Catatan Wartawan
Kubur Kosong
Suatu hari saya menemui seorang pria tua yang mampu memaafkan pembunuh anaknya. Di situ, saya belajar banyak hal.
Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Isvara Savitri
"Saya sudah mengampuninya," kata dia.
Saya tersentak.
Pria itu mengucapkan kata-kata tersebut dengan lembut dan ekspresi yang mantap.
Ia mengaku pengampunan tumbuh oleh doa yang tiap hari dipompakan pendeta serta majelis di gerejanya.
"Saya melihat Yesus yang terpaku di kayu salib dan berkata Bapa ampunilah karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Seketika saya sadar bahwa pengampunan adalah kewajiban kita seperti halnya Yesus sudah mengampuni saya. Pembalasan adalah hak-Nya," katanya.
Baca juga: Chord Gitar dan Lirik Lagu Insan Biasa by Lesti Kejora, Soal Permohonan Maaf
Baca juga: Pemprov Sulawesi Utara Siapkan Bimbel untuk Peserta Tes Sekolah Kedinasan
Bukan hanya dalam kata, pria itu mempraktikkannya.
Ia mengundang keluarga pembunuh anaknya, saling bermaafan, berdoa, dan makan bersama.
Dendam sudah berlalu dari desa kecil itu.
Hanya ada dunia baru yang pondasinya pengampunan.
Di hari Paskah 2022, saya kembali teringat kisah itu.
Kematian dan kebangkitan Yesus.
Itulah pokok kekristenan.
Sayangnya kematian dan kebangkitan hanya sekadar jadi teologi, hanya jadi teori mati di atas mimbar.
Kita kerap berbicara tentang kematian dan kebangkitan dengan mulut berbusa, tapi enggan mengasihi dan mengampuni.
Ada oknum hamba Tuhan yang tidak mau menjadi Kristus tapi menjadi Pilatus, Kayafas, dan tentara Romawi.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.