Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sejarah

Sosok DN Aidit di Mata Orang yang Mengenalnya, dari Wartawan hingga Saudara Kandung: Khatam Al-Quran

Peristiwa Rengasdengklok 16 Agustus 1945 misalnya. Momen ketika Soekarno dan Hatta diculik oleh sekelompok anak muda yang mendesak keduanya segera.

Editor: Rizali Posumah
Wikimedia Commons
DN Aidit berbicara pada pertemuan Pemilu 1955. 

Agaknya, bukan semangat kerakyatan, melainkan bakatlah masalah Aidit, karena dalam hal semangat, Amarzan punya cerita lain.

DN Aidit, lahir dengan nama Achmad Aidit, punya alasan sendiri mengubah namanya menjadi Dipa Nusantara. Tak ingin melibatkan keluarganya dalam dinamika politik saat itu.

Ketika Aidit jadi menteri, dan mendapat fasilitas mobil, pengawal, dan Iain-lain, datanglah putri pertamanya, Iba, dari Moskwa, yang masih berusia belasan tahun. Disebutkan bahwa putrinya yang lebih banyak tinggal di luar negeri itu ingin jalan-jalan keliling Jakarta menggunakan mobil tersebut.

Namun Aidit kemudian berkata kepada putrinya, "Kamu mau menggunakan mobil yang dibiayai oleh negara dari uang rakyat ini untuk keliling Jakarta? Kamu boleh keliling Jakarta dan kuberi pengawal pribadi, tapi naik bus."

"Mereka pun naik bus PPD," kenang Amarzan, "Itu saya tahu. Besoknya, ketika Iba ingin pergi ke Gedung Pemuda di Menteng untuk bertemu dengan teman-temannya, fasilitas yang diberikan ayahnya hanyalah sepeda."

Dipa dan Nusantara

Dua saudara Aidit, Sobron dan Murad, masing-masing menulis buku tentang Aidit, dan beredar bebas setelah reformasi.

Sobron menulis Aidit: Abang, Sahabat dan Guru di Masa Pergolakan (2003), sedangkan Murad menulis Aidit Sang Legenda (2005).

Dari cerita Sobron, kita dapat mengetahui bahwa revolusi pertama Aidit adalah mengganti namanya sendiri, dari Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit.

Dalam buku Sobron, disebutkan bahwa pada usia 17 tahun, Aidit meminta kepada ayahnya agar diizinkan mengganti nama, "Dan ayah setuju, lalu disahkan di Notaris di Batavia ketika itu." Namun dalam buku Murad, kisahnya lebih panjang:

"Di zaman pendudukan Jepang, hubungan antara kami di Jakarta dengan keluarga di Belitung putus sama sekali. Kiriman Ayah untuk membayar kos pun tak dapat diharapkan lagi.

Pada waktu itu Bang Amat atau Achmad Aidit sudah mengganti namanya menjadi Dipo (sic!) Nusantara Aidit.

Penggantian nama pada masa itu tidak dapat dilakukan sesederhana sekarang. Jika ketahuan seseorang telah mengganti namanya dianggap sebagai tindak kejahatan berisiko berat.

"Sebelum Jepang datang, surat-menyurat antara Ayah dengan Bang Amat perihal perubahan nama ini cukup ramai.

Masalahnya nama Bang Amat tercatat dalam daftar gaji Ayah sebagai Achmad. Apabila ketahuan tak ada lagi yang bernama Achmad maka ini akan ditindak sebagai kejahatan yang cukup merepotkan.

"Akhirnya diputuskan nama Dipo Nusantara Aidit atau D.N. Aidit itu baru digunakan jika telah memperoleh pengesahan dari Burgerlijke Stand (Catatan Sipil). Bang Amat sudah merasakan bahwa lapangan politik yang dipilihnya mengandung risiko tinggi, baik bagi dirinya maupun keluarga. Itu sebab dia bersikeras mengubah namanya dari Achmad menjadi D.N. Aidit, untuk sedikit melindungi keluarga."

Halaman
1234
Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved