Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Catatan Akhir Tahun: 'Matinya Demokrasi'

Begitu banyak fenomena yang terjadi di republik ini, yang menyerap energi anak bangsa untuk terlibat memberikan perspektif

|
Editor: David_Kusuma
Dok Tribun Manado
Adi Tucunan 

Di awal kampanye mereka menjanjikan sorga di bumi bagi rakyat pemilihnya dengan semua dalil dan tesis membangun negara lebih baik, tapi kemudian mereka berubah dengan cepat saat menjadi penguasa. Mungkin awalnya para penguasa itu orang baik, tapi mereka tergoda menikmati lingkaran kekuasaan secara buta sehingga mencoba untuk menjadikan dirinya raja dalam sistem monarki yang sebenarnya adalah republik.

Nampaknya kekuasaan itu membutakan orang yang paling baik sekalipun. Ataukah jangan-jangan kita tidak punya kemampuan tajam melihat kebaikan orang lain sebagai musang berbulu domba? Cara memandang masyarakat Indonesia yang terbatas dengan mengangkat orang yang menjanjikan dan memberinya sesuatu dalam bentuk money politic, menganggap dia sebagai orang baik, justru itu mendatangkan malapetaka yang besar di kemudian hari. ternyata orang yang kita pilih bukan mewakili kita tapi dirinya sendiri.

Penguasa yang otoriter mulai kehilangan integritas dan etika dia saat berkuasa, walaupun dia mendapat persetujuan dari sebagian besar masyarakat. Tapi kita bertanya-tanya, masyarakat seperti apa yang memberikan hak pilih bagi penguasa yang tidak berkarakter seperti ini dan masih terus menganggap dia sebagai dewa? Itu mengapa di banyak negara demokrasi di dunia, masyarakat cenderung memilih orang yang mereka sukai dan pada akhirnya mereka kecewa karena warisan yang ditinggalkan ternyata penuh dengan cacat politik dan kemanusiaan.

Dan akhirnya pula, masyarakat itu sendirilah yang berbalik menghancurkan penguasa yang mereka pilih. Hari ini kita membutuhkan rakyat yang cerdas bisa melihat siapa yang akan mereka pilih. Tapi nampaknya kecerdasan itu mulai menjauh dari masyarakat kita sehingga sulit membedakan mana yang baik dan tidak baik.

Bahkan di lembaga sekelas perguruan tinggi saja, para civitas akademika dan mereka yang dianggap terpelajar, ternyata tidak punya kemampuan intelektual yang cukup untuk membangun perspektif kuat terhadap demokrasi itu sendiri.

Mereka cenderung melawan konstitusi atau statuta di dalam kampus itu sendiri yang sebenarnya dibuat untuk membangun peradaban dunia pendidikan yang lebih baik. Kerakusan akan kekuasaan cenderung membutakan mata orang-orang terbaik di negeri ini dan ini menyulitkan kita mencari para pemimpin yang bisa melakukan sesuatu lebih dari sekedar bagi-bagi jabatan dan memperkaya diri sendiri.

Mereka yang kritis akan segera dibungkam oleh penguasa karena alergi dengan kritikan itu, walaupun mereka terkesan dan menjawab tidak apa-apa dengan kritikan tapi mereka menggunakan tangan-tangan kekuasaan untuk meredam suara-suara kritis itu dengan intimidasi baik verbal maupun non verbal. Terlalu banyak orang baik di negeri ini yang diam, membiarkan mereka yang berkuasa mencoba mendikte dan membungkam kritik.

Kasus intimidasi para petinggi mahasiswa di beberapa universitas yang mengkritik pemerintah, dengan semua cara sampai mengancam dan mengintimidasi keluarga mereka, adalah sebuah syarat bagi matinya demokrasi di Indonesia. Penguasa hari ini, yang diharapkan menjadi tumpuan dan rujukan rakyat untuk mensejahterakan mereka, ternyata memiliki niat yang tidak baik sehingga tata Kelola pemerintahan di negeri ini menjadi tidak kondusif dan menjauh dari good governance yang diidam-idamkan.

Kita masih memulai perjalanan demokrasi yang panjang, tapi upaya-upaya itu terus mendapat rintangan dari dalam diri penguasa itu sendiri. Memilih pemimpin tidak sesederhana kita ke TPS untuk mencoblos, tapi kita dituntut memiliki kapasitas berpikir jernih melihat pribadi calon pemimpin, walaupun diakui kadang kita salah dalam memilih jalan dan berpikir tentang orang yang kita pilih.

Ini sebuah ironi, kita memberikan suara kepada mereka yang diyakini merepresentasikan kita tapi ternyata kita yang ditinggalkan dan negeri ini dicabik-cabik dan membahayakan demokrasi untuk kembali ke titik nol lagi. Kita tidak ingin negara ini dipimpin oleh pemimpin seperti Benito Mussolini, Adolf Hitler, Hugo Chaves, Pinochet, yang dalam buku ‘how democracies die’ dikatakan mereka didukung oleh demokrasi karena dianggap orang yang baik dan membawa harapan, tapi kenyataannya mereka menjadi monster di negaranya masing-masing, ini sungguh menakutkan dan mengkuatirkan.

Para koruptor di negara inilah yang bersenang-senang jika demokrasi kita mati, karena keuntungan buat mereka untuk terus berkuasa mempertahankan jabatan, melegalkan segala cara bahkan yang paling kriminal sekalipun. Mereka akan menggunakan tangan-tangan kekuasaan dan instrumen negara untuk mengendalikan kita semua, dan akhirnya negara akan lumpuh, jika kita salah langkah dalam memilih mereka.

Tahun depan katanya adalah pesta demokrasi, semua pemilihan serentak akan dilakukan pada hari valentine, dan sebagian besar calon yang akan dipilih melakukan berbagai upaya pra-pencoblosan, sering dengan memanipulasi pikiran rakyat. Mereka tiba-tiba muncul sebagai orang baik di siang bolong berbagi sembako, uang dan semua kebaikan lain.

Hal ini tentu saja sangat disukai oleh masyarakat yang masih berada di kelas menengah ke bawah dan ekonominya pas-pasan. Mereka sangat tahu betul hal ini bahwa masyakarat akan menyukai mereka karena sudah memberi sesuatu. Pendidikan politik sangat minim di negara seperti Indonesia, tidak ada edukasi tentang keberpihakan kepada hak asasi manusia, mereka hanya menganggap masyarakat butuh makan dan uang untuk dihabiskan sehari saja, dan akhirnya mereka bisa berkuasa selama 5 tahun.

Ini sungguh memprihatinkan karena kita belum menuju pendewasaan politik para pemilih kita. Produk gagal dalam kontestasi pemilu akan berwujud pada otoritarianisme saat menjadi penguasa. Para penguasa hari ini, tidak menggunakan sistem meritokrasi untuk menempatkan orang-orang terbaik membangun bangsa, tapi mereka menunjuk orang yang bisa dikendalikan saja dan terus tunduk dan patuh mengikuti arah dan kebijakan penguasa bahkan yang sudah jahat sekalipun.

Itu sebabnya mengapa korupsi di negeri ini sulit diberantas, karena demokrasi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan tapi lebih cenderung melayani penguasa.

Halaman
123
Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved