Sejarah
Sosok DN Aidit di Mata Orang yang Mengenalnya, dari Wartawan hingga Saudara Kandung: Khatam Al-Quran
Peristiwa Rengasdengklok 16 Agustus 1945 misalnya. Momen ketika Soekarno dan Hatta diculik oleh sekelompok anak muda yang mendesak keduanya segera.
"Aidit adalah sosok, yang ketika pertama kali melihatnya, kita tidak ingin menjadi dekat," katanya.
Disebutkan bahwa tuntutan atas kewibawaan sebagai pemimpin partai komunis yang tergolong besar, dibandingkan dengan partai-partai komunis lain di dunia, telah membuat Aidit seperti merasa harus menjaga jarak, dengan siapa pun, "Ini tidak terjadi dengan pemimpin PKI lain seperti Njoto."
Dalam pergaulan sehari-hari, katanya lagi, Aidit selalu memperlihatkan sikap bahwa dirinya harus didengar, harus dituruti, dan harus dipercaya.
Amarzan yang menginjak Jakarta tahun 1963 dari Medan, memenangkan sebuah lomba puisi dalam rangka peringatan Karl Marx, dua tahun kemudian pada usia 24, "Hadiahnya diserahkan sendiri oleh Aidit." Sejak itu, karena Amarzan menjadi redaktur Harian Rakjat, mereka saling mengenal, sehingga Amarzan mempunyai catatan tertentu tentang Aidit, seperti cerita berikut ini.
"Waktu itu saya menjadi redaktur edisi Minggu dari Harian Rakjat, yang antara lain mengurusi bagian sastra. Aidit mengirimkan sekitar lima atau enam sajak, yang tidak saya muat. Pada Sabtu malam, sebelum naik cetak, Aidit menelepon saya di kantor.
'Sajak-sajak saya dimuat 'kan?' Aidit bertanya. 'Tidak, Bung,' jawab saya. 'Kenapa tidak?' Aidit bertanya lagi. Karena masa itu suara percakapan di telepon belum sejernih sekarang, saya katakan kepadanya, 'Kalau kita bisa bertemu, akan saya jelaskan alasannya.' Setelah itu telepon dibanting."
Nah, apakah terbaca sesuatu tentang karakter Aidit dari peristiwa ini?
Amarzan berkisah, setelah menutup telepon ia kembali bekerja. Ternyata telepon berdering lagi. Kali ini terdengar suara Njoto. Tentu ia telah dikontak Aidit.
Maka Amarzan menegaskan kepada Njoto, bahwa sajak-sajak Aidit itu, jika dibaca publik, bukan hanya akan merendahkan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), tetapi juga merendahkan puisi itu sendiri. Kata Njoto, "Jika memang begitu, Bung akan saya dukung." Namun sejak itu, kisah Amarzan, "Aidit kalau melihat saya lantas buang muka."
Bahwa Aidit, seorang pemimpin partai, menulis sajak, memang tradisi yang tampaknya berlaku bagi pemimpin-pemimpin partai komunis. Mao Zedong menulis sajak.
Demikian pula Leonid Brezhnev. Sastra pun selalu mendapat perhatian besar dalam sudut pandang ideologi komunisme.
Dalam naskah pidatonya yang beredar kembali belakangan ini, Seni dan Sastra, berulang-ulang ditekankan betapa sastra harus mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bukan kepentingan masyarakat feodal.
Jelas yang diserangnya adalah seni "adiluhung" yang canggih, dan perlu "kapital budaya" tertentu untuk dapat sekadar menikmatinya.
Namun, benarkah menulis sajak untuk rakyat, lantas tidak memerlukan bakat?
"Meskipun sajak-sajak Lekra adalah sajak poster, seperti yang ditulis Aidit itu, tetapi penyair seperti Agam Wispi atau Bandaharo berhasil menuliskannya secara lain," kata Amarzan.
Kisah AH Nasution, Pahlawan Nasional Indonesia, Konseptor Perang Gerilya yang Mendunia |
![]() |
---|
Kisah Amir Syarifuddin, Pejuang Tiga Zaman: Kolonial, Jepang, dan Revolusi RI |
![]() |
---|
Kisah di Balik Nama Es Teler: Dari Celetukan Mahasiswa UI hingga Legenda Metropole |
![]() |
---|
3 Agustus dalam Sejarah: Mantan Presiden Soeharto Jadi Tersangka Korupsi Rp 600 Triliun |
![]() |
---|
Kisah Tsar Terakhir Rusia: Kejatuhan Nicholas II dan Runtuhnya 300 Tahun Kekuasaan Romanov |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.