Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Kasus Pembunuhan Brigadir J

Kejaksaan Agung Respons Tuntutan Hukuman 12 Tahun Richard Eliezer, Tak Ada Revisi dan Intervensi

Kejaksaan Agung akhirnya merespons terkait tuntutan 12 tahun penjara kepada Richard Elizer yang dibacakan jaksa. Tak ada revisi dan intervensi.

Editor: Frandi Piring
KOMPAS TV
Terdakwa pembunuhan Brigadir J, Richard Eliezer saat sidang tuntutan hukuman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Terbaru, Kejaksaan Agung Respons Tuntutan Hukuman 12 Tahun Richard Eliezer, Tak Ada Revisi dan Intervensi. 

Sehingga menurut Kejagung tak dapat dipertimbangkan status justice collaborator yang ia dapatkan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Menurut Ketut, hal ini selaras dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 dan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

"Tapi beliau adalah sebagai pelaku utama sehingga tidak dapat dipertimbangkan juga sebagai yang harus mendapatkan justice collaborator," ungkapnya.

"Itu juga sesuai SEMA Nomor 4/2011 dan UU Perlindungan Saksi dan Korban," terang Ketut.

Baca juga: Akhirnya Terungkap Alasan Jaksa Tuntut Bharada E 12 Tahun Penjara dalam Kasus Pembunuhan Brigadir J

Tuntutan Richard Eliezer Melebihi Putri Candrawathi, Jampidum: Itu Wewenang Jaksa, Harap Hormati

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana meminta masyarakat untuk tetap tenang menanggapi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap para terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Fadil mengatakan, pemberian tuntutan kepada masing-masing terdakwa telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.

JPU, kata Fadil juga telah mempertimbangkan banyak aspek untuk menghitung tuntutan perkara pembunuhan berencana ini.

"Jaksa telah memperoleh alat bukti yang cukup untuk menuntut seseorang di depan persidangan itu diatur Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana."

"Untuk itu, hormatilah kewenangan penuntutan itu, kami mewakili masyarakat pemerintah dan negara mengatakan kewenangan itu diberikan kepada Jaksa Agung sesuai dengan undang-undang Kejaksaan yang berwenang melakukan penuntutan terhadap semua tindak pidana, ini perlu digaris bawah."

"Dalam melaksanakan kewenangan itu, kami diatur di samping undang-undang juga beberapa peraturan perundang-undangan lain dalam melaksanakan kewenangan tadi."

"Termasuk dalam menentukan tinggi rendah tuntutan pidana, itu ada aturannya."

"Itulah yang saya pakai, saya mengendalikan itu, ada aturannya bukan kita asal-asalan ini."

"Proses penuntutan dilakukan secara arif dan bijaksana," jelas Fadil, Kamis ?(19/1/2023) dikutip dari Kompas Tv.

Sebagai lembaga penegak hukum, Kejaksaan mendengar, melihat dan selalu mempertimbangkan semua hal terkait proses penuntutan perkara ini.

"Kami sungguh-sungguh membuktikan itu kan terlihat bagaimana Jaksa dalam proses pra penuntutan telah menguji hasil penyidikan itu sehingga kami simpulkan memenuhi syarat untuk dilimpahkan."

"Setelah melimpahkan, Jaksa saya berupaya membuktikan semaksimal mungkin."

"Tapi ketika berapa tuntutan yang pantas diberikan kepada seorang terdakwa itu ada parameternya, jelas sekali pandangannya ada."

"Nggak bisa dong kita menuntut orang tanpa memperhatikan peran dan alat bukti yang muncul di persidangan dan siapapun nggak bisa membantah bukti itu," jelas Fadil.

Pihaknya juga telah mengupayakan sidang ini digelar secara live, sehingga siapa pun bisa mengikuti jalannya persidangan.

"Sidang ini live semua, terbuka untuk umum dan bahkan ini sidang luar biasa live dan dibahas oleh para ahli," sambung Fadil.

Sehingga kalau banyak ditemukan beda pendapat itu wajar.

"Sudut pandang saya adalah membuktikan surat dakwaan yang dibuat dari Jaksa, bagaimana Jaksa menuntut secara Arif memberikan keadilan, tapi tidak semua bisa saya penuhi permintaan itu."

"Tapi kan kami punya parameter yang jelas dalam melakukan penuntutan, sesuai dengan ketentuan dan kewenangan yang ditentukan oleh undang-undang," jelas Fadil.

"Tentang tinggi rendah tuntutan, bagi saya kita ini beda sudut pandang itu hal yang wajar dalam proses penuntutan."

"Kalau korban menyatakan kurang tinggi, maka sebab saya berempati pada korban. Tapi kalau terdakwa bilang ketinggian, itu juga hak terdakwa, nggak apa-apa."

"Jika penasihat hukum katanya ketinggian, itu kan proses ini masih berjalan, ada namanya Pledoi, ada putusan, rangkaian masih panjang," terang Fadil.

Penjelasan ini disampaikan Fadil agar masyarakat tak membentuk opini.

"Biarkan Jaksa berpikir jernih, Penasehat Hukum berpikir jernih, nanti hukumannya dari Hakim."

"Jangan kita giring opini ini mengarah kepada sesuatu, nggak boleh, hargainlah kewenangan Penuntut Umum, hargai Hakim."

"Saya pun menghargai penasehat hukum mau ngomong apapun silahkan itu hak dia untuk selalu membela."

"Tapi dalam proses penggilingan opini itu nggak boleh, ini kita mengadili manusia," kata Fadil.

Baca juga: Bharada E Nangis Usai Dituntut 12 Tahun, Putri cs Hanya 8 Tahun, Ferdy Sambo Penjara Seumur Hidup

Kejagung: LPSK Tidak Boleh Intervensi soal Tuntutan Jaksa

Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Fadli Zumhana mengatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tidak boleh mengintervensi Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam memberi tuntutan kepada terdakwa.

Hal tersebut diungkapkan untuk menanggapi pernyataan dari LPSK yang merasa kecewa karena tuntutan 12 tahun terdakwa Richard Eliezer (Bharada E).

Meskipun pada kenyataannya LPSK banyak memberikan komentar, kata Fadli, hal itu tidak menjadi masalah karena memang LPSK bertugas untuk melindungi korban, bahkan Fadli juga mengucapkan terima kasih kepada LPSK untuk itu.

"Memang LPSK ini banyak komentar tapi tidak apa-apa itu tugas dia, dia melindungi korban benar itu dia, bahkan dia pelihara korban supaya selamat tidak diganggu orang."

"Saya terima kasih kepada LPSK sehingga perkara ini bisa selesai," kata Fadil di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (19/1/2023).

Kendati demikian, Fadli juga mewanti-wanti kepada LPSK agar tidak mengintervensi atau memengaruhi jaksa dalam memberikan tuntutan untuk terdakwa.

"Kami tahu apa yang harus kami lakukan, benar tahu benar, karena pengalaman pengetahuan dan ada aturan, tahu persis saya itu, kajati tahu persis, kajari tahu persis, jaksa tahu persis,

tapi kan kami sudah pertimbangkan, sehingga menuntut (Bharada E) lebih rendah dari pelakunya, ini Pak Sambo," sambung Fadli.

Fadli juga tetap menghormati kekecewaan LPSK terkait dengan tuntutan 12 tahun Richard Eliezer.

Untuk itu, Fadli meminta kepada masyarakat untuk menunggu putusan dari Majelis Hakim nanti, karena proses persidangan kasus pembunuhan Brigadir J masih terus berjalan.

Baca juga: Suasana Sidang Pembacaan Tuntutan, Bharada E Menangis, Pendukung Histeris Sebut Tuhan Tidak Tidur

Kejagung Pastikan Tak Akan Revisi Tuntutan Sambo Cs dalam Perkara Kematian Brigadir J

Kejaksaan Agung secara tegas memastikan tidak akan merevisi tuntutan lima terdakwa perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung, Fadil Zumhana menyebut tuntutan tersebut sudah benar adanya.

"Masalah meninjau merevisi, kami tahu kapan akan merevisi. Ini sudah benar, ngapain direvisi," kata Fadil dalam konferensi pers, Kamis (19/1/2023).

Fadil mengatakan revisi tuntutan itu dilakukan jika memang ada yang keliru dari jaksa penuntut umum.

"Contoh yang pernah saya revisi itu kasus di Karawang. Itu keliru.

Kalau udah benar ngapain di revisi itu jawabannya. Tidak akan ada pernah revisi," jelasnya.

Sebagai informasi, dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir J, lima terdakwa sudah mendapatkan tuntutan dari jaksa penuntut umum.

Diketahui, Ferdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup, Bharada Richard Eliezer alias Bharada E dituntut 12 tahun penjara.

Sementara Putri Candrawathi, Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf dituntut selama 8 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum.

Terkait itu, tuntutan untuk Bharada E disorot lantaran dinilai terlalu tinggi padahal sudah menjadi pelaku yang membongkar skenario Ferdy Sambo.

Kuasa Hukum Richard Eliezer alias Bharada E, Ronny Talapessy menyebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) seakan tak mengindahkan status justice collaborator (JC) atau saksi yang bekerja sama membongkar perkara yang dimiliki oleh kliennya.

"Status Richard Eliezer sebagai justice collaborator yang dari awal konsisten dan kooperatif bekerja sama,

saya pikir bahwa status dia sebagai JC tidak diperhatikan, tidak dilihat jaksa penuntut umum," kata Ronny dalam tayangan Kompas TV, Rabu (18/1/2023).

Padahal menurut Ronny, Bharada E sudah berupaya terus konsisten dalam mengungkap perkara peristiwa rencana Ferdy Sambo membunuh Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J secara rinci.

Selain itu Bharada E kata Ronny juga konsisten berbicara jujur mulai dari proses penyidikan hingga perkara masuk persidangan.

"Kami melihat perjuangan dari awal bagaimana Richard Eliezer yang coba konsisten ketika dia berani mengambil sikap,

berani berkata jujur dari proses penyidikan sampai proses persidangan itu ditunjukkan," ucapnya.

Baca juga: Bharada E Dituntut 12 Tahun Penjara, Mahfud MD: Kan Masih Ada Putusan Majelis, Akan Kami Kawal

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved