untuk Pesparani Nasional. Keterlibatan pemerintah pusat dan provinsi lain membutuhkan kerangka kerja yuridis yang kuat, yang mengatur hibah, bantuan sosial, dan pengadaan barang/jasa, sehingga event ini tidak hanya bersih secara etis, tetapi juga tidak cacat secara hukum (Haris, 2021). Peran Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) dan LP3KD sebagai jembatan de jure (secara hukum) harus diperjelas dalam memorandum kesepahaman dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, mengingat sifat acara yang melibatkan dana dan fasilitas negara. Semua kontrak, perjanjian, dan alokasi dana harus sesuai dengan Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Negara dan Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku, menjamin prinsip good governance.

Dimensi ekonomis dari tiga sukses Pesparani I memberikan perspektif penting mengenai dampak event-based economy. Sukses event yang bergaung luas secara otomatis menciptakan multiplier effect bagi perekonomian lokal. Sektor pariwisata, perhotelan, transportasi, hingga UMKM mendapatkan stimulus signifikan dari kehadiran peserta dan suporter dari berbagai daerah di Sulut, bahkan menarik perhatian dari skala nasional. Ini sejalan dengan konsep creative economy di mana kebudayaan (paduan suara) diubah menjadi modal ekonomi (Florida, 2002). Namun, sukses tujuan, yang mencatat adanya potensi umat yang belum digarap maksimal, menunjukkan adanya inefisiensi ekonomis dalam alokasi sumber daya pembinaan. Kontingen yang tidak mengambil semua jenis lomba atau yang tidak ikut serta sama sekali menyiratkan hilangnya potensi investasi sosial dan ekonomi pada sumber daya manusia Katolik di daerah-daerah tersebut. Secara kritis, LP3KD dan Keuskupan Manado harus menyusun peta jalan pembinaan yang lebih merata dan berkelanjutan, bukan hanya berorientasi pada event puncak. Investasi pada kaderisasi pelatih, dirigen, dan komposer lokal adalah kunci untuk memastikan bahwa Pesparani Nasional 2027 bukan hanya menghabiskan anggaran, tetapi menghasilkan aset budaya dan SDM yang memiliki nilai jual (ekonomis) dan nilai pakai (pastoral) jangka panjang. Keberhasilan ekonomi Pesparani harus diukur dari peningkatan kapasitas SDM lokal, bukan semata dari besaran uang yang berputar saat acara berlangsung.

Puncak dari refleksi ini terletak pada sukses politik (pemerintahan), yaitu kepercayaan yang diberikan kepada Sulut sebagai tuan rumah Pesparani Nasional Ke-4 tahun 2027. Kepercayaan ini adalah pengakuan nyata terhadap kapasitas governance dan stabilitas regional Sulut. Perhatian pemerintah pusat dan provinsi-provinsi lain yang tertuju pada Sulut, minimal hingga 2027, merupakan peluang politik dan branding daerah yang tak ternilai harganya. Secara politis, Pesparani I telah berhasil menempatkan Sulut di peta kebijakan nasional, memanfaatkan event keagamaan sebagai soft diplomacy dan alat konsolidasi kekuasaan sipil-politik. Keberhasilan ini tidak lepas dari peran para aktor politik Katolik dan non-Katolik yang memfasilitasi dukungan pemerintah. Ini adalah perwujudan politik yang berbasis pada teori pertukaran sosial (Homans, 1961), di mana dukungan politik diberikan dengan harapan akan adanya reward berupa prestise nasional dan pembangunan infrastruktur yang menyertai event besar.

Namun, di sinilah letak tantangan kritis yang paling tajam. Tuntutan untuk "membangun kebersamaan internal umat Katolik, termasuk tokoh-tokoh politik dan pengusaha Katolik Sulawesi Utara harus duduk bersama sambil menyingkirkan sementara ego dan warna politik dan berpegang teguh pada komitmen" adalah sebuah imperatif moral dan politis yang tinggi. Secara filosofis-politis, tantangan ini adalah upaya untuk mencapai Konsensus Burkean (Burke, 1993), yakni sebuah persatuan yang didasarkan pada nilai-nilai tradisi dan komitmen bersama, melampaui kepentingan fraksional harian. Fenomena di mana ego dan warna politik mendominasi adalah manifestasi dari politik identitas sempit atau clientelism yang harus diatasi. Pesparani Nasional 2027 menuntut sebuah politik etis yang berorientasi pada tujuan yang lebih tinggi (telos). Komitmen ini tidak bisa hanya bersifat "sementara"; ia harus diinternalisasi sebagai etiket politik baru bagi umat Katolik Sulut, di mana mereka mampu bertindak sebagai sebuah entitas kolektif yang matang di kancah nasional, terlepas dari bendera partai atau afiliasi bisnis mereka. Kegagalan untuk menyingkirkan ego dan warna politik akan memicu tragedi the commons (Hardin, 1968), di mana sumber daya bersama (kesempatan menyelenggarakan Pesparani Nasional) akan dieksploitasi untuk keuntungan pribadi hingga akhirnya merusak kepentingan kolektif umat.

Peran Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Keuskupan Manado dan moderator LP3KD menjadi sangat krusial di sini. Secara antropologis-politik, Kerawam harus berfungsi sebagai broker kebudayaan dan mediator konflik (Keesing, 1976). Mereka tidak hanya menjadi jembatan antara umat dan hirarki gereja, tetapi yang lebih penting, menjadi penjamin kesatuan narasi di antara tokoh politik dan pengusaha Katolik. Tugas Kerawam adalah memastikan bahwa satu persepsi, tekad, dan tujuan – menyukseskan Pesparani Nasional Ke-4 – menjadi ritual politik yang mengikat, menggantikan ritual persaingan politik yang biasa mereka lakukan. Ini membutuhkan keterampilan diplomasi, ketegasan etis, dan kemampuan untuk mengingatkan para tokoh bahwa kepentingan eklesial (gerejawi) saat ini jauh lebih besar daripada kepentingan elektoral pribadi. Kegagalan mencapai kebersamaan ini akan dilihat sebagai kegagalan umat Katolik Sulut sendiri dalam memanfaatkan peluang politik nasional yang langka, yang secara etis akan menjadi noda pada citra Keuskupan dan umat secara keseluruhan. Kerawam harus bertindak sebagai pemimpin transformasional (Burns, 1978), yang mampu mengangkat visi kolektif di atas kepentingan transaksional.

Secara ekonomis-politis, para pengusaha Katolik memiliki tanggung jawab untuk melihat Pesparani 2027 bukan hanya sebagai proyek amal, melainkan sebagai investasi sosial strategis. Kontribusi mereka harus disalurkan melalui mekanisme yang transparan dan terstruktur, menghindari kesan bahwa dukungan tersebut ditunggangi kepentingan pribadi atau show-off politik. Keterlibatan mereka harus menjadi model corporate social responsibility (CSR) yang berakar pada nilai-nilai Katolik (Ajaran Sosial Gereja), di mana kekayaan digunakan untuk memuliakan Tuhan dan memajukan komunitas. Pengusaha adalah aktor penting dalam civil society (Gramsci, 1971) yang harus menggerakkan sumber daya ekonomi tanpa mendominasi agenda spiritual. Mereka ditantang untuk menunjukkan bahwa kekayaan dapat menjadi pelayan bagi misi Gereja, bukan sebaliknya.

Untuk mewujudkan satu persepsi, tekad, dan tujuan yang diminta, Kerawam dan LP3KD harus segera menyusun Pakta Integritas Persatuan Pesparani 2027. Pakta ini harus ditandatangani oleh semua tokoh kunci Katolik Sulut – politisi dari berbagai partai, pengusaha besar, dan tokoh adat/komunitas – di hadapan Uskup dan Pemerintah Provinsi. Pakta ini harus memuat klausul yang jelas mengenai: (a) Komitmen non-politisasi event, (b) Transparansi dan akuntabilitas dukungan finansial, dan (c) Komitmen untuk berpartisipasi aktif dalam komite pengarah/pelaksana tanpa membawa atribut partai atau bisnis. Secara yuridis, pakta ini mungkin tidak mengikat secara pidana, tetapi secara moral-politis, pakta ini akan menjadi sumber legitimasi dan senjata etis bagi Kerawam untuk menertibkan setiap deviasi kepentingan.

Kritisnya adalah, momentum politik yang didapat (Sukses Politik) tidak boleh disia-siakan. Perhatian pusat akan meredup jika konsolidasi internal Sulut tidak terlihat. Pesparani Nasional adalah ujian bagi kapasitas kepemimpinan kolektif umat Katolik Sulut. Komisi Kerawam Keuskupan Manado dan LP3KD harus menjadi nucleus yang mengorganisasi sinergi ini, bukan hanya menjadi fasilitator pasif. Mereka harus proaktif dalam menciptakan ruang-ruang dialog yang aman, di mana konflik kepentingan dapat diselesaikan secara internal sebelum menjadi konsumsi publik yang merusak citra.

Penutup dari refleksi ini adalah bahwa tiga sukses Pesparani Katolik I Sulut adalah anugerah dan tantangan sekaligus. Anugerah karena menunjukkan potensi kolaborasi dan SDM yang luar biasa; tantangan karena ia membuka kotak Pandora ego dan kepentingan yang harus segera ditutup melalui komitmen kolektif yang kuat. Sukses event yang lalu hanyalah prelude. Sukses hakiki di tahun 2027 adalah ketika Sulut tidak hanya mampu menyelenggarakan acara yang megah, tetapi juga mampu membuktikan kepada nasional bahwa umat Katolik di sana telah mencapai kedewasaan politik dan spiritual – bersatu, berpegangan tangan, dan menempatkan kemuliaan Tuhan dan nama daerah di atas segala-galanya. Ini adalah missio dei yang harus diwujudkan melalui harmoni kerja nyata, merangkul semua aspek dari filosofi hingga politik, demi kemuliaan Gereja dan kemajuan Sulawesi Utara. (*)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved