Tajuk Tamu
Amas Mahmud: Masih Dapatkah Arus Balik Membalik Lagi?
Di kancah politik nasional pergerakan para elit kita yang begitu besar obsesinya menguasai Negara dan memperoleh kursi kekuasaan.
Penulis: Andrew_Pattymahu | Editor: Fransiska_Noel
Kondisi riil tersebut turut mempengaruhi rakyat, akibatnya rakyat menjadi curiga, jenuh dan ragu-ragu karena jalan yang dilalui belum mencapai tujuan akhirnya.
Tujuan akhir dari perjalanan sosial itu adalah diperolehlah keadilan, kesejahteraan, keamanan, kemerdekaan, dan kepastin hukum.
Melalui pengamatan keseharian kita, dimana generasi saat ini menemui kondisi yang serampangan akibat hantaman arus globalisasi. Kita seperti terus berada di persimpangan jalan, kapan peradaban kita kuat dan keluar dari harapan yang samar-samar?. Generasi yang serampangan itu lahir, karena tatanan nilai di eranya tidak lagi kokoh, rapuh, mereka mengalami transisi, sehingga kehilangan jati diri.
Eksodus budaya ikut melemahkan posisi rakyat. Tumbuhlah generasi serampangan, kepercayaan diri yang minim.
Tanpa kita sadari itu terjadi, mereka yang memiliki kultur kuat sulit terpengaruh. Selain itu, mereka yang kaya raya dan punya modal melimpah ruah pasti enteng-enteng saja mengakses perkembangan globalisasi (dunia virtual). Sayangnya, keadilan ekonomi itu tidak turut dirasakan rakyat yang berprofesi sebagai petani, nelayan, peternak yang modal usahanya pas-pasan.
Upaya Negara mewujudkan keadilan, membahagiakan rakyat malah akhirnya hanya menjadi ‘lip service’.
Berpikiran global, matang dan berpandangan multikultural sudah menjadi corak berpikir generasi kontemporer. Bedanya, generasi terdahulu punya nilai lebih karena mempunyai ketahanan, spirit juang
Tinggi, punya rasa solidaritas. Mereka tau memberi 3lter juga terhadap pengaruh paham asing, anti-virus dan punya daya imun yang cukup kuat. Mereka generasi sebelumnya sudah tau merancang bangun pikiran, bahkan di era Soekarno, Ha;a, Sjahrir dan Tan Malaka mereka merupakan kaum intelek, ideolog, arsitek, eksekutor serta panutan. Mempunya spesialisasi sendiri-sendiri, sehingga ketika mereka berkolaborasi kekuatan maka kejayaan perjuangan dengan mudah diraih.
Mereka memiliki keberanian tarung konseptual karena menjadi ‘kutu buku’.
Punya kemampuanideologis, bukan sekedar menjadi generasi ‘pengikut’. Tidak pasif dalam diplomasi politik, dialektika intelektual, mereka produktif, revolusioner, kemudian memiliki harapan serta mimpi-mimpi besar tentang kemajuan peradaban.
Di fase modern peluang mencari, mengumpulkan, mengakselerasi dan membumikan pikiran malah lebih mudah karena ditunjang sarana (instrument) yang memadai.
Kemalasan berusahalah yang membedakan kita. Loyalitas, etos kerja dan kesungguhan berusaha yang rupanya masih dibawa rata-rata yang membuat kita terus bermental inlander.
Kaku dalam hal menjadi mentor perubahan. Padahal kita punya segudang potensi, investiasi, power, stok dan amunisi pikiran kritis yang kuat. Kurang percaya diri itulah yang menjadi faktor terlemah dalam posisi kita mengejar ketertinggalan.
Arus balik akan membalik kalau pemerintah kita tetap fokus dan konsentrasi pada pembangunan. Tidak terlalu pusing berlebihan dengan pemindahan Ibu Kota Negara.
Membangun dengan segenap kekuatan sumber daya yang ada, maka dipaskan kemajuan Indonesia tercinta akan kita raih dengan senyuman kebanggaan.
Disemua bagian dan level pembangunan yang telah dilakukan Presiden Jokowi, harus terus dimaksimalkan, dilanjutkan dan dituntaskan. Jangan menjadi pemimpin penganut paham pembangunan ‘setengah hati’.
Melainkan menjadi pemimpin yang punya nafas pembangunan yang utuh. Pemerintah juga kita minta dapat menetralkan situasi gejolak kon/ik yang terjadi di Papua akibat isu SARA yang dibentur-benturkan, lalu diberitakan terus media massa. Kemudian, titik tolak pemerintahan saat ini telah dibuka sebelumnya di periode pertama yaitu pembangunan infrastruktur yang cukup menonjol.
Bagaimana pembangunan itu diperluas, dibuat pemerataan pembangunan.
Setelahnya lini kebijakan juga diarahkan pada kemakmuran rakyat. Pernah dalam satu momentum, Tan Malaka berujar bahwa selama masih ada satu musuh di tanah air, satu kapal musuh di pantai, kita harus tetap lawan. Itu tandanya, musuh kita dalam pembangunan sekarang telah dideteksi para pendahulu kita, dan mereka adalah kaum penjajah asset dan investasi kita. Agresi kepentingan asing segera dihentikan, terserah bagaimana caranya. (*)