Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tajuk Tamu Tribun Manado

Salah Kaprah Istilah Operasi Tangkap Tangan KPK

OTT yang dimaksud dalam kegiatan KPK, yaitu menunggu sampai terjadi adanya tindakan dan bukti yang terindikasi merupakan tindak pidana korupsi.

Tribun Batam - Tribunnews.com
Ilustrasi-logo-kpk-di-gedung-kpk 

Oleh:
Rochxy SH CLA
Legal Auditor & Advisor

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat, 28 Juni 2019. Dalam giat tersebut, KPK turut mengamankan dua jaksa dan Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

OTT KPK ini kembali menimbulkan polemik di publik dengan berbagai persepsi. Salah satunya mengenai persepsi bahwa KPK tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan OTT.

Persepsi yang menganggap KPK tidak memiliki dasar hukum melakukan OTT beralasan bahwa OTT tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, sama sekali tidak terdapat ketentuan yang mengatur tentang kewenangan KPK untuk melakukan OTT.

Begitu pun dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sama sekali tidak ditemukan ketentuan yang mengatur tentang istilah dan prosedur melakukan OTT. KPK sendiri dianggap tidak memiliki dasar hukum yang baku dalam yang berkaitan dengan OTT.

Baca: KPK Tetapkan Aspidum Kejati DKI Jakarta Sebagai Tersangka, Diduga Terima Suap Rp 200 Juta

Baca: Kejagung Minta KPK Koordinasi Sebelum OTT Jaksa

Dalam KUHAP, penyidik diberi kewenangan untuk melakukan pembatasan kebebasan dan kemerdekaan terhadap seseorang.

Pembatasan tersebut diberikan dalam bentuk wewenang untuk melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan.

Dikaitkan dengan OTT, menurut Pasal 1 angka 20 KUHAP, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Sedangkan pejabat yang berwenang melakukan penangkapan adalah penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan, serta penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan.

OTT memang tidak diatur dalam KUHAP maupun Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Istilah OTT ini baru muncul secara eksplisit dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.

Baca: KPK Ungkap Kepatuhan 9 Perwira yang Diusulkan Polri Jadi Capim KPK, Ini Daftar Kekayaan Mereka

Baca: Kasus Korupsi Pengadaaan KTP Eelektronik, KPK Panggil Dua Anggota DPR

Konsep OTT hanya merupakan istilah yang digunakan KPK yang setara dengan makna istilah ‟menangkap basah” pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Dalam Pasal 1 angka 19 KUHAP menyebutkan istilah tertangkap tangan, bahwa tertangkap tangan dilakukan pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan barang bukti.

Pemenuhan ketentuan tentang pada waktu sedang melakukan, segera sesudah melakukan, sesaat diserukan khalayak ramai, serta unsur sesaat kemudian padanya ditemukan barang bukti merupakan alternatif.

Sumber: Tribun Manado
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved