Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Solar Haram di Sulut: Tekad Gubernur vs Jaring Gelap Mafia

Instruksi Gubernur YSK tentang Satgas Mafia Solar bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan pernyataan etis – jika dijalankan dengan sungguh-sungguh.

Tribunmanado.com/Fernando Lumowa
DEMONSTRASI - Sopir dump truck menggelar unjuk rasa di Kantor DPRD Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Jalan Raya Manado Bitung, Kelurahan Kairagi I, Kecamatan Mapanget, Kota Manado, Senin (29/9/2025). Dalam tuntutan, mereka meminta pemerintah mengatasi kelangkaan agar tak ada lagi antrean berjam-jam di SPBU saat pengisian BBM solar subsidi. 

Oleh: Herkulaus Mety, S.Fils, M.Pd
Alumnus STF Seminari Pineleng dan IAIN Manado

TIDAK ada ruang bagi mafia solar di Sulawesi Utara. Saya sudah instruksikan Polda Sulut untuk membentuk Satgas Mafia Solar dan menindak tegas siapa pun yang terlibat.” Demikian pernyataan tegas Gubernur Sulut Yulius Selvanus Komaling (YSK) beberapa waktu lalu.

Kalimat itu menyulut harapan publik, namun sekaligus menantang realitas: mampukah pemerintah provinsi benar-benar membongkar jaring gelap ekonomi dan politik yang telah lama mengakar? Mafia solar bukan sekadar masalah kelangkaan bahan bakar. Ia adalah fenomena sosial, politik, ekonomi, hukum, dan moral yang kompleks, yang paling merugikan masyarakat kecil serta menggerogoti fondasi tata kelola daerah.

Jejak Panjang Jaringan Gelap Solar Sulut

Kasus penimbunan dan penyalahgunaan distribusi solar bersubsidi di Sulawesi Utara bukan hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, aparat beberapa kali menggagalkan penyelundupan solar bersubsidi dalam jumlah besar. Modusnya seragam: penggunaan truk tangki modifikasi berkapasitas ganda, pembelian berulang di SPBU oleh kendaraan “bayangan”, penimbunan di gudang tersembunyi, hingga aliran solar ke industri yang seharusnya tidak menerima subsidi.

Sayangnya, operasi penindakan sering hanya menyasar level “lapangan”— sopir, operator SPBU, atau pengecer kecil. Sementara aktor utama di balik jaringan penimbunan, distribusi ilegal, dan proteksi politik sering lolos dari jerat hukum. Inilah yang membuat publik skeptis: apakah Satgas Mafia Solar yang diinstruksikan Gubernur YSK kelak akan benar-benar mengusik “raja-raja kecil” di balik layar?

Ekonomi gelap seperti ini sering disebut sebagai shadow economy: aktivitas ekonomi yang nyata, tetapi beroperasi di luar kerangka hukum dan regulasi. Dalam konteks Sulut, jaringan mafia solar telah membentuk semacam “ekosistem gelap” yang kokoh: ada aliran modal, jaringan distribusi, proteksi oknum aparat, dan mekanisme keuntungan yang rapi. Begitu kuatnya ekosistem ini sehingga operasi hukum sesekali tidak pernah benar-benar menyentuh akar masalah.

Lenyapnya Moralitas Publik

Fenomena mafia solar adalah cermin keretakan etika publik. Dalam filsafat moral Immanuel Kant, hukum moral bersifat kategoris: “bertindaklah hanya menurut asas yang dapat menjadi hukum universal”. Penyimpangan solar subsidi jelas tidak bisa dijadikan prinsip universal — ia hanya menguntungkan segelintir orang sambil merugikan banyak pihak. Namun praktiknya tetap berlangsung karena norma moral publik melemah, dan kepentingan pribadi mengalahkan keadilan sosial.

Filsuf kontemporer Michel Foucault menekankan bahwa kekuasaan tidak hanya berada di puncak negara, tetapi juga bekerja dalam jaringan praktik sehari-hari (micro-power). Mafia solar bekerja justru dalam celah-celah ini: di SPBU kecil, dalam rutinitas “pengisian tangki”, dalam pembiaran aparat lokal, dan dalam ketidakpedulian birokrasi. Kekuasaan gelap menjadi banal, tidak spektakuler tapi efektif.

Pakar Etika Indonesia Franz Magnis-Suseno mengingatkan bahwa pejabat publik punya kewajiban moral ganda: tidak hanya taat hukum, tetapi juga menjaga keadilan sosial. Ketika pejabat lokal atau aparat justru menjadi bagian dari jaringan mafia, tanggung jawab moral publik mereka lenyap. Instruksi Gubernur YSK tentang Satgas Mafia Solar, dalam konteks ini, bukan sekadar kebijakan teknis, melainkan pernyataan etis – jika dijalankan dengan sungguh-sungguh.

Ketimpangan yang Dinormalisasi

Fenomena mafia solar menunjukkan bagaimana ketidakadilan struktural tercipta dan dipelihara. Sosiolog Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa praktik sosial membentuk dan memperkuat struktur dominasi. Antrean panjang di SPBU, jatah “istimewa” untuk pihak tertentu, atau kendaraan yang “selalu lolos” pemeriksaan bukan sekadar insiden; itu adalah praktik sosial yang meneguhkan struktur dominasi jaringan mafia.

Di satu sisi, masyarakat kecil – nelayan, petani, sopir angkutan umum – harus antre berjam-jam, bahkan kadang tidak mendapatkan jatah solar. Di sisi lain, oknum pengusaha dan aparat dengan mudah mengakses puluhan ribu liter solar subsidi. Ketimpangan akses ini menciptakan ketidakadilan sosial yang nyata dan memperlebar jurang ekonomi antarkelompok masyarakat di Sulut.

Lebih jauh lagi, ada normalisasi sosial: banyak warga yang menganggap penimbunan atau “main belakang” sebagai hal lumrah. “Kalau bukan mereka, orang lain juga,” menjadi pembenaran sehari-hari. Inilah yang disebut sosiolog sebagai mekanisme reproduksi sosial ketidakadilan – struktur bertahan bukan karena paksaan semata, tetapi karena dianggap “normal” atau biasa.

Tekad Gubernur sebagai Ujian Kepemimpinan

Dalam konteks politik lokal, keberadaan mafia solar juga memperlihatkan adanya ruang abu-abu antara bisnis gelap dan kekuasaan. Pengaruh ekonomi jaringan mafia bisa merembes ke arena politik daerah: melalui pendanaan politik, dukungan logistik, atau pengaruh terhadap aparat daerah. Gubernur YSK berada di persimpangan krusial. Ketika ia menginstruksikan Polda Sulut untuk membentuk Satgas Mafia Solar, ia bukan sekadar menjalankan kewajiban administratif, melainkan menguji keberanian politiknya.

Keberhasilan atau kegagalan pemberantasan mafia solar akan menjadi tolok ukur legitimasi politiknya di mata masyarakat. Jika hanya berhenti pada pernyataan retoris, publik akan memandangnya sama seperti pemimpin sebelumnya yang “keras di awal, redup di tengah”. Tetapi jika benar-benar ada langkah struktural – penindakan besar, transparansi publik, dan keberanian membongkar keterlibatan aparat – maka YSK bisa mencatatkan babak baru dalam politik energi Sulut.

Hukum Kuat, tapi Lemah dalam Penegakan

Secara normatif, kerangka hukum untuk menindak mafia solar sudah jelas. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan peraturan turunannya mengatur sanksi bagi penimbunan, penyalahgunaan distribusi, dan penyelundupan BBM bersubsidi. Namun yang lemah adalah penegakan hukum, bukan aturan.

Pakar tata kelola Susan Rose-Ackerman dalam Corruption and Government (1999) menjelaskan bahwa korupsi dan praktik ilegal tumbuh bukan karena kekurangan hukum, melainkan karena lemahnya lembaga penegak. Di Sulut, sering kali bukti rusak, kasus mandek, atau bahkan pelaku “besar” tidak tersentuh. Intervensi politik lokal, jaringan patronase, dan keterlibatan oknum aparat menjadi faktor penghambat.

Oleh sebab itu, Satgas Mafia Solar yang diinstruksikan Gubernur YSK harus memiliki dasar hukum yang kuat, koordinasi lintas lembaga (Polda, Kejaksaan, BPH Migas, Inspektorat Daerah), serta mekanisme pengawasan publik. Tanpa itu, Satgas hanya akan menjadi “tim pencitraan” tanpa taring.

Kejahatan yang Dinormalisasi

Fenomena mafia solar tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga kultural dan psikologis. Banyak pelaku kecil yang terlibat bukan karena ambisi besar, melainkan karena mereka tumbuh dalam kultur di mana praktik ilegal sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. James C. Scott dalam Weapons of the Weak (1985) menyebut fenomena ini sebagai “perlawanan sehari-hari”: individu yang merasa sistem tidak adil, lalu melakukan praktik-praktik kecil untuk bertahan. Namun, dalam konteks mafia solar, praktik kecil ini dimanfaatkan oleh aktor besar untuk membangun jaringan ekonomi gelap.

Antropolog Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973) menyoroti bahwa kebudayaan bukan sekadar nilai, melainkan jaringan makna yang membentuk tindakan. Dalam budaya lokal tertentu, praktik “titip jeriken” atau “jual kembali sedikit” bukan dianggap kejahatan, melainkan kelaziman. Akibatnya, batas antara legal dan ilegal menjadi kabur secara sosial.

Untuk membongkar jaringan mafia solar, pemerintah tidak hanya harus menindak, tetapi juga menggeser budaya ini melalui pendidikan moral, kampanye publik, dan keteladanan aparat. Ini tugas berat yang tidak bisa selesai dengan razia seminggu.

Distorsi Pasar dan Kerugian Daerah

Secara ekonomis, bocornya solar subsidi ke pasar gelap menyebabkan kerugian ganda. Pertama, kerugian fiskal: subsidi yang seharusnya membantu masyarakat kecil justru mengalir ke kantong pengusaha nakal. Kedua, kerugian ekonomi produktif: sektor nelayan, pertanian, dan transportasi rakyat terhambat oleh kelangkaan dan harga tinggi. Ketiga, distorsi pasar: pelaku usaha jujur tidak bisa bersaing dengan jaringan ilegal yang mendapat bahan bakar murah dalam jumlah besar.

Ekonom Joseph E. Stiglitz (2002) menekankan bahwa korupsi dan monopoli lokal menyebabkan inefisiensi pasar, menurunkan daya saing daerah, dan menghambat investasi. Sementara Hernando de Soto (2000) menjelaskan bahwa ekonomi bayangan berkembang ketika regulasi formal terlalu lemah atau tidak dipercaya. Mafia solar adalah cermin ketidakmampuan negara mengelola sumber daya vital dengan efektif.

Bagi Sulut, yang mengandalkan sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata, kelangkaan solar bersubsidi menjadi hambatan struktural pembangunan ekonomi daerah. Biaya logistik meningkat, distribusi barang terganggu, dan daya beli masyarakat tergerus.

Antara Tekad dan Risiko Politik

Dalam dinamika pemberantasan mafia solar, posisi Gubernur Yulius Selvanus Komaling (YSK) sangat sentral. Ketegasannya untuk menginstruksikan Polda Sulut membentuk Satgas Mafia Solar telah memunculkan resonansi politik sekaligus ekspektasi publik. Bagi masyarakat, sikap itu adalah angin segar – akhirnya ada pemimpin daerah yang mau bicara terbuka soal mafia energi.

Namun, kita perlu jujur: langkah YSK bukan tanpa risiko. Mafia solar memiliki jejaring kuat, bukan hanya di level ekonomi, tetapi juga politik. Mereka bisa saja melakukan perlawanan balik, termasuk tekanan ekonomi terhadap pemerintah daerah atau manuver politik menjelang momentum elektoral. Di sinilah ketegasan gubernur diuji – apakah ia konsisten berdiri di sisi rakyat, atau menyerah di hadapan kekuatan oligarki energi gelap.

Menurut ilmuwan politik Robert Dahl dalam Polyarchy (1971), demokrasi hanya bisa bekerja bila ada persaingan yang fair dan transparansi dalam distribusi sumber daya. Jika sumber daya vital seperti energi dikuasai mafia, maka ruang demokrasi daerah ikut tercemar. Tekad YSK melawan mafia solar, dengan demikian, bukan hanya urusan ekonomi, melainkan juga soal kualitas demokrasi lokal.

Tantangan Satgas Mafia Solar: Dari Retorika ke Aksi

Pembentukan Satgas tentu saja langkah maju. Namun sejarah menunjukkan, banyak satgas di Indonesia yang berakhir hanya sebagai etalase politik. Tanpa independensi, transparansi, dan keberanian, Satgas Mafia Solar Sulut akan terjebak pada retorika.

Setidaknya ada tiga tantangan utama:

1. Independensi aparat penegak hukum 

Satgas tidak boleh dikuasai oleh kepentingan politik jangka pendek. Ia harus memiliki integritas, melibatkan unsur pengawasan eksternal, bahkan melibatkan akademisi atau lembaga masyarakat sipil.

2. Transparansi data distribusi solar

Mafia tumbuh karena distribusi tidak transparan. Berapa kuota BBM per SPBU? Berapa realisasi harian? Tanpa sistem digital yang bisa diakses publik, sulit memberantas penyimpangan.

3. Perlindungan saksi dan whistleblower

Banyak informasi soal mafia solar justru datang dari “orang dalam” atau masyarakat. Jika mereka tidak mendapat perlindungan hukum, sulit mengharapkan ada yang berani bersuara.

Satgas yang hanya menggelar razia rutin tanpa menyentuh aktor besar hanyalah kosmetik. Sebaliknya, Satgas yang berani mengungkap “nama besar” akan mencatat sejarah baru.

Jalan Panjang Reformasi Energi Daerah

Untuk membasmi mafia solar secara serius, ada sejumlah kebijakan strategis yang perlu ditempuh:

a) Jangka Pendek

Digitalisasi distribusi BBM dengan sistem fuel card atau QR code yang terkoneksi ke Kementerian ESDM dan Pertamina.

Razia terpadu dengan target bukan hanya operator SPBU, melainkan juga gudang penimbun dan jaringan distribusi ilegal.

Publikasi data kasus secara berkala untuk menghindari kesan “kasus ditutup di tengah jalan”.

b) Jangka Menengah

Restrukturisasi SPBU bermasalah: cabut izin SPBU yang terbukti berulang kali terlibat penyelewengan.

Evaluasi kuota solar subsidi berbasis data kebutuhan riil nelayan, petani, dan transportasi publik di Sulut.

Penguatan koordinasi lintas lembaga: Polda, Kejaksaan, BPH Migas, serta Ombudsman.

c) Jangka Panjang

Transisi energi: mendorong penggunaan energi alternatif untuk transportasi dan perikanan, agar ketergantungan pada solar subsidi berkurang.

Pendidikan publik tentang etika energi: kampanye bahwa solar subsidi adalah hak rakyat kecil, bukan komoditas untuk diperdagangkan gelap.

Reformasi birokrasi perizinan dan distribusi agar lebih sederhana dan minim celah korupsi.

Pakar ekonomi kelembagaan Douglass North dalam Institutions, Institutional Change and Economic Performance (1990) menegaskan: perubahan jangka panjang hanya bisa tercapai bila ada reformasi kelembagaan. Satgas hanyalah pintu masuk; yang lebih penting adalah membangun sistem energi daerah yang transparan dan akuntabel.

Harapan Masyarakat Kecil

Mengapa pemberantasan mafia solar penting? Karena dampaknya langsung terasa di akar rumput. Nelayan di Minahasa Utara, misalnya, mengeluh harus membeli solar eceran dengan harga hampir dua kali lipat dari harga subsidi. Sopir truk dan angkot di Manado sering antre berjam-jam, kehilangan penumpang, dan tetap harus setor ke pemilik kendaraan. Petani di Bolaang Mongondow terlambat memompa air karena solar langka.

Setiap liter solar yang bocor ke mafia adalah liter yang hilang dari perut rakyat kecil. Amartya Sen, ekonom peraih Nobel, menekankan bahwa pembangunan bukan hanya soal angka makroekonomi, tetapi tentang capability – kemampuan nyata orang untuk hidup layak. Mafia solar secara langsung merampas capability masyarakat Sulut untuk bekerja, berproduksi, dan bertahan.

Dari sisi ekonomi daerah, distorsi solar menyebabkan biaya logistik naik, daya saing turun, dan investasi terganggu. Ketika kepercayaan publik terhadap distribusi energi runtuh, iklim usaha pun ikut tercemar.

Perlu Revolusi Kesadaran

Selain hukum dan kebijakan, ada satu hal mendasar: revolusi kesadaran. Masyarakat Sulut perlu sadar bahwa membeli atau menjual solar subsidi secara ilegal bukan sekadar “cari makan tambahan”, tetapi tindakan yang merugikan orang banyak.

Budaya permisif terhadap “main belakang” harus diubah. Nilai solidaritas lokal – mapalus dalam budaya Minahasa, atau momondo dalam tradisi Bolaang Mongondow – harus direvitalisasi untuk membangun etika publik. Energi murah harus dipandang sebagai milik bersama yang harus dijaga, bukan direbut oleh segelintir orang.

Pakar antropologi hukum Sally Falk Moore dalam Law as Process (1978) menyebut bahwa hukum akan gagal bila tidak selaras dengan norma budaya masyarakat. Artinya, pemberantasan mafia solar harus diiringi dengan narasi budaya lokal: bahwa menimbun solar berarti mengkhianati mapalus – semangat kebersamaan.

Peran Masyarakat Sipil dan Media

Tidak ada perang melawan mafia solar yang berhasil tanpa keterlibatan masyarakat sipil dan media. Organisasi masyarakat perlu menjadi pengawas distribusi solar. Media harus berani meliput, bukan sekadar mengutip siaran pers aparat. Akademisi dapat menyediakan riset tentang pola distribusi energi di Sulut.

Transparansi publik adalah senjata utama melawan mafia. Di era digital, laporan warga bisa menjadi mekanisme kontrol sosial. Jika masyarakat berani bersuara, dan pemerintah mendengarkan, jaringan gelap akan sulit beroperasi.

Melawan Gelap dengan Terang

Pernyataan Gubernur YSK untuk membentuk Satgas Mafia Solar adalah titik terang di tengah gelapnya ekonomi bayangan Sulut. Tetapi terang itu hanya akan bermakna bila berlanjut dengan aksi nyata, konsisten, dan berani menabrak kepentingan besar.

Kita perlu ingat, mafia solar bukan hanya masalah ekonomi, melainkan masalah moral dan keadilan. Ia merampas hak nelayan, petani, sopir angkot, bahkan merusak kepercayaan publik pada hukum dan negara. Pemberantasannya membutuhkan hukum yang kuat, politik yang berani, budaya yang jujur, dan masyarakat yang peduli.

Dalam bahasa filsafat, ini adalah ujian bagi ethos publik kita. Apakah kita membiarkan energi bersama dirampas oleh segelintir orang, ataukah kita berani memperjuangkan agar solar subsidi benar-benar sampai ke yang berhak?

Gubernur YSK telah menyalakan api kecil perlawanan. Kini api itu harus dijaga agar tidak padam. Tugas kita semua – pemerintah, aparat, media, akademisi, dan masyarakat – adalah memastikan api kecil itu menjelma menjadi cahaya terang yang menghalau gelapnya mafia solar di Sulawesi Utara. (*)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved