Opini
Penerapan Hukum Merek Sebagai Objek Jaminan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022
PP Nomor 24 Tahun 2022 menjadi dasar HAKI yang dapat dijadikan jaminan fidusia lewat mekanisme pembiayaan berbasis kekayaan intelektual.
Oleh:
Setiawan Maliogha, S.H
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Prodi S-2 Ilmu Hukum
PADA masa sekarang sudah lahir suatu konsep ekonomi baru yaitu konsep ekonomi kreatif yang menitikberatkan pada informasi serta kreativitas dengan mengandalkan “stock of knowledge” serta gagasan dari sumber daya manusia (SDM) selaku faktor produksi utama pada aktivitas ekonomi. Struktur perekonomian dunia mengalami perubahan cepat bersamaan dengan bertumbuhnya ekonomi, dari yang awalnya berbasis sumber daya alam (SDA), kini berbasiskan SDM, dari masa pertanian menuju era industri serta informasi. (Alya Qurnisari dan Budi Santoso, “Kekayaan Intelektual Sebagai Aset Bisnis dan Jaminan Kredit Perbankan di Era Ekonomi Kreatif”. Notarius Volume 16 Nomor 3 Tahun 2023). Perkembangan ini tentunya sangat dipengaruhi oleh perkembangan globalisasi dan semakin majunya teknologi dari waktu ke waktu.
Ekonomi kreatif digerakkan dari sektor industri yang dinamakan “industri kreatif”. Seperti dijelaskan pada Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 yang dipublikasikan Departemen Perdagangan, pengertian industri kreatif ialah industri yang bersumber dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan dan bakat individu guna menciptakan kesejahteraan dan lapangan pekerjaan melalui penciptaan serta pemanfaatan daya kreasi serta daya cipta individu tersebut.
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) mendefenisikan ekonomi kreatif sebagai proses penciptaan, produksi dan distribusi dari barang dan jasa yang menggunakan modal kreativitas dan intelektual sebagai input utama dari proses produksi. Proses produksi ekonomi kreatif tersebut menyatukan pengetahuan, intelektual, dan kreativitas untuk menghasilkan suatu barang dan jasa serta intagible intellectual atau jasa artistik dengan konten kreatif dan memberikan nilai tambah.
Ekonomi kreatif membawa perubahan dan membuat masyarakat secara global berkembang dengan memanfaatkan kreativitas dan pengetahuannya untuk dikelola. Di Indonesia, ekonomi kreatif menjadi pendorong utama dalam perkembangan objek jaminan dalam perbankan. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif menjadi langkah besar untuk Indonesia dalam mempercepat perkembangan ekonomi di Indonesia dengan ekonomi kreatif. Pemerintah berupaya mendorong seluruh aspek ekonomi kreatif dengan perkembangan kebudayaan, teknologi, kreativitas, inovasi masyarakat Indonesia, dan perubahan lingkungan perekonomian global untuk menyejahterakan rakyat Indonesia, meningkatkan pendapatan negara, menciptakan ekosistem ekonomi kreatif yang berdaya saing global, menciptakan kesempatan kerja baru yang berpihak pada nilai seni budaya bangsa Indonesia dengan memanfaatkan sumber daya ekonomi lokal dan mengoptimalkan potensi para pelaku ekonomi kreatif.
Perkembangan ekonomi dan masyarakat global membuat merek dan beberapa jenis kekayaan intelektual lainnya bisa digunakan untuk mendapatkan kredit perbankan atau digunakan sebagai agunan. United Nation dalam pertemuannya pada sesi ke-39 tahun 2006 mencatat bahwa kekayaan intelektual (seperti copyright, patent, dan trademark) telah menjadi sumber pembiayaan perbankan. Hal ini merupakan hasil sidang United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) ke-13 tahun 2008 menyatakan bahwa, HKI akan dijadikan sebagai agunan untuk mendapatkan kredit perbankan secara internasional.
Merespons hal tersebut pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 yang mengatur mekanisme penerapan kekayaan intelektual sebagai jaminan melalui skema pembiayaan berbasis ekonomi kreatif. Hadirnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 yang menjadi peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif menjadi dasar HAKI yang dapat dijadikan jaminan fidusia lewat mekanisme pembiayaan berbasis kekayaan intelektual. Selain itu, berdasarkan penjelasan Menteri Hukum dan HAM Yansonna Laoly, peraturan pemerintah tersebut juga akan menjadi wadah tentang skema pembiayaan khusus untuk para pelaku ekonomi kreatif. (Nathallie Deborah Carmichel Kaunang, Analisis Yuridis atas Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan Fidusia, Jurnal Lex Privatum Vol. 13 No. 5 Tahun 2024).
Namun dalam penerapannya sampai saat ini merek dan jenis kekayaan intelektual lainnya belum diterima sebagai jaminan oleh perbankan karena belum memiliki dukungan yuridis yang baik, jangka waktu perlindungan hak kekayaan intelektual yang terbatas, belum adanya konsep yang jelas terkait due diligence, dan penilaian aset hak kekayaan intelektual. Penulis menilai ada beberapa faktor penyebab mengapa sampai saat ini penerapan kekayaan intelektual sebagai jaminan di Indonesia belum terlaksana.
1. Substansi Hukum (Legal Substancy)
Substansi hukum (Legal substancy) adalah output dari sistem hukum, yang berupa peraturan-peraturan keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur. Substansi hukum yang dimaksud adalah peraturan yang mengatur kekayaan intelektual sebagai objek jaminan belum mengatur secara menyeluruh atau memiliki ketidakjelasan yang menghambat penerapan kekayaan intelektual sebagai jaminan.
Pada Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 mengatur bahwa kekayaan intelektual yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang berupa kekayaan intelektual yang telah tercatat atau terdaftar di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan kekayaan intelektual yang sudah dikelola baik secara sendiri dan/atau dialihkan haknya. Namun, dalam Pasal 9 menyatakan bahwa dalam pelaksanaan skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual, lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank menggunakan kekayaan intelektual sebagai objek jaminan utang dalam bentuk jaminan fidusia. Artinya semua hak kekayaan intelektual dapat dijadikan sebagai objek jaminan utang dalam skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual. Apabila merujuk pada pengertian dari jaminan fidusia maka semua jenis kekayaan intelektual masuk dalam kategori intangible asset (aset tidak berwujud), pembatasan yang jelas pada jenis kekayaan intelektual yang bisa digunakan sebagai objek jaminan utang penting untuk dilakukan karena di Indonesia pemberian kredit dengan jaminan benda tidak berwujud (intangible asset) masih sangat jarang digunakan dalam pemberian kredit. Apabila melakukan perbandingan dengan beberapa negara yang sudah menerapkan kekayaan intelektual sebagai objek jaminan, mereka cenderung memberikan kredit pada jaminan kekayaan intelektual yang memiliki nilai yang pasti (fixed value).
Kemudian beberapa metode penilaian yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 belum dapat diterapkan di Indonesia. Contohnya, metode penilaian dengan pendekatan pasar (pasar kekayaan intelektual) belum bisa diterapkan karena pasar kekayaan intelektual yang digunakan untuk transaksi belum ada di Indonesia.
2. Struktur Hukum
Struktur hukum atau struktur kelembagaan merupakan kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Pasal 12 mengatur penilaian kekayaan intelektual harus dilakukan oleh penilai kekayaan intelektual dan/atau panel penilai yang memiliki izin penilaian publik dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, memiliki kompetensi bidang penilaian kekayaan intelektual dan terdaftar di kementerian yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang ekonomi kreatif. Sayangnya, sampai saat ini penilai kekayaan intelektual dan/atau panel penilai belum ada di Indonesia.
3. Budaya Hukum
Lawrence Friedman menempatkan budaya hukum sebagai sebagai sumber hukum. Nilai yang terkandung dalam ide, opini, dan perilaku masyarakat sejatinya akan membentuk norma hukum, dan norma itulah yang akan menentukan perubahan dalam masyarakat, termasuk kepatuhan sekaligus pembentukan hukum. Subjek hukum, yaitu manusia, dikaruniai akal pikiran, dapat menentukan nilai mana yang baik dan buruk. Maka terkait dengan eksisnya norma hukum dalam komunitasnya, manusia akan bereaksi terhadap pola kepatuhan terhadap kewajiban, perintah dan institusi hukum tersebut. (Jo Carrillo, “Links and Choices : Popular Legal Culture In The Work Of Lawrence M. Friedman”, Southern California Interdisciplinary Law Journal 17 2007).
Terdapat dua kemungkinan terkait pembentukan budaya hukum. Pertama, budaya hukum dapat dihasilkan dari saling bersinggungnya unsur struktur hukum dengan substansi hukum. Kedua, budaya hukum lahir dalam masyarakatnya sendiri yang kemudian membentuk pola kebiasaan tertentu sehingga mampu menciptakan pola struktur hukum, sekaligus membentuk susunan substansi hukum.
Dalam penerapan kekayaan intelektual sebagai obek jaminan utang di Indonesia, budaya hukum belum terbentuk. Pemerintah, lembaga keuangan, dan pemangku kepentingan lainnya dalam konteks penerapan kekayaan intelektual sebagai objek jaminan belum mengetahui dan memahami dengan baik mengenai sistem kekayaan intelektual dan cara melakukan penilaian. Hal ini karena dalam hal dukungan secara yuridis juga belum diatur secara jelas dan tegas mekanisme dan hal-hal yang lain yang perlu diatur lebih lanjut sehingga pembentukan budaya hukum yang dimaksud terhambat. Masyarakat juga perlu dibiasakan dan memahami bahwa kekayaan intelektual bisa digunakan sebagai jaminan utang dan harus didorong penggunaannya agar terbentuk budaya hukum yang baru di kalangan masyarakat.
Menurut penulis, evaluasi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 perlu dilakukan khususnya untuk beberapa pasal seperti yang dijelaskan di atas untuk memaksimalkan dan menjamin kepastian hukum dan efektivitas hukum seperti yang dimaksudkan oleh Friedman. Salah satu cara yang bisa digunakan dalam melakukan penilaian dimensi ini adalah dengan melihat apakah tujuan yang menjadi dasar dari pembentukan suatu produk hukum telah dapat diwujudkan dalam kenyataan atau tidak. Jika tujuan yang menjadi dasar dari pembentukan suatu produk hukum tersebut telah dapat diwujudkan dalam kenyataan (di lapangan) maka dapat dikatakan implementasi dari ketentuan hukum tersebut telah efektif. Sebaliknya apabila tujuan yang menjadi dasar dari pembentukan produk hukum tersebut belum/tidak dapat direalisasikan, maka dapat dikatakan implementasi dari hukum tersebut belum cukup efektif, yang dapat disebabkan masih ada kesenjangan antara tujuan yang dicita-citakan (law in book) dengan kenyataan di masyarakat (law in action). (*)
Nama: Setiawan Maliogha, S.H
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Prodi S-2 Ilmu Hukum
Alamat: Papusungan, Kecamatan Lembeh Selatan, Kota Bitung
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.