Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Mengurai Benang Kusut Tanah Depo Pertamina Bitung

Konon nama Kota Bitung diambil dari nama pohon bitung yang pada saat itu banyak bertumbuh di pesisir pantai

Editor: David_Kusuma
Dokumen Pribadi
Efraim Lengkong 

Penulis: Efraim Lengkong (Pengamat Hukum dan Sosial Politik)

KESEPAKATAN adalah hukum tertinggi. Walaupun gugatan perkara ahli waris Simon Tudus dan Martinus Pontoh terhadap tanah depo Pertamina Bitung telah "inkracht van gewijsde" (berkekuatan hukum tetap)
ganti rugi lahan masih sulit terlaksana.

Ke hati-hatian pihak Pertamina untuk melakukan pembayaran kepada ahli waris "Simon Tudus" sangat beralasan. 

Pasalnya apabila dilakukan pembayaran ganti rugi lahan sebagaimana yang diupayakan oleh ahli Waris Simon Tudus Alfrid A Wawoh SH beserta Kuasa Hukum-nya Noldy Sulu SH, hal ini belum menjamin pihak Pertamina aman atau "clier" (bebas) dari tuntutan hukum.

Semrawut tanah Bitung ibarat di Palestina yang satu mengklaim tanah perjanjian yang lain mengatakan bahwa tanah para nabi.

Sebut saja ahli waris dari Nikodemus Sompotan yang mengklaim tanah Depo Pertamina Bitung milik mereka sesuai "Verponding 27 Maret 1930 dan memiliki register tanah.

Di sisi lain ada ahli waris enam Dotu Tanjung Merah Kota Bitung walaupun mereka tidak mengklaim tetapi setiap saat akan muncul. Diketahui bahwa kekuatan hukum ahli dari waris 6 Dotu sudah beberapa kali diuji dan menang dalam persidangan.

Putusan demi putusan yang dimenangkan oleh ahli waris 6 Dotu otomatis menjadi "Yurisprudensi", siapa pemilik kota Bitung.

Menurut tafsir penulis, proses pengalihan hak ke Pertamina apabila hanya berdasarkan pembayaran ganti rugi pada satu pihak dengan alasan sudah inkrah, dapat dipastikan akan kembali berhapan dengan hukum. 

Komitmen Pertamina untuk menyelesaikan kewajiban secara adil dan transparan kepada seluruh pihak yang sah sesuai ketetapan hukum. Juga akan melaksanakan putusan hukum dengan pihak ahli waris Martinus Pontoh sebagai mana yang diberitakan di salah satu media online Selasa, 27 Mei 2025 merupakan langkah yang baik tetapi belum sempurna atau "clier" dari permasalahan hukum apabila tidak melibatkan ahli waris Nikodemus Sompotan dan 6 Dotu Tanjung Merah.

Konon nama Kota Bitung diambil dari nama pohon bitung yang pada saat itu banyak bertumbuh di pesisir pantai yang saat ini disebut “candi dan Depo Pertamina” sampai di pasar tua dan pohon-pohon tersebut menjadi tempat istirahat para nelayan dari teriknya matahari.

Di zaman Hindia Belanda, pemerintah mengeluarkan ketetapan tentang tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh pemerintah Hindia Belanda dan ada juga tanah-tanah yang dikuasai oleh districk (wijk).

Di abad 18, di pesisir pantai Kota Bitung sudah ada orang yang secara berkelompok mulai merombak hutan untuk dijadikan lahan perkebunan, jumlah mereka tidak banyak.  

Awalnya komunitas mereka dalam interaksi “sosialnya” hidup rukun dan damai. Kemudian penduduk  pribumi yang mengelola hasil bumi dari areal perkebunan mulai mendapat gangguan dan ancaman bahkan serangan dari bajak laut Mindanou (Filipina) 

Sekitar tahun 1884 pemerintah Hindia Belanda melalui kepala districk Tonsea  Major Oxfford Palengkahu yang berkedudukan di Airmadidi melakukan pengamanan wilayah Bitung dengan meminta bantuan dari para “pendekar” dari Kampoeng Tandjoeng Merah. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved