Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Perceraian di Manado

Angka Perceraian Tinggi di Manado, Begini Analisis Psikolog Preysi Siby

Beberapa faktor yang bisa memicu individu atau personal dengan yakin mengambil keputusan untuk bercerai

Editor: Erlina Langi
Dok. Preysi Siby
TANGGAPAN: Psikolog Preysi Siby tanggapi tingginya kasus perceraian di Manado. Hal ini bukanlah semata-mata persoalan individu atau personal  

TRIBUNMANADO.COM - Sebagai seorang psikolog, Preysi Siby melihat meningkatnya angka perceraian, seperti 100 kasus dalam tiga bulan di Manado, sebagai sebuah fenomena sosial yang kompleks

Hal ini bukanlah semata-mata persoalan individu atau personal

Namun faktor lainnya juga mempengaruhi keputusan setelah berkomitmen untuk hidup berkeluarga dan akhirnya mengakhiri kehidupan berkeluarga

Beberapa faktor yang bisa memicu individu atau personal dengan yakin mengambil keputusan untuk bercerai dan akhirnnya menjadi keputusan bersama antara pasangan yaitu suami dan istri

Menyebabkan perceraian semakin dianggap biasa oleh pasangan suami dan istri yang notabene sudah berkomitmen dal diri sendiri, keluarga dua belah pihak, lingkungan sosial dan agama, juga pemerintah. 

Teori Kepuasan dalam Hubungan (Social Exchange Theory – Thibaut & Kelley)

Teori ini menjelaskan bahwa individu akan mengevaluasi hubungan berdasarkan keuntungan (rewards) dan kerugian (costs).

Jika seseorang merasa bahwa kerugian dalam hubungan lebih besar daripada keuntungannya, maka ia cenderung keluar dari hubungan tersebut. 

Dalam konteks perceraian, ketika seseorang merasa tidak lagi mendapatkan dukungan emosional, rasa aman, atau kepuasan dalam pernikahan, ia lebih mudah memutuskan untuk bercerai. 

Model Investasi dalam Hubungan (Investment Model – Rusbult)

Model ini menambahkan tiga komponen utama yang mempengaruhi komitmen dalam hubungan:

 • Tingkat kepuasan dalam hubungan

 • Besar investasi yang telah diberikan (waktu, emosi, finansial, anak, dll.)

 • Alternatif lain yang dirasa lebih baik

Jika kepuasan rendah, investasi terasa sia-sia, dan ada alternatif lain (misalnya hidup sendiri dianggap lebih tenang), maka keputusan untuk bercerai jadi lebih mudah diambil.

Perubahan nilai dan norma sosial perceraian adalah aib atau kegagalan.

Pada kenyataannya, sekarang banyak pasangan suami dan istri yang mulai memandangnya sebagai jalan keluar dari hubungan yang tidak sehat atau toxic.

Contoh kasus: Pergeseran nilai  dipengaruhi oleh meningkatnya kesadaran akan hak individu, khususnya hak perempuan untuk hidup bahagia dan bebas dari tekanan dalam rumah tangga.

Teori Disonansi Kognitif (Festinger)

Seseorang mengalami ketidaksesuaian antara nilai pribadi (misalnya: “pernikahan harus dipertahankan”) dan realita yang dijalani (hubungan penuh konflik), maka terjadi disonansi.

Untuk mengurangi ketegangan itu, salah satu jalannya adalah mengubah nilai atau keyakinan, misalnya dengan menganggap bahwa perceraian bukan hal buruk, sehingga keputusan untuk berpisah lebih mudah diterima secara psikologis.

Teori Kematangan Emosional dan Individualisme

Dalam masyarakat modern, muncul kecenderungan individu untuk lebih mengutamakan aktualisasi diri dan kesehatan mental.

Dari perspektif psikologi perkembangan, ketika individu mulai lebih dewasa secara emosional, mereka akan berani mengambil keputusan demi kebaikan jangka panjang, meski keputusan itu berat seperti perceraian

Jadi, mudahnya pengambilan keputusan bukan berarti tidak bijak, tapi bisa juga karena individu merasa lebih sadar akan kebutuhan dan batas dirinya.

Kurangnya keterampilan mengelola konflik dalam pernikahan. 

Banyak pasangan menikah tanpa bekal emosional yang cukup, termasuk kemampuan komunikasi yang sehat, pemahaman peran, serta kemampuan menyelesaikan konflik.

Pengaruh media dan lingkungan.

Saat kasus perceraian semakin sering dibicarakan di media sosial atau lingkungan sekitar, tanpa narasi kritis, masyarakat bisa terbiasa dan menganggapnya hal wajar.

Ini bisa mendorong individu berpikir bahwa perceraian adalah jalan keluar yang “mudah” dibanding memperbaiki hubungan.

Juga Kondisi ekonomi dan tekanan hidup. Faktor ekonomi juga berperan besar.

Stres karena masalah keuangan sering menjadi pemicu konflik rumah tangga, dan bila tak tertangani, dapat berujung pada perceraian.Untuk mengatasi anggapan bahwa perceraian adalah sesuatu yang “biasa”, pendekatan yang perlu dilakukan antara lain:

Pendidikan pra-nikah: Calon pasangan perlu dibekali pemahaman soal komitmen, komunikasi, dan dinamika keluarga. 

Konseling keluarga: Masyarakat perlu diberi akses dan edukasi soal pentingnya konseling sebagai langkah preventif sebelum memutuskan bercerai.

Peran media yang berimbang: Media bisa membantu dengan menyajikan narasi yang lebih mendalam, tidak hanya menyoroti kasus cerai, tapi juga upaya rekonsiliasi atau edukasi seputar pernikahan sehat.

Perceraian memang bisa menjadi pilihan terakhir dalam hubungan yang penuh kekerasan atau toksik. 

Tapi bila masyarakat terlalu mudah menganggapnya biasa, kita khawatir akan kehilangan semangat memperjuangkan hubungan yang sehat dan saling mendukung. (Art)

Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved