Opini
Hari Toleransi Internasional dan Dasar Struktural Intoleransi di Indonesia
Perayaan ini ditetapkan agar terciptanya kesadaran bersama untuk menghargai perbedaan budaya, ras, etnis maupun agama yang sangat beragam di dunia ini
Selanjutnya, pada tahun yang sama masih banyak dijumpai aksi penolakan pendirian rumah ibadah umat Kristiani, pada September terdapat aksi massa di kantor wali kota dan kantor DPRD Cilegon.
Aksi ini bertujuan untuk menolak pendirian Gereja HKBP Maranatha, Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon.
Baca juga: Ada Ketua Lingkungan Bergaji Rp 5 Juta Sebulan Masuk Data Orang Miskin Manado Sulawesi Utara
Intoleransi juga menyasar kepada penganut agama leluhur, pada 21-22 Juni 2022 terjadi penyerangan dan perusakan Wale Paliusan atau tempat beribadah penghayat kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, Lalang Rondor Malesung (Laroma) di Desa Tondei dua, Kecamatan Motoling, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.
Akibatnya: Wale Paliusan mengalami rusak berat, penyerangan ini meninggalkan trauma bagi penganut Laroma dan sulit bagi mereka untuk melaksanakan ritual karena dibaluti dengan rasa takut serta tempat pelaksanaan ritual tersebut sudah tidak layak digunakan.
Intoleransi yang terus berlangsung di Indonesia tidak tumbuh dari kevakuman ruang, ada asbabnya. Sebab yang membuat intoleransi terus tumbuh-berkembang di Indonesia salah satunya adalah didukung oleh faktor struktural.
Faktor struktural ini dapat ditemukan pada dukungan secara legal oleh Negara dan sikap pembiaran Negara atas intoleransi yang kian menjamur di Indonesia.
Dukungan secara legal ini merupakan kebijakan diskriminatif Negara yang sampai dengan hari ini dipakai untuk mengamputasi kehidupan pluralisme dan kebebasan beragama di Indonesia.
Kebijakan tersebut adalah UU Penodaan Agama atau secara lengkap sebagai Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Agama dan Penodaan Agama.
Kebijakan yang disahkan oleh Presiden Soekarno ini, makin diperkuat di era Presiden Soeharto dengan menjadikannya Undang-undang, secara hirarkis dalam konstitusi Indonesia, Undang-undang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan Penetapan Presiden.
Baca juga: Depot Air di Manado Sulawesi Utara Tak Higienis, Andrei Angouw Minta Camat dan Lurah Periksa
Latar belakang kemunculan peraturan ini karena ingin menghalau agama leluhur dan penghantaman terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
PKI dianggap tidak bertuhan. Sedangkan agama leluhur dianggap sebagai bukan bagian dari agama. Keduanya dianggap sebagai ancaman oleh penganut agama dominan di Indonesia.
Sejak era reformasi, regulasi ini banyak memakan korban kasus intoleransi dan diskriminasi di atas merupakan bagian dari hilirisasi kebijakan ini.
Secara eksplisit efek dari UU penodaan agama ini adalah dipenjarakannya Basuki Tjahja Purnama atau Ahok. Ahok dituduh menistakan agama—karena pernyataannya tentang surat al-Maidah ayat 51.
Selain UU PNPS Tahun 1965, terdapat juga kebijakan tentang pendirian rumah ibadah yang berbentuk Surat Keputusan Bersama (SKB).
SKB tersebut adalah peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No 9 Tahun 2006.