Opini
Bayang-Bayang Seragam di Panggung Sipil
Gus Dur pernah berkata dengan nada jenaka namun tajam: “Militer itu seringkali seperti anak kecil. Kalau tidak dikasih mainan, dia bisa marah.”
Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1977) menggambarkan bahwa kekuasaan modern bekerja bukan hanya dengan represi fisik, tetapi dengan pengawasan dan disiplin tubuh. Militer yang kini masuk ke ruang digital lewat patroli cyber melanjutkan logika foucauldian: rakyat bukan hanya diawasi, tetapi juga diarahkan untuk tunduk pada norma negara.
Ketakutan sebagai Normalitas
Franz Magnis Suseno dalam Etika Politik (1999) memperingatkan: “Otoritarianisme adalah penyakit yang selalu mengintai, dan ia bisa kembali kapan saja bila masyarakat lengah.” Trauma masa lalu kini bangkit dalam wujud baru: militerisasi ruang sipil dan digital.
Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019) menguraikan bagaimana pengawasan permanen membuat manusia kehilangan spontanitas. “Masyarakat yang terus diawasi akhirnya kehilangan kebebasan,” tulis Zuboff. Bila militer mengambil alih fungsi patroli cyber, maka ketakutan itu bukan lagi sekadar psikologis, melainkan juga struktural.
Kemunduran Demokrasi dan Ancaman Reformasi
Bung Karno berpesan: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” (Soekarno, Pidato Jas Merah, 17 Agustus 1966). Reformasi 1998 lahir dari penolakan terhadap dominasi militer dalam politik. Namun, dengan UU Nomor 3 Tahun 2025, kita seakan mundur ke titik nol, mengulang sejarah kelam yang ingin kita tinggalkan.
Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014) menulis bahwa demokrasi bisa runtuh ketika institusi gagal beradaptasi dengan tuntutan akuntabilitas. Kembalinya militer ke ranah sipil adalah contoh kemunduran institusional, di mana negara gagal menegakkan supremasi sipil.
Judith Butler dalam Precarious Life (2004) mengkritisi logika keamanan negara yang sering dijadikan dalih untuk mengekang kebebasan. “Atas nama keamanan,” tulis Butler, “negara justru menciptakan kondisi permanen ketidakamanan bagi warganya.”
Masalah UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI
UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI menjadi sorotan karena memberi ruang lebih besar bagi militer untuk ikut serta dalam penanganan masalah sipil, termasuk keamanan dalam negeri dan keamanan siber. Padahal, konstitusi dan semangat reformasi menegaskan supremasi sipil atas militer.
Buya Syafi’i Ma’arif menegaskan: “Kalau hukum tidak lagi menjadi panglima, maka bangsa ini sedang berjalan menuju kehancuran” (Ahmad Syafi’i Ma’arif, Membumikan Islam, 2002).
Secara filosofis, hukum yang sehat harus memastikan pembagian kewenangan secara proporsional. Namun, dalam logika Jacques Rancière, hukum demokrasi justru hidup dari dissensus – kebebasan rakyat untuk menantang negara. Dengan UU ini, hak rakyat untuk berbeda suara berpotensi dibungkam atas nama stabilitas.
Rakyat Bukan Musuh
Gus Dur menegaskan: “Negara harus hadir untuk semua, bukan menakuti rakyatnya sendiri” (Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, 1999). Negara yang mengedepankan militerisasi sipil berarti memperlakukan rakyat sebagai musuh, bukan sebagai subjek yang harus dilindungi.
Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999) menulis: “Kebebasan bukan hanya tujuan pembangunan, tetapi juga cara mencapainya.” Kebebasan sipil adalah syarat bagi bangsa untuk maju. Menutup ruang kebebasan hanya akan membuat pembangunan kehilangan arah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.