Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Webinar

Catatan Webinar: Turis, Tidak Tergantung Maengket

Melihat situasi itu, Pemerintah pusat di bawah Presiden Joko Widodo memberi julukan Sulut sebagai “The Rising Star” (Bintang Menyingsing) bidang wisat

Editor: Aldi Ponge
Fendry Panombon
Maengket di Manado tahun 2014. Foto oleh sarjana Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Fendry Panombon 

Berkali-kali saya tawarkan mereka untuk menyaksikan kesenian maengket, katrili, kabasaran, maramba, makaria dan lain sebagainya.

“Di sini kami berburu kuliner, berenang di Bunaken atau Manado Tua. Kalau mau kesenian kami berburu di desa-desa di Bali,” ujar mereka.

Saya jadi ingat ketika Ratu Beatrix dari Belanda datang ke Sulut akhir Agustus 1995. Saya sebagai wartawan istana kepresidenan ikut rombongan Ratu Beatrix dan para wartawan dari Belanda.

Saya ikut rombongan sejak dari Belanda. Para wartawan Eropa itu juga saya ajak menyaksikan maengket dan kesenian lainnya, ucapan mereka juga sama.

Mereka cari menu tradisional, menyelam di laut, memandang gunung dan danau, alam Minahasa yang seperti firdaus kecil  terlempar di bumi.

Kecaman Pendeta Graafland

Kembali ke ihwal webinar empat jam tentang maengket yang diselenggarakan Angelica (Ika) Tengker, Jumat, 17 Juli 2020). Ika dan kawan-kawanya mengundang para pembicara sebagai peminat dan pemerhati kesenian Minahasa, termasuk maengket. Mereka adalah Benny Mamoto, Ferry Mawikere, Prudentia, Benny Matindas, Jultje Ratu, Perry Rumengan dan saya (Osdar). 

Saya antara lain mengatakan, sat ini saya sedang menulis buku tentang Sulawesi Utara, termasuk maengket. Juga saya kemukakan pengalaman saya pribadi tentang maengket dan sejarahnya dari buku karya Pendeta N Graafland.

Buku ini ditulis di kapal Ida Elizabeth yang berlayar di Samudera Atlantik, 14 Januari 1864, hampir 150 tahun lalu.

Bukunya berjudul asli, De Minahasa, Har verleden en haar tegenwoordige toestand (Minahasa masa lalu dan masa kini yang kemudian diberi judul Minahasa, Rakyat dan Budayanya, terbit 1991.

Saya juga menyinggung tulisan saya di Kompa.com  tahun lalu tentang “hilangnya jiwa atau roh maengket.” yang aslinya merupakan kesatuan orang Minahasa dengan alamnya (semesta).

Bagi saya jiwa  atau kesatuan dengan alam itu membuat maengket kehilangan pesona ekosistemnya bila dipentaskan di panggung buatan bukan di halaman dengan latar belakang alam natural, gunung, kampung, panen padi, menu Minahasa yang disediakan di meja panjang dan anak-anak yang berlari ke sana kemari.

Dalam bukunya, Pendeta Graafland antara lain menuliskan tentang maengket seperti berikut. Graafland menyatukan maengket dengan panen padi. Orang-orang bernyanyi ketika sedang memetik padi. Lagu-lagu itu kadang kala merupakan seruan kepada para dewa.

Empung wana kawiley  e rumoros o mey, ya omey. Rumoros o mey wana bawo um bene en minareressako wene, ya yo momey owey (Empung yang ada di pohon mangga, turunlah. Turunlah dekat padi, karena padi-padi ini bertumpuk dan saling menindih, saling mendorong).

Setelah panen padi, dalam perjalanan  pulang pada malam hari mereka berteriak, bersorak dan memekik. Tiba di rumah mereka berpesta, dan bulan terang sangat diinginkan waktu itu.

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved