Opini
Kita Semua Telah MenyalibkanNya
Manado, Sulawesi Utara, berkabung demi merayakan suatu hari paling gelap dalam sejarah. Penyaliban Yesus Kristus.
Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Rizali Posumah
Tapi tokoh antagonis adalah ahli Taurat dan orang orang Farisi.
Mereka benar - benar tampil untuk dibenci.
Pemeran Maria ibu Yesus membuat pentas itu penuh tragedi. Ia menangis ketika Yesus dicambuk di depan Pilatus.
Pun ketika ia memegang kaki Yesus yang baru saja mati di kayu salib. Adegan ini begitu ikonik.
Saya memotretnya sambil jongkok, demi mencari sisi terbaik dan menjadikannya foto utama dalam berita.
Aksi brilian para pemeran itu ditunjang dengan perlengkapan pentas yang lumayan wah. Saat Yesus disalib, warna sekelilingnya jadi merah dan ada asap yang muncul.
Warna merah itu jadi kedap kedip saat Yesus menyerahkan nyawanya.
Pentas itu menyajikan harmonisasi antara iman dan rasa.
Teater dengan demikian bukan lagi ajang para artis untuk berbohong untuk menyatakan kebenaran, sebagaimana diucapkan Shakespeare.
Tapi bagi saya point of viewnya ada di akhir pentas.
Seorang majelis tampil dan membawakan puisi. Wajahnya menatap Yesus yang disalib sambil tangannya menunjuk nunjuk ke sekitar.
"Kita hanyalah cacing yang menggerogoti roti dan anggur perjamuan, kita hanyalah lintah yang menempel di tubuh sakramen, kita semua telah menyalibkanNya".
Saya ingat tulisan seorang penulis yang saya lupa namanya. Ia mengisahkan Yesus yang datang, bukan pada 2000 tahun yang lalu, tapi di sama kini?
Yesus menyusuri jalan yang padat dengan pertokoan, yang berdampingan dengan pantai - mirip Manado, dan berseru - seru tentang kerajaan Allah.
Siapa yang akan menyalibkannya? Mungkin saja, para hamba Tuhan yang menghilangkan Yesus dari salibnya dan berbicara tentang
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.