Webinar
Catatan Webinar: Turis, Tidak Tergantung Maengket
Melihat situasi itu, Pemerintah pusat di bawah Presiden Joko Widodo memberi julukan Sulut sebagai “The Rising Star” (Bintang Menyingsing) bidang wisat
Mereka malakukan seni maengket. Dalam maengket ini, para perempuan dihiasi tangkai padi yang mereka lingkarkan di atas kepala (seperti mahkota atau corona).
Mereka (para perempuan) memegang sapu tangan (lenso) yang dilambai-lambaikan dan berpakaian rapi. Mereka membentuk lingkaran di jalan atau di lapangan di negeri (kampung) sambil membawakan lagu-lagu.
Lagu-lagu itu semula dipersembahkan dipersembahkan dalam pesta hasil panen dan sebagai ungkapan rasa terimakasih (bersyukur) kepada para dewa. Tapi lirik-liriknya segera berubah..........mereka jatuh dalam kata-kata (lirik-lirik lagu) yang sangat tidak sopan dan berakibat merusak (moral).
Begitulah laporan Pendeta Graafland tentang maengket 150 tahun lalu. Saya mencatat, Pendeta Graafland memperlihatkan kesatuan maengket dengan alam dan devosi pada “sang transenden”.
Pendeta Graafland memberi penekanan maengket, bertalian dengan panen padi dan pesta. Panen padi adalah simbol ekonomi pertanian rakyat yang membawa kemakmuran, maka berpestalah mereka.
Dalam pesta dengan maengket inilah mereka, kata Pendeta Graafland, jatuh dalam suasana tidak sopan. Di halaman lain bukunya, Pendeta Graafland mengatakan maengket bukan tarian tapi bagian dari seni budaya.
Pendeta Graafland juga menuliskan dalam bukunya tentang makaria dan maramba. Makaria, kata Pendeta Graafland, berarti bersama-sama atau bersahabat. Di sini tersirat makna (kawanua).
Mereka berkumpul dalam satu lingkaran, saling bergandengan tangan dan menari.
Awal tarian makaria ini lamban, tapi kemudian semakin cepat dan lincah sampai pada akhirnya para penari melompat-lompat dan membuat gerakan-gerakan tidak sopan.
Lagu-lagunya yang berawal memanggil empung juga berlanjut ke hal yang menghilangkan kesopanan. Mereka saling mendorong sampai akhirnya sampai pada keadaan saling menindih.
Maka Pendeta Graafland dalam bukunya mengecam keras makaria dan maengket saat itu, 150 tahun lalu.
Pendeta Graafland juga memberi catatan dalam bukunya, Dua pengjinjil pertama di Minahasa, Johan Gottlieb Schwarz dan Johan Frederik Riedel berusaha memimpin rakyat dalam soal tata krama dan kesopanan moral Kristen.
Penginjilan yang dipelopori Schwarz, Riedel, Graafland dan para penginjil Kristen lainnya, tentu banyak mempengarui perkembangan maengket, maramba, makaria, tari kabasaran, pesta syukur dan tentu budaya Minahasa sampai kini.
Tentu setelah kekristenan berkembang, maengket dan makaria ikut berkembang dengan azas-azas Kristen hingga kini. Tapi tentu kesatuan dengan alam secara natural tetap terjaga dan menjadi bagian budaya Minahasa.
Jangan maniso dan bertele-tele