Sejarah Minahasa
Aspek Kebaruan dalam Penulisan (Ulang) Sejarah dan Kebudayaan Minahasa
Jangan sampai akhirnya buku sejarah itu hanya sampai di perpustakaan saja, apalagi hanya bisa diakses oleh segelintir ahli atau peminat belaka.
Oleh:
Stefi Rengkuan
Presidium Riset dan Pengabdian Masyarakat Ikatan Sarjana Katolik (Iska) Indonesia
Wakil Bendahara Perhimpunan Intelektual Kawanua Global (PIKG)
Pengurus Pusat Ikatan Alumni (Ikal) STF Seminari Pineleng
DISKUSI bertema ‘Menulis Sejarah dan Kebudayaan Minahasa digelar pada Sabtu, 10 Desember 2022, dari pukul 20.00 hingga 22.30 Wita. Topik malam hari ini: "Rincian Sistematika dan Esensi Buku Sejarah Minahasa". Dengan pemakalah Raymond Maweikere, Yudha Tangkilisan, Bode Talumewo, Yohanes Murdam... dengan moderator Arthur Senduk dan host Roger Kembuan.
Diskusi kelompok terbatas dan terfokus ini adalah kelanjutan dari FGD sebelumnya yang sudah memutuskan sejumlah hal, antara lain sifat ilmiah penulisan yang lebih mengedepankan semacam "text book" atau isi buku dengan referensi-referensi sumber-sumber rujukan tertulis maupun lisan dan dianggap ilmiah, daripada tulisan yang biasa dibaca oleh para milenials atau anak muda kebanyakan. Hal ini disitir oleh pemakalah pertama, Raymond Maweikere, juga dipertegasnya lagi dalam sesi tanya jawab.
Dari sinilah saya berangkat dan membatasi memberi beberapa catatan, terutama akan terkait dengan aspek kebaruan (novelty) bahan materi dan pendekatan yang diangkat secara khusus oleh sejarahwan UI, Dr Yudha Tangkilisan MHum dan berkembang dalam diskusi.
1. Berbicara sejarah tentu saja mengenai sebuah realitas yang sudah terjadi. Lebih spesifik lagi tentang tulisan sejarah dan segala hal yang terkait dengannya, sejarawan hanya berusaha menggali informasi sejarah dengan prosedur tertentu untuk mendapatkan sejumlah data yang faktual dan meyakinkan dirinya dan publik pembaca. Kita asumsikan demikian, dan tentu sambil memberi penghargaan dan ucapan terima kasih kepada para pemakalah dan para penulis dalam upaya penulisan buku (baru) tentang dan dengan Minahasa itu.
Secara singkat saya menawarkan pernyataan ini, bahwa semua pokok usulan materi penulisan baik tematis maupun kronologis ataupun campuran keduanya yang disampaikan semua pemakalah tampaknya hanya mengulangi apa yang sudah ada, dan menambahkan beberapa yang dianggap baru seperti: perang Tondano, penginjilan dan pendidikan NZG Protestan dan Misi Katolik, Peristiwa Merah Putih di Manado, Permesta, dll.
Secara gamblang lagi Mner John Puah sebagai peserta penanggap pertama menyebut materi-materi lama maupun baru itu semua sekadar rentetan sejarah di Minahasa (history in Minahasa), yang dibandingkannya dengan sejarah dari dalam Minahasa itu sendiri (history of Minahasa).
2. Tentu saja semua tulisan sejarah, baik yang lama maupun yang lebih baru ditulis tentang Minahasa itu, berusaha mengungkapkan sejarah Minahasa itu sendiri; rentetan peristiwa diakronis maupun kronologis itu hanyalah suatu cara menulis secara sistematis, selain tematis. Sejatinya tulisan sejarah itu bukan tempelan atau subyektifitas maupun keterbatasan obyektif penulis sejarah. Karena itu tadi batasan kaidah ilmiah yang ketat yang telah ditetapkan tim panitia sejak awal.
3. Kaidah ilmiah yang dijadikan patokan itu wajib dan suatu kemestian dalam ranah ilmiah prosedur ilmiah kampus akademik. Maklumlah penggagas FGD ini adalah para intelektual bahkan akademisi kampus, yakni para dosen Unsrat sendiri dan Ikalan Alumni (Iluni) UI Sulut. Walaupun sayang, 30 peserta yang hadir itu tergolong tidak banyak yang ikut diskusi online malam ini, untuk ukuran sebuah kampus terbesar di Sulawesi Utara dan didukung oleh Ikatan Alumni Universitas Indonesia (terbesar di Indonesia) asal Sulut.
Tapi, hemat saya pribadi sebagai bukan alumni, grup diskusi terfokus ini melalui para pemateri dan peserta dengan bobotnya masing-masing telah sangat memperkaya dan mencerahkan, terutama keberanian mengangkat pokok-pokok baru itu. Tinggal kita lihat bagaimana dengan pokok-pokok lama, apakah masih sama isinya atau ada juga kebaruan tertentu.
4. Kembali ke istilah ilmiah, ditempatkan dalam kerangka menjawab tuntutan cara penulisan yang bisa menarik para milenial atau generasi muda, saya mendapat kesan bahwa ada paradoks yang tidak perlu bahkan berisi kontradiksi bila terkait dengan pertanyaan untuk apa dan siapa sejarah ditulis.
Di satu pihak tim hendak menekankan kaidah dan prosedur ilmiah, namun di lain pihak seolah yang milenial itu tak perlu atau tak bisa dengan tulisan ilmiah. Yang milineal itu perlu dan bisa kok belajar dan mendalami tulisan format ilmiah. Padahal faktanya ada anak muda peminat ilmu sejarah di banyak kampus di Indonesia dan di Sulawesi Utara khususnya.
5. Sudah pas dikatakan bahwa usulan penulisan buku sejarah dan kebudayaan Minahasa ini formatnya adalah menurut kaidah-kaidah ilmiah yang dianut kampus atau para penulis yang dilibatkan.
Okelah batasan ilmiah itu, okelah hal substansi dan ontologis sebuah ilmu pengetahuan sejarah seperti itu, tapi juga penting soal bagaimana itu diketahui dan dipelajari sampai dimaknai sebagai suatu seni kehidupan.
Maka perlu dilanjutkan bahwa untuk penulisan ilmiah bagi para milenial bisa dengan format ilmiah populer atau bahasa yang naratif atau dengan gambar-gambar bercerita, atau melalui audio book bahkan sampai pada penggunaan teknologi metaverse, kendati tim tidak atau belum sampai ke situ.