Pahlawan Nasional
Gus Dur, Pahlawan Kemanusiaan Sejati: Dikenang Bukan Karena Jabatan Presiden, Tapi Ketulusannya
Sosok Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dikenal sebagai simbol perjuangan kemanusiaan dan toleransi di Indonesia.
TRIBUNMANADO.CO.ID – Sosok Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dikenal bukan hanya sebagai Presiden Keempat Republik Indonesia, tetapi juga sebagai simbol perjuangan kemanusiaan dan toleransi di Indonesia.
Dalam salah satu momen paling bersejarah pada tahun 2001, ketika gelombang demonstrasi besar menuntut dirinya lengser, Gus Dur tetap tenang dan teguh memegang prinsip konstitusi.
“Konstitusi tidak bisa di-voting, tapi harus dipertahankan,” ujarnya kepada putri sulungnya, Alissa Wahid.
Di tengah tekanan politik yang memuncak, Gus Dur memilih keluar dari Istana dengan sederhana hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek sembari melambaikan tangan kepada wartawan dan para pendukungnya.
Baca juga: Kisah Perjuangan Keturunan di Sulut hingga Bataha Santiago Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional
Bagi banyak orang, tindakan itu bukan sekadar simbol perlawanan, melainkan wujud ketulusan seorang pemimpin yang berjuang demi kemanusiaan, bukan kekuasaan.
"Enggak bisa nak, kita itu memperjuangkan konstitusi, kebenaran itu enggak bisa di-voting," kata Gus Dur kepada Alissa, saat Alissa kembali mengingat momen pelengseran ayahnya, saat diwawancarai Kompas.com, 22 Juli 2022 lalu.
Namun sikap Gus Dur ini berubah ketika sudah menyangkut nyawa manusia.
Setelah ia selesai melambaikan tangan menggunakan kaos dan celana pendek, Gus Dur kembali masuk istana, dan bertemu beberapa kyai.
Para kyai tersebut mengatakan, ada ratusan ribu santri yang siap syahid, merelakan nyawa mereka untuk mempertahankan Gus Dur di pucuk kepemimpinan negeri.
Mereka memberitahukan bahwa sudah ada 3.000 santri yang siap mempertahankan Gus Dur di Istana Negara, sedangkan 300.000 santri lainnya akan tiba di Jakarta dengan segera.
Mendengar kabar itu, Gus Dur berubah pikiran karena ada potensi konflik besar jika masa pendukungnya berbondong-bondong datang ke Istana Negara.
Gus Dur memanggil Alissa sebagai anak tertua dan meminta keluarganya untuk berkemas karena ia siap meninggalkan jabatannya sebagai Presiden RI.
"Kok berubah kenapa, Pak? Kan kemarin maunya mempertahankan ini," tanya Alissa.
"Wis (sudah), Nak, ini santri banyak yang ke sini, enggak ada jabatan yang layak dipertahankan dengan pertumpahan darah rakyat, dah kita keluar." kata Gus Dur kepada Alissa.
Pejuang kemanusiaan
Cerita tersebut memberikan gambaran bahwa Gus Dur memberikan perjuangan dan prioritas tertinggi untuk kemanusiaan.
Sekalipun Gus Dur memiliki kesempatan untuk tetap menjabat, ia memilih melepaskan jabatannya agar tidak terjadi pertumpahan darah dan pengorbanan nyawa.
Jejaknya membela kemanusiaan tak hanya terjadi saat ia menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia, tetapi jauh sebelum itu.
Selama Soeharto berkuasa, kritik Gus Dur terhadap rezim yang berkuasa sering dilontarkan dalam bentuk humor.
Salah satu humornya cerita seorang presiden dari negara asing yang berusaha melucu di depan orang Indonesia dengan pidatonya yang panjang.
Namun, penerjemahnya hanya menyampaikan beberapa kata, kemudian peserta tertawa.
"Diterjemahkannya pendek, kok semua orang tertawa?" tanya presiden.
"Iya itu di Indonesia soalnya," jawab salah satu orang dekatnya presiden tersebut.
"Memang orang itu bilang apa?" lanjut presiden.
"Kalian semua harus ketawa karena presiden tamu kita sedang melucu, yang tidak ketawa dihukum," jawab orang terdekat presiden.
Menurut Alissa, humor itu berupa sindiran terhadap kondisi masyarakat Indonesia yang hanya mengikuti perintah tanpa mengerti maksudnya.
Setelah menjabat jadi presiden, Gus Dur mencabut instruksi Presiden Soeharto yang memerintahkan perayaan pesta agama dan adat istiadat etnis Tionghoa dilarang di muka umum.
Pencabutan Inpres oleh Gus Dur pada 17 Januari 2000 itu memberikan kelapangan bagi masyarakat yang beragama Konghucu untuk merayakan imlek bersama.
Setelah pencabutan Inpres Nomor 14 Tahun 1967, kemeriahan Imlek akhirnya bisa dirasakan di Indonesia.
Pada era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, Imlek dijadikan hari nasional, sedangkan penetapan Imlek sebagai hari libur nasional baru dilakukan pada 2003.
Pun ketika telah meninggalkan dunia ini, Gus Dur tetap memilih dalam jalan perjuangan kemanusiaan.
Ia wafat pada 30 Desember 2009 dan dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang, Jawa barat.
Kalimat paling atas yang dituliskan dalam nisan Gus Dur adalah "Di Sini Berbaring Seorang Pejuang Kemanusiaan".
Kalimat itu ditulis dalam empat bahasa: bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Mandarin.
Bukan karena seorang presiden
Pada Senin, (10/11/2025) bertepatan dengan Hari Pahlawan, sosok Gus Dur dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh emerintah.
Penganugerahan ini diberikan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 November 2025.
“Menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada mereka yang namanya tersebut dalam lampiran keputusan ini sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi, atas jasa-jasanya yang luar biasa, untuk kepentingan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa," bunyi kutipan Keppres tersebut.
Narator Istana menyebutkan, semasa hidupnya, Gus Dur juga memperjuangkan kemanusiaan, demokrasi, dan pluralisme di Tanah Air.
"KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah tokoh bangsa yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri memperjuangkan kemanusiaan, demokrasi, dan pluralisme di Indonesia," ungkap narator.
Alissa menyebutkan, keluarga Gus Dur datang dan menerima gelar pahlawan tersebut bukan karena nama Gus Dur disatukan dengan Soeharto yang saat itu juga mendapat gelar pahlawan.
Dia juga menegaskan, Gus Dur menjadi pahlawan bukan karena pernah menjabat sebagai seorang presiden, melainkan perjuangannya merawat keberagaman dan kemanusiaan.
"Gus Dur menerima penghargaan karena jejaknya sebagai pejuang demokrasi yang dimulai sejak masih menjadi kyai dan penggerak masyarakat sipil. Bukan sebagai Presiden," tegasnya.
Keluarga Gus Dur yang hadir di Istana Negara saat itu adalah istri Gus Dur, Nyai Sinta Nuriyah Wahid, dan putri ketiganya, Yenny Wahid.
Yenny mengatakan, penghargaan ini diterima dengan rasa syukur dan kerendahan hati, karena Gus Dur tidak pernah berjuang demi gelar atau penghargaan, tapi karena panggilan nurani.
"Bagi banyak orang, beliau adalah tokoh bangsa. Bagi saya, beliau adalah ayah yang mengajarkan arti keberanian untuk membela yang lemah, berjuang untuk keadilan, dan menjaga kemanusiaan di atas segalanya," kata Yenny.
Sepanjang hidupnya, Gus Dur berjuang tanpa pamrih menolak diskriminasi, memperjuangkan kebebasan beragama, dan membela martabat manusia.
Warisan terbesarnya bukan hanya dalam sejarah, tapi dalam cara kita memperlakukan sesama dengan kasih dan keadilan.
"Semoga teladan beliau terus hidup dalam setiap langkah kecil kita untuk menjaga kemanusiaan dan persaudaraan di bumi Indonesia," kata Yenny.
-
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Baca berita lainnya di: Google News
WhatsApp Tribun Manado: Klik di Sini
| Presiden ke-2 RI Soeharto Dapat Gelar Pahlawan Nasional, Begini tanggapan Keluarga Cendana dan PDIP |
|
|---|
| Daftar 10 Artis Indonesia Keturunan Pahlawan Nasional, Ada Penyanyi Senior |
|
|---|
| Deretan Hak Istimewa bagi Penerima Gelar Pahlawan Nasional, Keluarga atau Ahli Warisnya |
|
|---|
| Masih Ingat Gus Dur? Dulu Diberhentikan MPR Sebagai Presiden RI, Kini Jadi Pahlawan Nasional |
|
|---|
| Daftar 10 Nama Pahlawan Nasional yang Baru, Ada Dua Presiden Indonesia |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/manado/foto/bank/originals/sosok-abdurrahman-wahid-alias-gus-dur11.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.