Opini
Nilai Estetik di Balik “Mazani Ne Tou Rurukan”
Secara de facto, seni mazani bukan tiruan dari alam (mimesis), melainkan telah dihidupi dan diserahalihkan secara turun temurun oleh tetua Rurukan.
Oleh:
Ambrosius M Loho M.Fil
Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Katolik De La Salle Manado
Penulis, Pegiat Filsafat, Budaya dan Seni
NEGERI Rurukan adalah sebuah ‘wanua’ yang selalu diingat sebagai ‘negeri para penyanyi’. Rurukan juga merupakan daerah yang kental dengan budaya. Bahkan kekentalan itu tampak lewat beberapa kesempatan bertemu dengan tou (Baca: Orang) Rurukan, bahasa Tombulu menjadi sebuah kewajiban untuk dituturkan. Sejalan dengan bahasa Tombulu yang selalu digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Tombulu dengan gaya ‘tou’ Rurukan juga menjadi pengantar dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan, yang bernuansa budaya khas negeri Rurukan (dalam hal ini bahasa Tombulu).
Dalan catatan penulis pada dalam laman www.beritamanado.com 26 April 2024, diketengahkan sebuah kondisi riil di Rurukan yang selalu memaknai ulang tahun mereka dengan berbagai kegiatan yang bernuansa budaya yang melibatkan seluruh masyarakat Rurukan. Fakta itu tak bisa dimungkiri menjadi pemicu dieksposnya berbagai macam hal terkait kekayaan yang ada di Rurukan, sehingga budayanya semakin dikenal. Di sisi yang sama, kegiatan ini menjadi kekuatan mereka karena secara langsung telah terlibat dalam upaya pemajuan kebudayaan, termasuk ikut ambil bagian dalam upaya peningkatan pariwisata berbasis budaya Tombulu di Tomohon pada khususnya, dan Sulawesi Utara pada umumnya.
Belajar dari hal-hal positif yang bisa diamati ketika event ini digelar, penulis merinci beberapa catatan berikut ini. Pertama, festival seni mazani ne tou Rurukan ini merupakan sebuah situasi riil yang mementaskan fakta kecintaan masyarakat pada budaya mazani-nya. Hal ini semakin menegaskan bahwa ada sesuatu yang menarik di dalam seni mazani ini, sehingga setiap penyelenggaraan dari tahun-tahun, selalu meriah dan menarik perhatian banyak orang.
Maka dari itu, pesan pentingnya adalah bahwa setiap insan budaya di Rurukan dan juga semua insan pecinta budaya, harus bersinergi, bekerja bersama, bergotong-royong, dan bahu membahu menggaungkan seni mazani ini secara masif, dengan mendendangkan di dalam rasa seni secara berulang-ulang, agar hal itu benar-benar berangkat dari rasa. Demikian pun, geliat itu jangan hanya dalam bentuk aktual (mengikut lomba, dapat juara dan dapat uang pembinaan, selesai), tetapi justru harus menjadi jalan hidup – way of life, dalam pola pikir, pola rasa dan pola tindak.
Kedua, nilai dan makna seni mazani ne tou Rurukan ini, bisa terus bergaung sepanjang masa, karena sejatinya seni ini memiliki nilai identitas seni tradisi yang dominan dan berkesinambungan, yang berpeluang untuk dikembangkan dan diperkaya. Seni mazani menjadi seni tradisi yang benar-benar hidup dan serentak menjadi identitas budaya tou Rurukan. Sejalan dengan itu, seni mazani ini adalah ‘pengartikulasian’ seni tradisional masyarakat setempat, yang kental dengan budaya Tombulu. Kendati itu merupakan artikulasi nilai budaya, hal itu harus bersesuaian dengan tuntutan perkembangan sosial, sehingga siapa pun mudah beradaptasi/mempelajarinya. Hal itu jugalah, yang akan mendorong kepekaan umum terhadap nilai-nilai seni khususnya nilai seni tradisional mazani. Pendek kata, seni mazani ini harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan peradaban yang berkesinambungan. (Loho 2018).
Jika kita mengamati apa yang ada dalam teori estetika klasik dan estetika modern tentang sebuah karya seni, ada anggapan bahwa seni hanya berkaitan dengan karya yang indah saja dan bukan yang tidak indah. Bahkan ada pula anggapan lainnya bahwa sebuah karya seni itu hanyalah melulu buatan manusia, sehingga yang bukan buatan manusia tidak bisa disebut sebagai sebuah karya seni, adalah sesuatu yang menurut hemat penulis tidak berlaku dalam seni mazani di Rurukan ini.
Mengapa demikian, karena secara de facto, seni mazani ini bukan tiruan dari alam (mimesis), melainkan telah dihidupi dan diserahalihkan secara turun temurun oleh setiap orang tetua Rurukan. Hal itu tampak pada saat mereka berkomunikasi satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari, entah di rumah ketika memasak di dapur atau di kebun ketika mencangkul, dll., mereka berkomunikasi dengan cara menyanyikan apa yang akan dikatakan. Maka fakta ini menegaskan bahwa seni mazani tidaklah sebuah mimesis, karena itu adalah warisan yang turun temurun. Karya seni mazani ini merupakan sebuah hal yang nyata dan dihidupi, kemudian selanjutnya dituruntemurunkan sampai saat ini.
Akhirnya, kendati bisa memberi sebuah penguatan kepada eksistensi dan esensi seni mazani ini, upaya dan kerja keras harus terus diupayakan demi semakin awet dan bertahannya seni mazani ini. Dalam arti tertentu, setiap penyelenggaraan lomba seni mazani dilakukan, harus senantiasa digaungkan tentang makna, nilai dan arti penting seni mazani ini bagi setiap insan Rurukan yang kental dengan budayanya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.