Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Terorisme

Anak Muda Jadi Teroris, Soal Ideologi dan Menjadi Keren, Pengamat Terorisme Kritik BPIP

Narasi dalam terorisme bukan hanya soal ideologi tetapi lebih jauh dari itu. Ada beragam cara bagaimana anak muda bergabung dalam gerakan semacam itu.

Tribun Timur/Sanovra Jr
Aparat Brimob melakukan penggeledahan rumah Lukman, tersangka bom bunuh diri Gereja Katedral Makassar yang berlangsung di Jalan Tinumbu 1 Lrg 132, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (29/3/2021). Aparat menggunakan robot penjinak bom dengan tujuan untuk menggeledah barang bukti di dalam rumah tersangka. 

Faktor Keluarga Dominan

Psikolog klinis dan forensik A Kasandra Putranto telah melakukan penelitian terhadap pelaku teror berusia muda yang tertangkap dan menunggu proses hukum.

Dia mencatat ada sejumlah faktor anak muda terjun di dunia ini, tetapi faktor keluarga adalah yang paling dominan.

“Apakah dalam keluarga itu memang sudah diajarkan untuk menjadi radikal atau tidak diajarkan prinsip toleransi sama sekali dari keluarga,” kata Kasandra.

“Mungkin ada riwayat konflik, pembiaran, mungkin kurangnya pendidikan agama dari kecil atau sebaliknya, sudah diajarkan ajaran ekstrem sejak kecil,” paparnya.

Karena itulah, baik mereka yang menerima ajaran radikalisme agama di lingkup keluarga, maupun yang tidak diajari agama sama sekali, sama-sama berpotensi menjadi radikal.

Di luar keluarga, menurut Kasandra, adalah faktor pergaulan, dan era media sosial membuat prosesnya menjadi lebih cepat.

Ada pelaku-pelaku yang tergabung dalam organisasi dengan strategi tertentu, tetapi ada pula yang beraksi sendiri atau yang biasa disebut lone wolf.

Kasandra telah menyusun profil psikologis anak muda tersangka kasus terorisme.

Dari penelitian itu, 94 persen tersangka memiliki sikap positif terhadap radikalisme dari sedang sampai berat.

Hanya 6 persen yang kadar sikapnya terhadap radikalisme masuk kategori ringan.

Secara kognitif mereka matang dan kemampuan intelegensinya mayoritas dari sedang ke baik.

Sebanyak 46 persen juga memiliki kematangan berpikir.

Sementara, ada 66 persen dikategorikan tidak stabil secara emosi, sensitif, mudah kecewa, mudah marah, dan mudah dipengaruhi.

Mayoritas keterampilan sosialnya rendah, dan sekitar 90 persen memiliki masalah psikologis, gangguan pikiran, dan masalah perilaku.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved