Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Webinar

Catatan Webinar: Turis, Tidak Tergantung Maengket

Melihat situasi itu, Pemerintah pusat di bawah Presiden Joko Widodo memberi julukan Sulut sebagai “The Rising Star” (Bintang Menyingsing) bidang wisat

Editor: Aldi Ponge
Fendry Panombon
Maengket di Manado tahun 2014. Foto oleh sarjana Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Fendry Panombon 

Dalam webinar tanggal 17 July 2020 lalu yang diadakan  Angelica  Tengker, pembicara Benny Matindas memberi catatan cukup sinis terhadap para pelaku maengket, terutama para perempuan. Mereka, sering tampil dengan pakaian “mahal” dan sebelum tampil masuk dulu ke salon berjam-jam.

Padahal, kata Benny Matindas, banyak pemburu seni dari luar yang lebih suka penampilan seni dengan kostum sederhana bahkan kumuh.

Saya mendapatkan inspirasi dari apa yang dikatakan Benny Matindas ini. Inspirasi yang muncul dalam benak saya adalah, pesan agar penampilan perempuan Minahasa di maengket, jangan melakukan hal yang mengurangi keanggunannya karena terlalu unjuk kegenitan atau maniso. Boleh bermanisoria tapi jangan talebe-lebe (jangan keterlaluan). Sadiki jo so cukup.

Sedangkan Benny Mamoto bicara tentang festival, acara panggung, pendidikan atau pelatihan penari dan pelatih dan pertunjukan di Jakarta untuk mendorong maengket di Minahasa.

Angelica Tengker mengkaitkan maengket dengan wisata budaya. Prudentia antara lain menyarankan diperbanyak publikasi, lewat media massa, skripsi, desertasi, buku-buku tentang maengket.

Jultje Ratu, menurut catatan saya, pentingnya melihat maengket ini merupakan kesatuan musik, lagu, puisi, dan trian. Seperti pembicara lainnya,  ia ingin maengket harus lestari, bukan jadi fosil yang bisa di bawa ke panggung di mana-mana.

Perry Rumengan dari Tomohon menawarkan saya beberapa buku tebal tentang budaya maengket. Mungkin termasuk sejarahnya. Sejarah maengket yang tertulis itu penting.

Karena sperti kata filsus dan orator ulung dari Roma 2000 tahun lalu, Cicero, mengatakan, historia magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan (budaya). Pepatah Perancis juga mengatakan l’histoire se repete, sejarah itu mengulangi dirinya.

Saya berharap, para pembicara atau pemberi sambutan jangan terlalu panjang dan bertele-tele. Tidak usah semua yang dirasa penting dalam pikiran kita harus diucapkan dalam webinar.

Dari pada sejuta kata kita keluarkan, walaupun itu penting, tapi tidak satu pun kata masuk di hati pendengar, ebih baik dua kalimat tapi selalu diingat banyak orang. Sejuta kata bisa bikin orang pastiu atau muak, muntah.

Saya berharap kehidupan ekonomi pertanian di seluruh kampung-kampung Minahasa terus dikembangkan, dan kelestarian alam Minahasa dijaga.

Dengan demikian banyak orang Minahasa bisa terus pete cingke, panen padi, pala, kopra, milu, bete, ubi dan seterusnya. Sehingga orang Minahasa di kampung-kampung akan sering rutin mengadakan pengucapan syukur, dan tentu pesta. Di sana maengket akan hidup dan lestari tidak jadi fosil yang dibawa ke pangung-panggung di luar Minahasa.

Mengket akan kehilangan pesona dan artinya bila hanya untuk sarana politik untuk memenangkan perebutan jabatan atau popularitas dalam pemilihan umum.

Biarkan para peminat budaya Minahasa, berburu ke kampung-kampung di Minahasa. Seperti penulis Amerika keturunan Scotlandia, Maruel Stuart Walker berburu seni budaya Bali sampai harus hidup di desa-desa di Bali dan mengubah namanya menjadi K’tut Tanri (1898 - 1997). Selama di Bali ia menulis buku Revolusi di Nusa Damai (Revolt in Paradise).

Buku itu memperbanyak orang di Amerika dan Eropa mempunya cita-cita tidak akan mati sebelum ke Bali (pulau dewata). Seperti pelukis legendaris dunia keturunan Spanyol dan Amerika, Antonia Blanco menghabiskan hidupnya untuk melukis tentang Bali.

Minahasa akan bisa begitu ?  Semoga. Sekali lagi kita kutip doa Pendeta Ni Graafland untuk Minahasa. Kini musim pandemi covid-19 masih hadir di bumi Nusantara, juga di seribu kampung Minahasa. Ini kesempatan kita kembali dulu dalam rumah untuk sehat, berdoa, bermedtasi dan merenungkan.

Maengket pada waktunya akan muncul lagi, selama masih ada orang Minahasa dan alamnya, budayanya.

Mari kita dengarkan sekali lagi doa dari Pendeta Graafland yang dituliskan seratus lima puluh tahun yang masih menembus masa kini.

“Memang Minahasa dan maengket sedang menuju masa depan yang indah. Semoga Tuhan memberkati tanah yang baik ini, pemerintahnya, dan semua orang yang telah bekerjasama meningkatkan kesejahteraan sejati rakyatnya,” demikian doa itu. (J.Osdar)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved