Terorisme
Anak Muda Jadi Teroris, Soal Ideologi dan Menjadi Keren, Pengamat Terorisme Kritik BPIP
Narasi dalam terorisme bukan hanya soal ideologi tetapi lebih jauh dari itu. Ada beragam cara bagaimana anak muda bergabung dalam gerakan semacam itu.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Pada Juni 2014, di sebuah warung kebab di Kayseri, Turki, Noor Huda Ismail secara tidak sengaja bertemu dengan Teuku Akbar Maulana.
Pengamat terorisme itu sedang mengikuti sebuah konferensi, sementara Akbar adalah pelajar yang menerima beasiswa untuk sekolah di sana.
Keduanya terlibat perbincangan, hingga terungkap bahwa Akbar ternyata sedang menunggu jemputan untuk berjihad di Suriah.
Akbar memperlihatkan foto-foto kawannya, sesama anak muda, yang menenteng senjata di tengah konflik.
Noor Huda menyebut, ketertarikan Akbar berjihad adalah faktor heroisme yang dia cari sebagai anak muda berumur 14-an tahun.
“Gelora akbar bergabung itu lebih karena heroisme. Membawa AK 47, kelihatan keren,” ujar Noor Huda dalam diskusi terkait anak muda dan terorisme yang diselenggarakan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Minggu (5/4/2021), dalam warta VOA Indonesia.
“Narasi-narasi ISIS untuk kelompok lelaki waktu itu, memang selalu membuat galau perasaan orang yang ingin mencari jati diri. Misalnya kata-kata, bahwa ini adalah dunia bagi lelaki. Orang merasa, kalau tidak ke situ tidak lelaki,” lanjut dia.
Kisah pertemuan dengan Akbar itu menjadi bagian dari film dokumenter "Jihad Selfie," yang dirilis Noor Huda pada 2016.
Visiting Fellow RSIS, NTU Singapura, yang pernah menjadi santri dan berkawan dengan sejumlah mantan teroris ini, ingin mengungkapkan bagaimana terorisme adalah dunia yang kompleks.
Narasi dalam terorisme, ujarnya, bukan hanya soal ideologi tetapi lebih jauh dari itu.
Ada beragam cara bagaimana anak muda bisa bergabung dalam gerakan semacam ini.
Di masa lalu, Jamaah Islamiyah mudah terdeteksi karena merupakan aksi kolektif.
Mereka berkumpul bersama dalam sebuah organisasi yang solid.
Sementara saat ini, eranya menurut Noor Huda adalah aksi terkoneksi yang diterapkan ISIS.
Para pelaku teror tidak tergabung dalam satu organisasi, tetapi bersatu dalam ideologi yang sama yang terhubung melalui media sosial.