Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Manado Sulawesi Utara

2 Lokasi Sol Sepatu Legendaris di Pasar 45 Manado, Ada Sejak 1960-an hingga Dikunjungi Turis Asing

Pengrajin sepatu adalah satu dari UMKM di pasar 45 Kelurahan Pinaesaan, Kecamatan Wenang, kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara

Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Chintya Rantung
Kolase/Arthur Rompis/Tribun manado
LEGENDARIS - Dua lokasi sol sepatu legendaris di Pasar 45 Manado. Di antaranya lorong di depan Taman Kesatuan Bangsa. 

Dialah pengrajin tertua di sana.

"Usia saya sudah 70 tahun," kata dia.

Fredy mengaku sudah generasi kedua pengrajin di tempat itu.

Pengrajin generasi pertama adalah sang ayah.

"Tempat ini berdiri sejak tahun 1970," katanya.

Semuanya, kata dia, berawal dari adanya pabrik sepatu di Pasar 45.

Pabrik itu lantas pindah ke Jawa.

Pekerjanya lantas membuka usaha kerajinan sepatu. 

Awalnya di emperan toko, lantas di pindah ke lokasi saat ini.

"Ayah saya adalah pekerja pabrik itu," katanya.

Ia bercerita, awal mula dirinya menjadi pengrajin sepatu adalah saat mengantar makanan pada sang ayah.
Kala itu ia masih SD.

"Saya sering bawa makanan ke ayah, berada di sana saya sering melihat ayah bekerja dan lama kelamaan saya belajar 
menjahit, saya punya minat tinggi hingga bisa menguasai keahlian itu dengan baik," katanya.

Berbekal keahlian itu, Fredy kecil mulai menjadi pengajin. 

Ia pun mulai akrab dengan cuan.

"Kala itu saya bisa dapat Rp 10 ribu sehari, jumlah yang besar kala itu," kata dia.

Ungkap dia, dulunya usaha reparasi sepatu sangat cerah.

Warga yang memanfaatkan jasa mereka sangat banyak.

"Waktu itu ada 30-an pengrajin disini," kata dia.

Ia menyebut pendapatannya rata rata Rp 300 ribu per hari. Itu lebih dari cukup untuk kegiatan sehari - hari.

Fredy mengaku punya banyak pelanggan. Diantara sekian banyak pelanggannya, ada kepala daerah.

"Ada Walikota Manado dulu Wempie Frederik dan almarhum Bupati Minahasa Jantje Sajow," katanya.
Zaman berubah.

Usaha reparasi sepatu kini tak seindah dulu.

Salah satu penyebabnya adalah maraknya tukang sol jalanan.

"Mereka jalan ke rumah rumah, banting harga dan kualitasnya tak bagus, hingga membuat branding kami menurun," kata dia.

Sebut dia, kini pengrajin tersisa 10. Itu pun tak semua aktif.

"Mereka ini generasi ketiga," katanya.

Ia tak bisa memastikan bakal ada generasi selanjutnya.

Anak-anaknya semua perempuan.

Meski tak lagi mudah, dirinya masih punya asa.

Dirinya berharap pemerintah setempat dapat memfasilotasi tempat itu menjadi lebih baik lagi.

"Kami minta minimal ini dipasangi kanopi agar kami tak kena hujan atau panas, ini juga dapat diolah jadi ramah pariwisata, sudah sering kami sampaikan tapi belum ada tindak lanjutnya," katanya. (Art)

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya. 

Sumber: Tribun Manado
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved