Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Berita Terkini

Kivlan Zen Divonis Penjara 4 Bulan 15 Hari, Terbukti Bersalah Miliki Senjata Api dan Peluru Ilegal

Kivlan Zen dianggap bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 4 bulan 15 hari karena terbukti memiliki senjata api dan peluru tajam

(ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)
Terdakwa kasus kepemilikan senjata api ilegal dan peluru tajam Kivlan Zen bersiap mengikuti sidang lanjutan dengan agenda pembacaan eksepsi atau nota keberatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (22/1/2020). Dalam nota keberatannya Kivlan meminta majelis hakim membebaskan dirinya dari tahanan atas kasus kepemilikan senjata api (senpi) ilegal dan peluru tajam, karena dakwaan yang disusun JPU dianggap tidak cermat dan lengkap. 

Sidang pendahuluan uji materi Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (13/5/2020).

Gugatan terhadap undang-undang itu dimohonkan oleh terdakwa kasus kepemilikan senjata api ilegal, Kivlan Zen.

Dalam permohonannya, Kivlan meminta hakim MK mencabut Pasal 1 Ayat (1) UU tersebut karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.

"Mahkamah dapat menyatakan norma Pasal 1 Ayat (1) UU darurat 12 Tahun 1951 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga harus dibatalkan," kata Kuasa Hukum Kivlan Zen, Tonin Tachta Singarimbun, saat membacakan permohonan dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu.

Adapun Pasal 1 Ayat (1) UU 12 Tahun 1951 berbunyi, Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.

Menurut pemohon, frasa dalam pasal tersebut rumit dan multitafsir sehingga tidak sesuai dengan bunyi Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum.

"Sebagai negara hukum, maka ketentuan dalam membuat suatu norma sepatutnya memenuhi ketentuan bahasa yang mudah dimengerti dan tata bahasa yang benar," ujar Tonin.

Selain itu, pemohon juga menilai bahwa pasal 1 Ayat (1) UU darurat Nomor 12 Tahun 1951 bertentangan dengan prinsip persamaan hukum yang tercantum dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.

Kivlan menilai bahwa pasal ini dapat dimanfaatkan pihak tertentu yang berkepentingan menjerat seseorang dengan hukum.

Dalam hal ini, Kivlan menganggap pemerintah menggunakan pasal tersebut untuk menetapkan dirinya sebagai tersangka dan terdakwa yang dikaitkan dengan dalang kerusuhan 21-22 Mei 2019 di DKI Jakarta.

Selanjutnya, pemohon menilai bahwa Pasal 1 Ayat (1) UU darurat Senjata Api tak memenuhi prinsip jaminan dan perlindungan hukum yang dimuat Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat.

Kivlan menilai bahwa dirinya diadili berdasarkan keterangan dari skenario yang disusun oleh pihak lain.

Pemohon juga menilai bahwa Pasal 1 Ayat (1) UU darurat Nomor 12 Tahun 1951 bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif.

Dengan adanya pasal tersebut, Kivlan menilai bahwa dirinya telah didiskriminasi dalam kasus dugaan kepemilikan senjata api.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved