Tajuk Tamu Tribun Manado
Perang Tondano, What Next?
Perang Tondano terjadi di tanah Minahasa awal abad XIX, jauh sebelum kesadaran berbangsa dan kebangkitan bangsa Indonesia pada tahun 1908 dinyatakan.
Oleh:
Stefi Rengkuan
Penulis, Domisili di Jakarta
PERISTIWA ini sudah terjadi di tanah Minahasa awal abad XIX, jauh sebelum kesadaran berbangsa dan kebangkitan bangsa Indonesia pada tahun 1908 dinyatakan mulai terwujud, bila dirujuk pada hari pendirian organisasi yang bernama Boedi Utomo di tanah Jawa.
Terhadap peristiwa ini, melalui seminar dan bedah buku karya Edy Mambu, Dr Valen Lumowa membuat tulisan berjudul "Melacak Sejarah Membangsa Minahasa". Dengan merujuk pada pemikiran beberapa filsuf dunia, doktor lulusan Leuven ini, lalu membuat hipotesis filosofis yang menitikberatkan pada proses terbentuknya sebuah bangsa dari perspektif teori kontrak sosial. Mencerahkan dan tampak masuk akal berpikir karena sejalan dengan penjelasan isi buku Mambu yang sudah diperkaya juga dengan pelbagai tulisan lainnya.
Tapi apakah konstruksi kebenaran teoritis yang rasional itu otomatis searah dan sebangun dengan data faktual yang tepat dan lengkap?
Dr Benni Matindas yang lebih senior justru merujuk pada tulisan dokumenter dari para pejabat dan peneliti barat, masih di zaman kolonial, menegaskan bahwa Minahasa sudah sebagai bangsa yang diperlakukan sejajar, karena memahami diri setara dan karenanya menuntut diperlakukan setara (equivok) dengan bangsa Belanda, bukan seragam (univok) sebagai salah satu suku etnis taklukan. "Pada era itu, menurut Gode-Molsbergen dan kemudian dikukuhkan lagi oleh Max Brouwer, Minahasa sudah menegara bahkan negara republik modern. Bukan lagi masih proses membangsa. Itulah mengapa sejak 106 tahun lalu Sam Ratulangi sudah meng-konstatasi Bangsa Minahasa sebagai yang paling siap di seluruh Nusantara untuk menjadi lokomotif penghela peradaban seluruh Nusantara."
Tentu perbedaan ini jelas disebabkan oleh sumber referensi yang dipakai, tapi juga bisa terkait dengan pengalaman kedekatan dan kejauhan tertentu dua pemikir yang cukup berbeda generasi, katakanlah awal abad 21 dan akhir abad 20. Sekadar untuk menunjuk bahwa mungkin Valen belum sempat terlibat membaca buku-buku tentang sejarah Perang Tondano dibandingkan dengan Benni yang sudah terlibat banyak dengan wacana, penelitian, penulisan dan publikasi buku dan diskusi atas peristiwa besar ini.
• Menapaki Sejarah di Tanah Minahasa Sulawesi Utara, Kampung Jawa Tondano hingga Desa Purba Minawanua
Bagaimana dengan generasi kemudian? Bahkan generasi sebelum dan semasa Valen dan Benni pun belum tentu punya informasi yang benar. Jangankan punya info yang benar dan lengkap, penulis sejarah sendiri sebagai penggali dan penerus informasi peristiwa itu ternyata ada perbedaan data, salah satunya tergantung pada sumber yang dipakai dan bagaimana memahami dan memperlakukan sebuah sumber penulisan sejarah.
Dua pendapat yang berbeda ini saja, dan fakta perbedaan penulisan sejarah terkait tokoh dan alur yang terekam dalam beberapa buku publikasi itu, sudah mesti menyadarkan kita bahwa masih banyak hal yang belum diketahui, atau diketahui secara kurang lengkap, dan belum merata terinformasikan dengan baik, dari generasi lebih awal ke generasi lebih kemudian.
Perbedaan pendapat dan data ini bisa menjadi tanda bahkan cermin sejarawan dan intelektual Minahasa untuk terus kembali melihat peristiwa itu; apa yang belum terungkap dari sisi peristiwa dan segala konteks faktual yang mendahului dan menyertai terjadinya perang besar tersebut. Dan di sisi lain bagaimana semuanya itu mempunyai pendasaran filosofis yang setara dengan apa yang dalam oleh bangsa-bangsa Barat (khususnya) dalam proses pembentukan jati dirinya.
Salah satu sebabnya adalah masalah publikasi, dan bagaimana itu sampai ke meja dan dibaca oleh masyarakat dalam segala lapisan, termasuk kaum intelektualnya dan para perumus kebijakan dan eksekutif di Minahasa. Kalau diteruskan lagi dalam konteks pendidikan formal, adakah pelajaran sejarah lokal ini diajarkan di tanah Minahasa sendiri. Adakah pengajar yang kompeten, pengadaan buku sumber yang memadai sejauh mana?
• Masyarakat Tondano Dapat Hiburan Tiga Hari, Tondano Fair Mareng Um Banua
Dalam level berbangsa Indonesia, sangat jelas juga bagaimana peristiwa ini mengalami proses panjang untuk diterima dalam kancah publikasi buku sejarah nasional. Peranan para penulis sejarah, salah satunya Edy Mambu telah berhasil menghantarkan peristiwa ini diakui, walau terkesan terlambat dibandingkan peristiwa heroik di daerah lain yang sudah lebih dahulu mengisi perbendaharaan sejarah perjuangan nasional. Seolah makin mengokohkan pendapat bahwa sejarah memang ditulis oleh mereka yang punya kemampuan menulis (penulis) dan menerbitkan (penerbit), tapi juga kuasa untuk memilih mana yang bisa masuk dalam perbendaharaan kisah heroisme nasional. Sudah bisa dipastikan kalau orang Minahasa sendiri tidak pernah menuliskan sejarah Perang Tondano ini maka sampai sekarang, sangat mungkin itu hanya cerita di kalangan terbatas saja yang kurang gemanya bagi pembangunan jati diri Minahasa sendiri apalagi bagi jati diri kebangsaan Indonesia itu.
Terima kasih kepada pemrakarsa publikasi tulisan yang naskah aslinya sudah ditulis hampir 40 tahun lalu. Carlo Brix Tewu telah mengangkat dan membuka kembali tulisan sejarah ini, salah satunya karena melihat fenomena degradasi kemampuan dan nilai budaya unggul Minahasa di kancah nasional. Diharapkan semoga publikasi ini mendorong intelektual dan manusia Minahasa makin mengenali diri dan segala nilai serta keunggulan dan pencapaiannya, bahkan ternyata sudah sampai diakui identitas kebangsaannya oleh kolonial Barat pada zaman itu. Saya berterima kasih karena bisa menjadi salah satu bagian dari proses mewujudkan tulisan ini dipublikasikan ke khalayak lebih luas.
Akhirnya, sekali lagi hendak ditegaskan bahwa betapa pentingnya sejarah tentang Minahasa, keminahasaan dan peminahasaan itu ditulis dan disebarluaskan lewat media massa, cetak maupun online (dan tentu saja terus dikritisi untuk dilengkapi dan disempurnakan). Peranan tokoh dan intelektual, masyarakat dan pemerintah daerah Minahasa sangat diharapkan untuk memfasilitasi segala upaya penelitian dan penulisan serta penerbitan dan segala bentuk proses literasi sejarah Minahasa.
Literasi sejarah itu bukan sekadar sejumlah pengetahuan dan kemampuan praktis tentang keminahasaan dan peminahasaan, tetapi mesti menjadi bagian dari strategi perubahan demi tercapainya kehidupan yang lebih baik, dalam kerangka pedoman nilai dan aksi nyata, mengantarai masa lalu dan masa depan. Dengan demikian manusia Minahasa mampu mengungkap dan menegaskan identitasnya untuk memperkaya dan memajukan masyarakatnya, dan tentu saja dalam bingkai identitas nasional NKRI bahkan global di bumi manusia yang satu dan sama ini.
Si tou timou tumou tou. (*)
• Kemenristek Terima Disinfektan Organik dari Sulut, Ivanry Matu: Bahannya Cengkih dan Asap Cair
• Bahan Penyemprotan Disinfektan Menggunakan Sereh dan Jeruk Purut Ala Taruna Merah Putih
• Tembus 1,5 Juta Kasus di AS, Trump Sebut Sebuah Kehormatan Jadi Episentrum Virus Corona Dunia