Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu

Ancaman Banjir dan Longsor, Pemerintah Daerah di Sulut Lemah Dalam Penegakan Aturan !

Musim penghujan dengan bencana banjir dan longsor sejatinya merupakan akumulasi dari perbuatan manusia yang merusak lingkungan

Editor: David_Kusuma
Kolase Tribun Manado / Istimewa/Isvara Savitri
Penulis Tajuk Tamu Vebri Haryadi dan Banjir di Manado 

Penulis: Vebry T Haryadi
- Praktisi Hukum

MUSIM penghujan di awal tahun tentu membuat khawatir warga di Sulawesi Utara khususnya warga yang bermukim di daerah rawan bencana banjir dan longsor.

Terkini banjir bandang yang terjadi di Desa Lebo, Kecamatan Manganitu, Kabupaten Kepulauan Sangihe, pada Jumat 3 Januari 2020 dengan tiga warga meninggal dunia serta kehilangan harta benda menambah catatan miris bencana yang terjadi di Nyiur Melambai.

Musim penghujan dengan bencana banjir dan longsor sejatinya merupakan akumulasi dari perbuatan manusia yang merusak lingkungan, hal itu yakni membuang sampah sembarangan atau menebang pohon di hutan yang harus dijaga, merasa kurang luas lahan sehingga menggunakan sempadan sungai sebagai bangunan, kurang lahan resapan air, kurang mengetahui adanya peraturan yang mengharuskan adanya perizinan dan dokumen lingkungan dalam pembangunan, serta tidak tegasnya pemerintah daerah dalam penegakan hukum mengenai lingkungan, termaksud di dalamnya peraturan-peraturan daerah yang telah ditetapkan.

Cerita Ibu Korban Banjir di Desa Lebo, Terseret Air ke Laut, Tuhan Tolong, Saya Belum Siap Meninggal

Kota Manado yang merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Utara tercatat beberapa kali terjadi bencana banjir dan longsor yang menelan korban jiwa dan harta benda yang tak sedikit jumlahnya.

Terparah pada tahun 2014 dengan belasan korban jiwa melayang dan ribuan rumah 'tersapu' banjir bandang dan longsor.

Banjir bandang dan longsor di awal tahun 2014 itu juga terjadi di Kabupaten Minahasa, Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan Kabupaten Kepulauan Sangihe. Terparah bencana di tahun tersebut adalah Kota Manado.

Sebagai praktisi hukum, saya menilai dalam tahun ke tahun sudah banyak yang dilakukan Pemerintah Daerah baik Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara maupun kabupaten dan kota untuk mengantisipasi bencana, terutama bencana banjir dan longsor. Namun kelemahannya ada pada penegakan hukum terhadap peraturan-peraturan yang ada.

Sebenarnya, hukum, peraturan perundang-undangan dan keputusan yang telah dibuat pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, sudah banyak yang bisa menjadi instrumen pencegah kerusakan lingkungan.

Banjir Manado Butuh Kerjasama Lintas Kabupaten
Banjir Manado Butuh Kerjasama Lintas Kabupaten (Istimewa)

Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan, instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas sejumlah elemen. Di antaranya, Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Baku Mutu Lingkungan (BML), AMDAL, UKL-UPL, perizinan, retribusi/pajak, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan termaksud di dalamnya peraturan daerah (Perda), analisa resiko lingkungan hidup dan instrument lainnya sesuai dengan kebutuhan setiap daerah. Kendala yang ada, aturan-aturan itu hanyalah aturan kaku yang penerapannya juga kaku alias payah penegakannya.

Saya fokus Kota Manado yang memang rapuh terjadinya bencana baik banjir maupun longsor. Mengapa ? Kota Manado dalam mengantisipasi banjir dan longsor tentu harus terintegrasi dengan Pemerintah Provinsi, serta Kabupaten Minahasa dan Kota Tomohon.

Sebab Kota Manado merupakan kota yang dilalui lima sungai yaitu: Sungai Bailang hulunya di Mapanget (melewati Kecamatan Mapanget, Bunaken), sungai Tondano hulunya di Minahasa(Melewati Minahasa, Kecamatan Paal Dua, Wenang dan Singkil), Sungai Tikala hulunya Sawangan, Minahasa (Melewati Sawangan, Kecamatan Paal Dua Tikala, Singkil dan Wenang), Sungai Sario hulunya di Tinoor, Tomohon (Melewati Kecamatan Wanea dan Sario), Sungai Malalayang hulunya di Winangun Sea (Melewati Bahu-Malalayang).

Tiga Hari Tertimbun Longsor, Siren Ontak Ditemukan Tim Gabungan Polri TNI dan Basarnas

Pandangan umum selalu menyatakan bahwa banjir yang terjadi rutin setiap tahun disebabkan oleh curah hujan tinggi. Lantas, mengakibatkan meluapnya sungai dan naiknya air laut.

Pendapat ini seakan menutup pemikiran bahwa salah satu penyebab banjir yang cukup relevan adalah menyempit dan dangkalnya sungai, sampah yang dibuang sembarangan tanpa terbangun kesadaran dari masyarakat, serta kurangnya resapan air akibat perkembangan pembangunan. Dan hal itu terjadi di Kota Manado.

Padahal Kota Manado berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dicantumkan bahwa Pemerintah daerah berwenang menyelenggarakan urusan wajib di bidang penataan ruang dan lingkungan hidup.

Sehingga telah dibuat beberapa Perda, yakni Perda No.1 tahun 2014 tentang RTRW (dalam revisi), Perda Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK), Perda IMB dan peraturan zoning yang digunakan sebagai pedoman dalam mengatur pemanfaatan kawasan di suatu wilayah terutama untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 tahun 2006 tentang pengelolaan sampah, di mana ruang lingkup wewenang meliputi pengaturan, perizinan dan penegakan hukum.

Tetapi apa lacur ? Penegakan hukum masih jauh yang diharapkan dari berlakunya Perda-perda tersebut.

Banjir Manado, Pengamat Minta Pemerintah dan Masyarakat Berbenah

Dalam praktik penyusunan AMDAL/UKL-UPL, dibutuhkan waktu dan biaya. Hal ini mendorong pemerintah daerah memberikan kemudahan berupa pemrosesan izin yang dibarengkan dengan penyusunan dokumen lingkungan tersebut. Kemudahan yang bertujuan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif telah mengubah tujuan dan konsep perlunya dibuatnya dokumen lingkungan.

Pembuatan dokumen lingkungan merupakan analisis terhadap rencana kegiatan yang akan memberikan dampak terhadap lingkungan. Sehingga, keberadaan dokumen lingkungan merupakan pertimbangan diterbitkannya izin. Sesuai dengan dokumen lingkungan, maka pemegang izin wajib memenuhi kewajiban sebagaimana dijanjikan dalam AMDAL/UKL-UPL.

Dengan demikian, jika pemegang izin melanggar kewajiban tersebut, maka dapat dilakukan upaya penegakan hukum akibat pelanggaran izin.

Apabila penyusunan AMDAL/UKL-UPL dibarengkan dengan pemrosesan izin, maka hal ini memberi peluang kewajiban pengelolaan dan pemantau lingkungan disusun secara umum dan penuangan dalam kewajiban pemegang izin juga sangat umum. Hal ini menimbulkan peluang terjadinya pelanggaran dan kesulitan bagi pengawasan dan penegakan hukum.

Ditambah dengan kebijakan perizinan yang menyebabkan kelemahan tercapainya tujuan izin sebagai instrumen pencegahan adalah di bidang pengawasan.

Wewenang pengawasan dan penegakan hukum dilakukan oleh SKPD teknis atau Polisi Pamong Praja. Kebijakan PTSP satu sisi memberikan kemudahan bagi masyarakat atau pengusaha dalam memperoleh izin. Di sisi lain, kebijakan yang membagi kewenangan pengawasan dan penegakan hukum memberikan kelemahan, khususnya di bidang penegakan hukum.

Kelemahan pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan oleh instansi yang berbeda akan terjadi apabila instansi pengawas tidak memiliki data yang akurat atas izin-izin yang telah diterbitkan. Hal ini terjadi akibat tidak adanya harmonisasi dan koordinasi bagi penerbit izin dan Polisi Pamong Praja.

Model Ini Tawarkan Foto Tanpa Busana, Bantu Donasi Kebakaran Hutan Parah di Australia

Sebagai contoh beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh pengembang perumahan yang belum membuat irigasi atau drainase atau membuat bangunan yang lebih tinggi dari ketentuan sering lepas dari pengawasan pemerintah daerah.

Hal ini akan diketahui setelah perumahan telah dihuni dan menyebabkan banjir bagi kawasan lain. Kondisi ini menjadi faktor eksternal yang mempengaruhi lemahnya penegakan hukum. Khususnya, penegakan hukum administrasi. Sehingga tak heran daerah resapan air di Kota Manado juga telah dirambah oleh pengembang dengan mengantongi izin dari pemerintah.

Lebih miris lagi, Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 tahun 2006 tentang pengelolaan sampah, yang memuat sanksi denda Rp 50 Juta dan kurungan badan selama 6 bulan adalah Perda yang "mati suri" alias tidak diterapkan sebagaimana semestinya.

Tak heran Kota Manado yang menjadi sentral pada tahun 2019 dinobatkan sebagai kota terkotor oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk kategori kota metropolitan.

Sehingga Kota Manado yang seharusnya jadi kota percontohan bagi pemerintah daerah di Sulawesi Utara, menurut penilaian saya lemah dalam penegakan hukum terutama terhadap sanksi dalam Perda-perda yang telah dibuat terutama untuk lingkungan hidup yang berdampak sama halnya bagi pemerintah kabupaten/kota lainnya di Sulut.

Akhir kata, sampah mudah ditemui, kesadaran masyarakat kota metropolitan jauh dari masyarakat yang sadar akan kebersihan lingkungan dan Pemerintah Kota Manado gagal dalam memberikan pemahaman tentang pentingnya melestarikan lingkungan hidup, hal terkecil tidak membuang sampah sembarangan dan pemerintah tak menerapkan sanksi secara tegas bagi siapa saja pelanggarnya. (*)

Perang Mulut Anies dan Pemerintah Pusat Tak Pantas Dipertotonkan, Jangan Debat di Atas Derita Rakyat

Sumber: Tribun Manado
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Ketika Penegak Jadi Pemeras

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved