Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sejarah Minahasa

Aspek Kebaruan dalam Penulisan (Ulang) Sejarah dan Kebudayaan Minahasa

Jangan sampai akhirnya buku sejarah itu hanya sampai di perpustakaan saja, apalagi hanya bisa diakses oleh segelintir ahli atau peminat belaka.

ISTIMEWA/Fendry Panombon
Ilustrasi para penari Maengket di Manado, pada 2014. Foto diambil oleh Fendry Panombon, Sarjana Filaafat dari Univeristas Gajah Mada Yogyakarta. 

Barangkali fakta sebenarnya adalah tim terbatas dan dibatasi. Namun tetap perlu digariswahi lagi bahwa tujuan dan relevansi penulisan sejarah ini sudah mesti memperhitungkan bagaimana itu diimplentasikan secara formal dalam bahan ajar, mulai dari tingkat paling rendah sampai paling tinggi, bahkan dalam hal wacana di publik informal nonformal.

Jangan sampai akhirnya buku sejarah itu kemudian hanya sampai di perpustakaan saja, apalagi hanya bisa diakses oleh segelintir ahli atau peminat belaka. Karena penulisan sejarah laiknya bukan demi penulisan sejarah itu sendiri, melainkan apa kegunaan dan tujuannya bagi masyarakatnya sendiri.

6. Waktu terbatas untuk topik yang sangat besar ini, sehingga bisa dimaklumi apa yang dimaksud dengan esensi sejarah buku Minahasa sendiri sebagaimana menjadi bagian dari topik kurang diangkat. Pemateri tampaknya fokus lebih pada memaparkan sebanyak mungkin pokok-pokok materi, dan sedikit memberi alasan mengapa itu mesti masuk, bahkan banyak materi yang sudah diandaikan alias otomatis mesti ada. Di sana sini sudah diberi alasan singkat khusus terkait pokok-pokok baru yang diusulkan keempat pemakalah. Namun mesti jujur diakui memang tak semua bisa diungkap karena ya tentu saja uraian isinya sendiri yang akan menjawab itu semua. Kita lihat saja isinya nanti.

7. Banyak khalayak tak sabar menunggu buku itu atau drafnya diuji publik. Tapi tentu para penulis dan editor sudah tahu dan menyadari bahwa salah satu kemendesakan penulisan sejarah Minahasa adalah karena ada anggapan bahwa sejarah yang ada sekarang masih kurang diungkap, bahkan ada yang tertulis secara keliru kalau bukan salah, oleh pihak luar bahkan oleh sekian ahli dan publik Minahasa sendiri. Hal ini terkait siapa yang menentukan sebuah tulisan sejarah itu sahih dan siap dipublikasikan, apakah si penulis pertama, penerbit atau instansi pemerintah, dst. Ambil contoh konkret terkait penulisan sejarah di zaman rezim Orba, apakah kritik sebagian sejarawan terkait klaim kebenaran sejarah tertentu yang hilang dan kabur, bengkok dan dangkal, bahkan diputarbalikkan, itu dianggap sepi saja? Perhatikan misalnya ungkapan kesal mantan Pjs Gubernur Sulut Dr Sonny Soemarsono sewaktu seminar tentang Permesta dan Otonomi Daerah di IBM ASMI, Jakarta. Kira-kira begini perkataannya: "Bagaimana mungkin lha wong jelas-jelas dokumen Piagam Permesta tertulis tidak memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekali lagi tidak... eh, kok malah dicap pemberontak oleh pemerintah pusat?" Nah lho.

Pertanyaannya, apakah dengan memasukkan bagian ini dalam sejarah buku sejarah Minahasa, dan sewajarnya mempertimbangkan dokumen itu, apakah stigma pemberontak bisa dicabut oleh pemerintah pusat, minimal dalam buku sejarah nasional Indonesia? Bandingkan bagaimana seorang Gus Dur yang berani menghapus Tap MPR RI, misalnya tentang status kewarganegaraan warga keturunan China memulihkan kebebasan melaksanakan agama dan adat istiadat leluhur. Tentu saja presiden KH Abdurrahman Wahid itu belajar dari ilmuwan sejarah melalui tulisan sejarah yang dianggap lebih benar (yang pernah tak dianggap) itu jua.

8. Kembali ke istilah mner John Puah di atas, history of Minahasa itu yang mana sebenarnya? Apakah hanya rentetan tulisan-tulisan lama dan baru itu? Di mana letak kebaruan tulisan sejarah dan kebudayaan Minahasa bila harus ditulis kembali?

Dosen senior bahasa Jerman di Unsrat ini bertanya, mengapa tidak memperhatikan temuan-temuan terbaru, misalnya buku yang dibuat oleh Weliam Boseke berdasarkan penelitian mandiri sekian lama?

Pasalnya temuan Boseke ini khususnya terkait bahasa Minahasa sukar dibantah sampai sekarang, dan makin banyak temuannya melalui metode linguistik bandingan dalam sejarah antara bahasa Minahasa dan Han dengan memakai cara Pingyin dan cara Wade Giles (Latinisasi kaligrafi Han).

Mner Puah mau menegaskan suatu asumsi atau bahkan hipotesa ilmiah, yakni salah satu kebaruan sejarah Minahasa in se (karena berangkat dari realitas berbahasa atau fenomenologi empiris bahasa yang masih dipakai masyarakat), barangkali bisa kita pelajari dari tesis utama temuan Boseke adalah bahwa bahasa Minahasa hanya satu, berformat monosilabel, dan bersifat klasik atau etik (sofistikatif); dengan begitu banyak bukti yang sudah dia tunjukkan, dan sudah ribuan pembandingan kata dan frase dalam dua bahasa itu. Ini sudah menarik dan sudah dibuktikan begitu banyak kalangan masyarakat di dalam negeri dan luar negeri, termasuk para ahli dan pemakai bahasa Han itu sendiri. Bahkan ada beberapa tulisan lebih dahulu seperti dibuat oleh Remy Sylado, ada Ibu Matindas, ada novelis Minahasa yang juga menulis yang juga mengindikasikan bahasa Minahasa bahkan leluhurnya dari negeri di atas itu, walau tidak sedetail dan sebanyak seperti dibuat Boseke.

Dari penelusuran linguistik bandingan itulah, asal usul leluhur Minahasa menurut Boseke bisa dikisahkan berkisar sekitar abad ke-3 Masehi dalam konteks pengungsian karena perang tiga kerajaan, Sam Kok, di Tiongkok kuno, dan tiba di tuur in tana (dalam bahasa Han: tempat tiba dengan tidak sengaja) Minahasa di Sulawesi Utara.

9. Minggu, 11 Desember 2022 diumumkan oleh Dr Roger Kembuan sebagai host kegiatan ini bahwa akan ada topik khusus tentang Kebudayaan Minahasa. Nah bahasa adalah salah satunya. Ada ungkapan klasik, bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa Minahasa menunjukkan bangsa Minahasa yang satu dan sama tentunya, yang dalam perjalanan waktu mengalami perkembangan termasuk dalam hal bahasa dalam konteks budaya dan segala aspek kehidupannya sepanjang waktu, sejak awal di tanah leluhur hingga sekarang, dan terlebih kedepan.

Kita tak bisa kembali ke zaman dahulu, termasuk dalam hal berbahasa. Yang ada sekarang mesti dipertahankan dan dikembangkan lestari terhindar dari kepunahan. Namun jelas dan terang bahwa mengenali asal usul bahasa Minahasa itu penting, supaya tahu dan mencintai serta diperkaya dan diperkuat kepribadian Minahasa itu.

Temuan Boseke adalah sebuah kebaruan dalam menggali apa yang pernah hilang, meluruskan yang bengkok, menyambung yang putus, menerangi yang gelap, menjernihkan yang kabur, menyingkap misteri di balik kata-kata tua dan dolong tak diketahui lagi. Dengan demikian membangun kebudayaan Minahasa sungguh bisa direkonstruksi sesuai kodrat asalinya. Sayang bila temuan baru dan besar ini dilewatkan begitu saja oleh para ilmuwan akademisi sekarang ini, untuk nanti dikoreksi oleh generasi berikutnya. (*)

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ketika Penegak Jadi Pemeras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved