Tajuk Tamu Tribun Manado
"Normal Baru" dan Absurditas Kehidupan
Andaikan vaksin belum ditemukan sementara pandemi Covid-19 masih belum terkendali, maka mungkin kampanye "Normal Baru” adalah pilihan rasional.
Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan kehidupan dalam segala dimensi dan levelnya, orang mulai melihat fenomena keputusasaan dan absurditas nilai kemanusiaan bahkan kehidupan itu sendiri. Egoisme dalam segala wujudnya (kemarahan dan ketakutan, kemalasan dan kenyiyiran) merebak seperti mayat-mayat bangkit dari kuburan lama yang terbungkus kokoh dan cantiknya batu nisan oleh segala kosmetik jargon ajaran ilahi dan manusiawi, imaniah dan akaliah.
Kita kembali bertanya dan menjawab jujur dan adil, apakah yang membuat manusia itu disebut manusia dan apakah hidup yang layak dihidupi di dunia yang sedang dilanda virus yang patogen tapi disebut dengan nama indah dan menawan, Corona, karena semata tampak seperti ada garis-garis yang membentuk seolah mahkota.
Ya, mahkota itu mestinya ada di kepala sang raja, sang ratu dan semua yang dicapai dan dianggap luhur mulia itu di zaman kemewahan dan kehebatan raja dan ratu bangsa-bangsa dalam peradaban dunia.
• Hadapi Era Normal Baru, Jokowi Minta Masyarakat Harus Bersiap dan Hidup Berdampingan dengan Covid-19
Corona Virus Disease yang disingkat Covid ini dilabeli dengan bilangan 19 sebagai penanda evolusi yang sudah dijalaninya dalam tahap-tahapnya.
Apakah manusia juga berevolusi? Dalam kacamata biblis, manusia sudah selesai diciptakan oleh Sang Pencipta. Sekali untuk selamanya, dan baik adanya. Bahkan disebut mahkota ciptaan, secitra Allah sendiri atau suci sesuai fitrah, asal manusia sejak diciptakan. Evolusi itu teori dari Charles Darwin yang menerapkan prinsip dasar "survival of the fittest". Hanya yang paling kuat saja yang bisa beradaptasi dan bertahan dalam proses seleksi alam. Dan itulah yang melahirkan manusia beradab, homo sapiens, secara bertahap dari sebelumnya makhluk primata yang bernama monyet, dst.
Orang zaman sekarang entah sejak kapan memakai kata "monyet" sebagai bentuk penghinaan pada manusia yang dianggap rendah dan kotor martabatnya. Maka teori evolusi ala Darwin ini bila benar maka perlu rehabilitasi nama baik monyet, walau yang dibutuhkan mereka mendesak adalah pelestarian hutan yang menjadi habitat orang utan dan yaki (endemik Indonesia) dan tentu saja lingkungan hidup secara menyeluruh.
Banyak hal yang bisa dipikirkan dan dikomunikasikan dengan “rasio” dan “iman”, tapi pada akhirnya kita pahami dan sadari bahwa semua ada batas, ada misteri yang kaya tak habis oleh akal dan iman manusia yang terbatas.
• Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 328 Tahun 2020: Pekerja Tak Boleh Lembur Selama PSBB
Mari terus bekerja sama untuk menghadapi segala sikon yang ada. Andaikan vaksin belum ditemukan sementara pandemi Covid-19 masih belum terkendali, maka mungkin kampanye "Normal Baru” adalah pilihan rasional, asalkan dengan tetap menerapkan kebijakan PSBB atau lockdown daripada herd immunity yang seolah mengesankan membiarkan masyarakat hidup dalam prinsip alam rimba, the survival of fittest.
Ada istilah bagus “Si vis pacem para bellum, bila ingin damai siaplah berperang”. Ya, memang ini bisa seperti sikon darurat perang yang akan lama, dan perlu persiapan yang benar baik berguna.
Rakyat mungkin sudah lebih siap daripada pemerintah? Atau sebaliknya, atau keduanya antara siap dan tidak siap? Apa saja tanda dan prasyarat siap atau tidak siap itu, yang berwenang berikan jawaban kepada kita. (*)
• Dua Calon Vaksin Corona Mulai Uji Klinis
• Raja Kasino Makau Meninggal di Usia 98 Tahun: Ini Pesan Stanley Ho