Opini
TNI di Persimpangan: Antara Rakyat dan Siber
Militer yang integritasnya dipertanyakan tidak hanya kehilangan kepercayaan publik, tetapi juga rentan terhadap disfungsi internal.
Modernisasi TNI tidak bisa dilepaskan dari transformasi budaya internal. Pendidikan dan pembinaan anggota harus sepenuhnya berbasis profesionalisme, disiplin, dan etika. Kekerasan internal, perploncoan, dan praktik intimidasi harus dihapus total karena menurunkan moral dan mencederai martabat manusia. Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility (1979) menegaskan bahwa setiap institusi memiliki kewajiban untuk bertindak demi keberlanjutan kehidupan; penerapan prinsip ini pada TNI berarti setiap tindakan harus mempertimbangkan dampak terhadap anggota, rakyat, dan bangsa secara keseluruhan. Reformasi internal seperti ini akan membentuk prajurit yang tanggap, cerdas, dan mampu menghadapi situasi kompleks tanpa mengandalkan dominasi fisik atau ketakutan.
Selain itu, profesionalisme TNI harus diperkuat melalui transparansi, akuntabilitas, dan antikorupsi. Praktik-praktik tersembunyi, penggunaan sumber daya militer untuk kepentingan politik atau proyek ekonomi, dan keterlibatan dalam kegiatan ilegal harus dihentikan. Militer yang integritasnya dipertanyakan tidak hanya kehilangan kepercayaan publik, tetapi juga rentan terhadap disfungsi internal yang mengganggu kesiapan strategis. Richard Sennett dalam Authority (1980) menekankan bahwa otoritas sejati muncul dari penghormatan dan kepercayaan, bukan dominasi atau intimidasi; prinsip ini mutlak berlaku bagi institusi militer modern.
Transformasi digital menjadi prasyarat strategis yang tak bisa diabaikan. Kemampuan pertahanan siber harus menjadi fokus utama TNI. Patroli siber, pengamanan jaringan, dan intelijen digital bukan hanya perlindungan infrastruktur, tetapi juga pencegahan terhadap infiltrasi ideologi, pencurian data, dan serangan terhadap sistem pemerintahan. Menurut Richard A Clarke dalam Cyber War (2010), perang abad ke-21 bergeser dari medan fisik menuju medan informasi, di mana negara yang tidak memiliki kapabilitas siber modern akan sangat rentan terhadap serangan. TNI harus mengembangkan drone, UAV, sistem satelit, dan teknologi AI untuk mendukung pengintaian, deteksi dini, serta pertahanan siber secara simultan.
Selain teknologi, strategi geopolitik juga harus menjadi bagian dari modernisasi. Indonesia sebagai negara kepulauan menghadapi tantangan unik: ancaman invasi fisik, perompakan, konflik wilayah laut, dan infiltrasi ideologi melalui media digital. Oleh karena itu, TNI harus memiliki pangkalan udara dan laut strategis yang terintegrasi dengan sistem pertahanan digital. Kemampuan ini harus mencakup pertahanan drone, sistem radar otonom, dan jaringan komunikasi yang aman untuk menjaga kedaulatan di seluruh Nusantara. Penguatan ini bukan hanya soal jumlah aset, tetapi efisiensi, integrasi, dan adaptasi terhadap skenario modern yang tidak dapat diprediksi.
Kolaborasi dengan lembaga sipil, akademisi, dan industri teknologi menjadi kunci keberhasilan modernisasi. TNI tidak bisa berjalan sendiri dalam menghadapi ancaman siber dan perang informasi. Kolaborasi ini akan memastikan transfer teknologi, pengembangan AI, dan inovasi alutsista modern yang relevan dengan kebutuhan strategis nasional. Visi TNI masa depan harus mengutamakan sinergi sipil-militer, di mana rakyat dan negara hukum tetap menjadi prioritas. Anthony Giddens menekankan bahwa institusi yang reflektif akan mempertahankan relevansi dengan meninjau praktik lama dan memodernisasi diri berdasarkan risiko baru; prinsip ini harus menjadi pedoman transformasi TNI.
Selain inovasi teknologi dan geopolitik, TNI harus menekankan humanisme dalam setiap kebijakan dan praktiknya. Hak asasi manusia, martabat anggota, dan perlindungan rakyat menjadi fondasi moral pertahanan. Emmanuel Levinas dalam Totality and Infinity (1961) menegaskan bahwa etika dimulai dari tanggung jawab terhadap “yang lain”; bagi TNI, ini berarti setiap keputusan strategis, operasi, atau pelatihan harus menghormati martabat anggota dan rakyat, bahkan musuh yang telah tunduk. Integrasi prinsip ini dalam budaya militer akan menghasilkan institusi yang kuat secara fisik, tetapi juga etis dan dipercaya.
Kesimpulannya, transformasi multidimensi, integritas moral, profesionalisme tinggi, modernisasi teknologi, dan adaptasi geopolitik yang cermat adalah kunci agar TNI menghadapi tantangan abad ke-21 secara efektif. Usia 80 tahun bukan sekadar angka, tetapi momentum refleksi kritis dan transformasi berkelanjutan untuk menjadikan TNI sebagai penjaga kedaulatan, pelindung rakyat, dan institusi yang relevan, etis, dan dihormati. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.