Webinar
Catatan Webinar: Turis, Tidak Tergantung Maengket
Melihat situasi itu, Pemerintah pusat di bawah Presiden Joko Widodo memberi julukan Sulut sebagai “The Rising Star” (Bintang Menyingsing) bidang wisat
Penulis J Osdar, Wartawan Senior
TRIBUNMANADO.CO.ID - Ribuan turis atau wisata berduyun-duyun masuk Sulawesi Uatara antara 2015 sampai akhir 2019, bukan karena seribu festival, seminar atau webinar maengket atau sejenisnya.
Arus deras turis masuk Sulut, karena pemerintahan Provinsi Sulut, Gubernur Olly Dondokambey dan Wakil Gubernur Steven Kandouw (OD-SK) membuka dan menambah penerbangan langsung dari Manado ke berbagai tempat di luar negeri dan Tanah Air.
Meningkatnya arus wisata dalam dan luar negeri ke Sulut membuat ekonomi, terutama bidang kuliner dan perhotelan, di negeri kopra, pala dan cengkeh ini tumbuh signifikan.

Melihat situasi itu, Pemerintah pusat di bawah Presiden Joko Widodo memberi julukan Sulut sebagai “The Rising Star” (Bintang Menyingsing) bidang wisata.
Kabinet Jokowi memasukan Sulut sebagai kelompok prioritas pembangunan in frastruktur dan tujuan wisata Indonesia.
Ketika turis masuk ke Sulut yang diburu pertama adalah tempat-tempat penginapan/ hotel-hotel dan makanan atau kuliner. Menu tradisional Minahasa dan Sulut menjadi buruan. Ini membuat warung-warung, rumah makan, cafe-cafe kewalahan melayani turis.
Namun pemburuan kuliner Minahasa ini membuat pertanian rakyat Sulut juga hidup bergairah (hingga saat ini di masa pandemi covid-19).
Karena kuliner tradisional Sulut berkaitan dengan pertanian rakyat provinsi ini. Ekonomi Sulut hingga kini mencapai 4,2 persen, di atas pertumbuhan nasional di masa covid-19 ini.
Dalam konteks inilah maka masyarakat Sulut mengharapkan pemerintah pusat di masa pandemi ini menunda dulu adanya pajak pertanian, raw material (pajak untuk bahan baku) ditunda dulu.
“Sistem pajak satu persen untuk hasil panen yang masih merupakan bahan baku itu merugikan para petani Sulut. Maka petani rakyat baru cabut pohon singkong atau ubi, bawang atau rica atau cabe sudah dikenai pajak satu persen,” ujar pengamat ekonomi Sulut.
Beberapa pengamat politik perekonomian Sulut melihat sistem pajak satu persen di masa arus turis terhenti karena covid-19 ini, terasa seperti sistem pajak masa pemerintahan perusahaan VOC atau pemerintahan penjajahan Belanda dengan sistem tanam paksa.
Sulut juga mengharapkan pemerintah pusat jangan memberi ijin kapal Cina Hua Xiang (nama asli) yang berbendera Indonesia masuk ke Pelabuhan Amurang, Minahasa Selatan).
“Ini juga bikin rugi dan ekonomi rakyat Sulut di masa pandemi ini. Kapal Cina dengan segala maksud dan tujuannya itu bisa membunuh budaya Sulut, termasuk maengketnya,” ujar para pengamat politik ekonomi rakyat Sulut.

Selamat empat tahun terakhir ini, bila sedang berada di Sulut saya menginap yang hampir sertus persen tiap hari dihuni turis. Tiap pagi dan sore saya bergaul dengan mereka.
Berkali-kali saya tawarkan mereka untuk menyaksikan kesenian maengket, katrili, kabasaran, maramba, makaria dan lain sebagainya.
“Di sini kami berburu kuliner, berenang di Bunaken atau Manado Tua. Kalau mau kesenian kami berburu di desa-desa di Bali,” ujar mereka.
Saya jadi ingat ketika Ratu Beatrix dari Belanda datang ke Sulut akhir Agustus 1995. Saya sebagai wartawan istana kepresidenan ikut rombongan Ratu Beatrix dan para wartawan dari Belanda.
Saya ikut rombongan sejak dari Belanda. Para wartawan Eropa itu juga saya ajak menyaksikan maengket dan kesenian lainnya, ucapan mereka juga sama.
Mereka cari menu tradisional, menyelam di laut, memandang gunung dan danau, alam Minahasa yang seperti firdaus kecil terlempar di bumi.
Kecaman Pendeta Graafland
Kembali ke ihwal webinar empat jam tentang maengket yang diselenggarakan Angelica (Ika) Tengker, Jumat, 17 Juli 2020). Ika dan kawan-kawanya mengundang para pembicara sebagai peminat dan pemerhati kesenian Minahasa, termasuk maengket. Mereka adalah Benny Mamoto, Ferry Mawikere, Prudentia, Benny Matindas, Jultje Ratu, Perry Rumengan dan saya (Osdar).
Saya antara lain mengatakan, sat ini saya sedang menulis buku tentang Sulawesi Utara, termasuk maengket. Juga saya kemukakan pengalaman saya pribadi tentang maengket dan sejarahnya dari buku karya Pendeta N Graafland.
Buku ini ditulis di kapal Ida Elizabeth yang berlayar di Samudera Atlantik, 14 Januari 1864, hampir 150 tahun lalu.
Bukunya berjudul asli, De Minahasa, Har verleden en haar tegenwoordige toestand (Minahasa masa lalu dan masa kini yang kemudian diberi judul Minahasa, Rakyat dan Budayanya, terbit 1991.
Saya juga menyinggung tulisan saya di Kompa.com tahun lalu tentang “hilangnya jiwa atau roh maengket.” yang aslinya merupakan kesatuan orang Minahasa dengan alamnya (semesta).
Bagi saya jiwa atau kesatuan dengan alam itu membuat maengket kehilangan pesona ekosistemnya bila dipentaskan di panggung buatan bukan di halaman dengan latar belakang alam natural, gunung, kampung, panen padi, menu Minahasa yang disediakan di meja panjang dan anak-anak yang berlari ke sana kemari.
Dalam bukunya, Pendeta Graafland antara lain menuliskan tentang maengket seperti berikut. Graafland menyatukan maengket dengan panen padi. Orang-orang bernyanyi ketika sedang memetik padi. Lagu-lagu itu kadang kala merupakan seruan kepada para dewa.
Empung wana kawiley e rumoros o mey, ya omey. Rumoros o mey wana bawo um bene en minareressako wene, ya yo momey owey (Empung yang ada di pohon mangga, turunlah. Turunlah dekat padi, karena padi-padi ini bertumpuk dan saling menindih, saling mendorong).
Setelah panen padi, dalam perjalanan pulang pada malam hari mereka berteriak, bersorak dan memekik. Tiba di rumah mereka berpesta, dan bulan terang sangat diinginkan waktu itu.
Mereka malakukan seni maengket. Dalam maengket ini, para perempuan dihiasi tangkai padi yang mereka lingkarkan di atas kepala (seperti mahkota atau corona).
Mereka (para perempuan) memegang sapu tangan (lenso) yang dilambai-lambaikan dan berpakaian rapi. Mereka membentuk lingkaran di jalan atau di lapangan di negeri (kampung) sambil membawakan lagu-lagu.
Lagu-lagu itu semula dipersembahkan dipersembahkan dalam pesta hasil panen dan sebagai ungkapan rasa terimakasih (bersyukur) kepada para dewa. Tapi lirik-liriknya segera berubah..........mereka jatuh dalam kata-kata (lirik-lirik lagu) yang sangat tidak sopan dan berakibat merusak (moral).
Begitulah laporan Pendeta Graafland tentang maengket 150 tahun lalu. Saya mencatat, Pendeta Graafland memperlihatkan kesatuan maengket dengan alam dan devosi pada “sang transenden”.
Pendeta Graafland memberi penekanan maengket, bertalian dengan panen padi dan pesta. Panen padi adalah simbol ekonomi pertanian rakyat yang membawa kemakmuran, maka berpestalah mereka.
Dalam pesta dengan maengket inilah mereka, kata Pendeta Graafland, jatuh dalam suasana tidak sopan. Di halaman lain bukunya, Pendeta Graafland mengatakan maengket bukan tarian tapi bagian dari seni budaya.
Pendeta Graafland juga menuliskan dalam bukunya tentang makaria dan maramba. Makaria, kata Pendeta Graafland, berarti bersama-sama atau bersahabat. Di sini tersirat makna (kawanua).
Mereka berkumpul dalam satu lingkaran, saling bergandengan tangan dan menari.
Awal tarian makaria ini lamban, tapi kemudian semakin cepat dan lincah sampai pada akhirnya para penari melompat-lompat dan membuat gerakan-gerakan tidak sopan.
Lagu-lagunya yang berawal memanggil empung juga berlanjut ke hal yang menghilangkan kesopanan. Mereka saling mendorong sampai akhirnya sampai pada keadaan saling menindih.
Maka Pendeta Graafland dalam bukunya mengecam keras makaria dan maengket saat itu, 150 tahun lalu.
Pendeta Graafland juga memberi catatan dalam bukunya, Dua pengjinjil pertama di Minahasa, Johan Gottlieb Schwarz dan Johan Frederik Riedel berusaha memimpin rakyat dalam soal tata krama dan kesopanan moral Kristen.
Penginjilan yang dipelopori Schwarz, Riedel, Graafland dan para penginjil Kristen lainnya, tentu banyak mempengarui perkembangan maengket, maramba, makaria, tari kabasaran, pesta syukur dan tentu budaya Minahasa sampai kini.
Tentu setelah kekristenan berkembang, maengket dan makaria ikut berkembang dengan azas-azas Kristen hingga kini. Tapi tentu kesatuan dengan alam secara natural tetap terjaga dan menjadi bagian budaya Minahasa.
Jangan maniso dan bertele-tele
Dalam webinar tanggal 17 July 2020 lalu yang diadakan Angelica Tengker, pembicara Benny Matindas memberi catatan cukup sinis terhadap para pelaku maengket, terutama para perempuan. Mereka, sering tampil dengan pakaian “mahal” dan sebelum tampil masuk dulu ke salon berjam-jam.
Padahal, kata Benny Matindas, banyak pemburu seni dari luar yang lebih suka penampilan seni dengan kostum sederhana bahkan kumuh.
Saya mendapatkan inspirasi dari apa yang dikatakan Benny Matindas ini. Inspirasi yang muncul dalam benak saya adalah, pesan agar penampilan perempuan Minahasa di maengket, jangan melakukan hal yang mengurangi keanggunannya karena terlalu unjuk kegenitan atau maniso. Boleh bermanisoria tapi jangan talebe-lebe (jangan keterlaluan). Sadiki jo so cukup.
Sedangkan Benny Mamoto bicara tentang festival, acara panggung, pendidikan atau pelatihan penari dan pelatih dan pertunjukan di Jakarta untuk mendorong maengket di Minahasa.
Angelica Tengker mengkaitkan maengket dengan wisata budaya. Prudentia antara lain menyarankan diperbanyak publikasi, lewat media massa, skripsi, desertasi, buku-buku tentang maengket.
Jultje Ratu, menurut catatan saya, pentingnya melihat maengket ini merupakan kesatuan musik, lagu, puisi, dan trian. Seperti pembicara lainnya, ia ingin maengket harus lestari, bukan jadi fosil yang bisa di bawa ke panggung di mana-mana.
Perry Rumengan dari Tomohon menawarkan saya beberapa buku tebal tentang budaya maengket. Mungkin termasuk sejarahnya. Sejarah maengket yang tertulis itu penting.
Karena sperti kata filsus dan orator ulung dari Roma 2000 tahun lalu, Cicero, mengatakan, historia magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan (budaya). Pepatah Perancis juga mengatakan l’histoire se repete, sejarah itu mengulangi dirinya.
Saya berharap, para pembicara atau pemberi sambutan jangan terlalu panjang dan bertele-tele. Tidak usah semua yang dirasa penting dalam pikiran kita harus diucapkan dalam webinar.
Dari pada sejuta kata kita keluarkan, walaupun itu penting, tapi tidak satu pun kata masuk di hati pendengar, ebih baik dua kalimat tapi selalu diingat banyak orang. Sejuta kata bisa bikin orang pastiu atau muak, muntah.
Saya berharap kehidupan ekonomi pertanian di seluruh kampung-kampung Minahasa terus dikembangkan, dan kelestarian alam Minahasa dijaga.
Dengan demikian banyak orang Minahasa bisa terus pete cingke, panen padi, pala, kopra, milu, bete, ubi dan seterusnya. Sehingga orang Minahasa di kampung-kampung akan sering rutin mengadakan pengucapan syukur, dan tentu pesta. Di sana maengket akan hidup dan lestari tidak jadi fosil yang dibawa ke pangung-panggung di luar Minahasa.
Mengket akan kehilangan pesona dan artinya bila hanya untuk sarana politik untuk memenangkan perebutan jabatan atau popularitas dalam pemilihan umum.
Biarkan para peminat budaya Minahasa, berburu ke kampung-kampung di Minahasa. Seperti penulis Amerika keturunan Scotlandia, Maruel Stuart Walker berburu seni budaya Bali sampai harus hidup di desa-desa di Bali dan mengubah namanya menjadi K’tut Tanri (1898 - 1997). Selama di Bali ia menulis buku Revolusi di Nusa Damai (Revolt in Paradise).
Buku itu memperbanyak orang di Amerika dan Eropa mempunya cita-cita tidak akan mati sebelum ke Bali (pulau dewata). Seperti pelukis legendaris dunia keturunan Spanyol dan Amerika, Antonia Blanco menghabiskan hidupnya untuk melukis tentang Bali.
Minahasa akan bisa begitu ? Semoga. Sekali lagi kita kutip doa Pendeta Ni Graafland untuk Minahasa. Kini musim pandemi covid-19 masih hadir di bumi Nusantara, juga di seribu kampung Minahasa. Ini kesempatan kita kembali dulu dalam rumah untuk sehat, berdoa, bermedtasi dan merenungkan.
Maengket pada waktunya akan muncul lagi, selama masih ada orang Minahasa dan alamnya, budayanya.
Mari kita dengarkan sekali lagi doa dari Pendeta Graafland yang dituliskan seratus lima puluh tahun yang masih menembus masa kini.
“Memang Minahasa dan maengket sedang menuju masa depan yang indah. Semoga Tuhan memberkati tanah yang baik ini, pemerintahnya, dan semua orang yang telah bekerjasama meningkatkan kesejahteraan sejati rakyatnya,” demikian doa itu. (J.Osdar)