Tajuk Tamu Tribun Manado
Sentimen Agama di Pilkada Sulawesi Utara, Perlukah?
Tokoh dan pemuka agama sejatinya harus mengambil peran netral dan independen di dalam setiap pertarungan politik.
Oleh:
Dr Arhanuddin Salim M.PdI
Dosen IAIN Manado
TULISAN ini tidak berprentensi untuk mendukung atau tidak mendukung calon tertentu di Pilkada Sulawesi Utara, baik itu pemilihan calon gubernur/wakil gubernur atau wali kota/wakil wali kota atau bupati/wakil bupati. Tulisan ini hanya semacam refleksi kritis soal penyalahgunaan sentimen agama di dalam meraup keuntungan elektoral. Keterwakilan identitas SARA di dalam pemilu dan pemilukada tentu tidak bisa dinafikan. Suku, agama, dan ras adalah bagian penting dari investasi meraup suara elektoral bagi setiap pasangan calon. Setiap kita tentu mewakili masing-masing identitas. Apapun profesi dan jabatan kita, tentu identias SARA melekat dengan fitrawi, sebagaimana melekatnya ruh dengan tubuh kita.
Keterwakilan identitas kelompok tertentu, apalagi atas dasar keyakinan teologis (agama) bisa jadi menguntungkan secara elektoral, tapi kadangkala juga merugikan. Merugikan bangunan tenung kebangsaan yang selama ini mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat kita. Apalagi bangunan tenung kekerabatan dan kekelurgaan antarpemeluk agama dan keyakinan di Sulawesi Utara menjadi panutan nasional, bahkan menjadi kebanggan di dunia internasional.
Meminimalkan Intrik Teologis dalam Politik
Kekuatan dan dorongan identitas agama tertentu dalam memenangkan pertarungan politik, baik di dalam pemilu dan pilkada sudah terbukti keampuhannya. Kasus pilkada DKI Jakarta (2017) adalah bukti nyata. Pembuktian kedikdayaan politik identitas atas nama agama menjadi panglima dalam meraup suara elektoral di Pilkada DKI Jakarta kala itu. Segala rupa intrik, intimidasi, agitasi, dan propaganda atas nama agama, sah dan halal untuk kepentingan pemenangan seorang paslon dalam pilkada. Tentu kita semua sebagai warga masyarakat Sulawesi Utara tidak menginginkan hal demikian terjadi di Bumi Nyiur Melambai. Pada sisi ini, politik tidak lagi berfungsi sebagai seni memenangkan pertarungan, tapi kurang lebih hanya memuaskan nafsu hewani untuk memangsa yang lain (menang atau kalah).
Agama seharusnya memainkan peran penting sebagai suluh di tengah kegelapan, penawar dahaga dalam kekeringan. Tidak malah sebaliknya, menjadi bahan bakar perseteruan, bahkan konflik antar kepentingan pragmatis semata. Tokoh dan pemuka agama sejatinya harus mengambil peran netral dan independen di dalam setiap pertarungan politik. Celakanya, banyak pemuka agama menceburkan diri mereka untuk menjadi tim sukses dan makelar politik untuk pemenangan calon tertentu. Pada sisi ini, tentu berakibat fatal terhadap pemenuhan dan penciptaan ruang-ruang publik yang sehat dan setara. Seharusnya para tokoh agama kembali ke barak, kembali ke mimbar-mimbar suci peribadatan untuk menyuarkan pentingnya menjaga perdamaian, memastikan umat tidak terjebak pada money politics, yang tidak hanya haram, tapi melukai nilai-nilai demokrasi yang luhur.
Agenda Politik Islam, Proyek Politik Nilai
Ajaran Islam tentu tidak abai atau absen soal wacana politik praktis. Peradaban Islam dibangun di atas mahakarya kekuatan strategi politik di dalam menaklukkan peradaban besar seperti Romawi dan Persia di zamannya. Banyak bukti historis soal itu. Seorang muslim yang saleh dan salihah harus melek politik, itu wajib hukumnya. Sebab, tanpa kekuatan literasi politik, maka dipastikan umat Islam akan ketinggalan zaman. Bagi seorang politisi muslim, “amar ma’ruf nahi munkar” (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) adalah tujuan utama dari memenangkan pertarungan elektoral. Oleh karena itu, jikalau seorang politisi muslim di dalam memenangkan pertarungan elektoral menggunakan segala cara, lalu mengabaikan aspek moralitas dan etika, maka sesungguhnya seorang politisi tersebut telah tersesat jauh dari tujuan luhur berpolitik di dalam Islam. Penggunaan teknik black campaign dalam strategi pemenangan, adalah kondisi moralitas paling rendah yang kadangkala menggerogoti para politisi kita saat ini. Apalagi menggunakan sentimen keyakinan agama tertentu di dalam meraup keuntungan elektoral, sungguh sangat memiriskan.
Mengakhiri tulisan ini, perlu ada perhatian khusus bagi setiap paslon yang berlaga di Pilkada Sulawesi Utara saat ini, untuk kembali merenung, mengembalikan niat awal di dalam memperjuangkan nasib seluruh warga Sulawesi Utara lima tahun ke depan. Keyakinan agama itu mahapenting tapi jangan dijadikan sebagai alat untuk memengaruhi sentimen primordial warga pemilih. Sebab, ini bukan jalan kebenaran di dalam berpolitik. Kalau ini yang terjadi, maka hawa dan pemicu konflik antaragama di Sulawesi Utara bisa jadi bagai bara dalam sekam. Mari jadikan pemegang hak suara, sebagai warga negara yang setara, bukan warga agama yang subjektif, narsistik, apalagi ekstrimis. Wallahu A’lam. (*)
Baca juga: Tanggal Habib Rizieq Pulang Indonesia Disampaikan Hari Ini, Disiarkan Langsung dari Makkah
Baca juga: Pelajar SMA Curi Uang Rp 18,2 Juta dengan Cara Bobol Atap Toko, Duit Dipakai untuk Foya-foya
Baca juga: Sosok Presiden Soekarno, Dagestan, Makam Imam Bukhari dan Khabib Nurmagomedov