Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sejarah

Sosok DN Aidit di Mata Orang yang Mengenalnya, dari Wartawan hingga Saudara Kandung: Khatam Al-Quran

Peristiwa Rengasdengklok 16 Agustus 1945 misalnya. Momen ketika Soekarno dan Hatta diculik oleh sekelompok anak muda yang mendesak keduanya segera.

Editor: Rizali Posumah
Wikimedia Commons
DN Aidit berbicara pada pertemuan Pemilu 1955. 

"Aidit adalah sosok, yang ketika pertama kali melihatnya, kita tidak ingin menjadi dekat," katanya.

Disebutkan bahwa tuntutan atas kewibawaan sebagai pemimpin partai komunis yang tergolong besar, dibandingkan dengan partai-partai komunis lain di dunia, telah membuat Aidit seperti merasa harus menjaga jarak, dengan siapa pun, "Ini tidak terjadi dengan pemimpin PKI lain seperti Njoto."

Dalam pergaulan sehari-hari, katanya lagi, Aidit selalu memperlihatkan sikap bahwa dirinya harus didengar, harus dituruti, dan harus dipercaya.

Amarzan yang menginjak Jakarta tahun 1963 dari Medan, memenangkan sebuah lomba puisi dalam rangka peringatan Karl Marx, dua tahun kemudian pada usia 24, "Hadiahnya diserahkan sendiri oleh Aidit." Sejak itu, karena Amarzan menjadi redaktur Harian Rakjat, mereka saling mengenal, sehingga Amarzan mempunyai catatan tertentu tentang Aidit, seperti cerita berikut ini.

"Waktu itu saya menjadi redaktur edisi Minggu dari Harian Rakjat, yang antara lain mengurusi bagian sastra. Aidit mengirimkan sekitar lima atau enam sajak, yang tidak saya muat. Pada Sabtu malam, sebelum naik cetak, Aidit menelepon saya di kantor.

'Sajak-sajak saya dimuat 'kan?' Aidit bertanya. 'Tidak, Bung,' jawab saya. 'Kenapa tidak?' Aidit bertanya lagi. Karena masa itu suara percakapan di telepon belum sejernih sekarang, saya katakan kepadanya, 'Kalau kita bisa bertemu, akan saya jelaskan alasannya.' Setelah itu telepon dibanting."

Nah, apakah terbaca sesuatu tentang karakter Aidit dari peristiwa ini?

Amarzan berkisah, setelah menutup telepon ia kembali bekerja. Ternyata telepon berdering lagi. Kali ini terdengar suara Njoto. Tentu ia telah dikontak Aidit.

Maka Amarzan menegaskan kepada Njoto, bahwa sajak-sajak Aidit itu, jika dibaca publik, bukan hanya akan merendahkan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), tetapi juga merendahkan puisi itu sendiri. Kata Njoto, "Jika memang begitu, Bung akan saya dukung." Namun sejak itu, kisah Amarzan, "Aidit kalau melihat saya lantas buang muka."

Bahwa Aidit, seorang pemimpin partai, menulis sajak, memang tradisi yang tampaknya berlaku bagi pemimpin-pemimpin partai komunis. Mao Zedong menulis sajak.

Demikian pula Leonid Brezhnev. Sastra pun selalu mendapat perhatian besar dalam sudut pandang ideologi komunisme.

Dalam naskah pidatonya yang beredar kembali belakangan ini, Seni dan Sastra, berulang-ulang ditekankan betapa sastra harus mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bukan kepentingan masyarakat feodal.

Jelas yang diserangnya adalah seni "adiluhung" yang canggih, dan perlu "kapital budaya" tertentu untuk dapat sekadar menikmatinya.

Namun, benarkah menulis sajak untuk rakyat, lantas tidak memerlukan bakat?

"Meskipun sajak-sajak Lekra adalah sajak poster, seperti yang ditulis Aidit itu, tetapi penyair seperti Agam Wispi atau Bandaharo berhasil menuliskannya secara lain," kata Amarzan.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved