Opini
Fenomena Pasca-Pilpres 2024, 'Orang Merasa Pintar, Tidak Tahu Akan Kebodahannya'
Hal ini membuat para 'elite politik haluan kiri' berusaha untuk mengunakan hak angket dengan tujuan yang tidak jelas.
Penulis: Dr Michael Barama SH MH, Ahli Hukum Pidana Universitas Sam Ratulangi
TRIBUNMANADO.CO.ID - Setelah 69 tahun Indonesia merdeka tepatnya 20 Oktober 2014, rakyat Indonesia memiliki presiden pertama yang bukan berasal dari elite politik atau militer.
Presiden Joko Widodo yang merupakan presiden kecintaan rakyat, di akhir pemerintahannya banyak mendapat sorotan dan rongrongan dari sebagian elite politik, guru besar, oknum budayawan dan tak ketinggalan oknum 'ahli hukum'.
Bagaikan hakim agung mereka 'menjust' dengan amar putusan bahwa Jokowi terbukti dan menyakinkan, bersalah melakukan 'cawe-cawe pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang persyaratan batasan umur Capres-cawapres.
Bahkan mereka menuduh Presiden telah mematikan demokrasi di Indonesia, melanggar konstitusi, penyalahgunaan kekuasaan, bansos BLT untuk kepentingan pemenangan dari Capres 02 Prabowo - Gibran dan lain sebagainya.
Bahkan ketika 'real count' dari KPU mengumumkan, pasangan 02 sudah memperoleh suara mendekati 60 persen dari 70% surat yang masuk. Hal ini membuat para 'elite politik haluan kiri' berusaha untuk mengunakan hak angket dengan tujuan yang tidak jelas.
Dalam rapat paripurna persidangan IV tahun sidang 2023-2024 (5/3-2024) legislator Luluk Nur Hamidah dari Fraksi PKB dengan alasan "Tanggung Jawab Moral" dan banyaknya "aspirasi" yang dia terima, mengatakan bahwa pemilu 2024 merupakan pemilu yang paling brutal dan menyakiti hati.
Pernyataan berapi-api dari Luluk mencerminkan keegoisan dan kebodohannya. "Apanya yang mau diangket"?
Tanggung jawab moral apa ? apalagi membawa bawa aspirasi rakyat, rakyat yang mana"
Menyebut Proses Pemilu 2024 paling brutal tanpa ada pembuktian jelas (obscuur libel), mencerminkan Luluk Nur Hamidah 'kaya akan rasa' "dengki dan cemburu" pada rakyat yang sudah memberikan suara mereka pada 14 Februari 2024.
Inilah yang disebut "domme mensen kennen hun domheid, maar slimme mensen kennen hun domheid niet" (Orang bodoh tahu akan kebodohannya, orang yang merasa pinter, tidak tahu akan kebodohannya).
Mengenai fenomena pernyataan pernyataan sikap dari beberapa guru beras pasca-Pilpres, Menurut Saya, bahwa "seorang ahli hukum" tidak bisa langsung memutuskan bahwa orang ini bersalah, seharusnya mereka hanya memberikan penerangan hukum ibarat lampu senter yang menerangi jalan gelap agar tidak terantuk di batu atau terperosok di comberan kotor.
"Jujur saja, saya sebagai akademisi, ahli hukum pidana dari fakultas hukum UNSRAT, malu atas Statement-statement yang mereka lontarkan di publik".
"Terkesannya Jokowi keluar dari partai" yang pernah mengusung dia, merupakan langkah yang diambil, dalam rangka "penyelamatan negara".
Perlu diketahui, "Indonesia tidak mengenal sistem oposisi" dan juga tidak berlaku "sistem kerajaan".
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.