Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Saatnya Pendidikan Kita Berbasis Cinta, Bukan Sekadar Logika

Kita terlalu terpaku pada logika untung rugi, terlalu fokus pada efisiensi dan produktivitas, hingga mengabaikan sisi-sisi lembut kemanusiaan.

Dokumen IAIN Manado
Arhanuddin Salim. Dosen IAIN Manado 

Oleh: Arhanuddin Salim
Dosen IAIN Manado

KETIKA Menteri Agama RI, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) di Asrama Haji Sudiang Makassar pada Kamis, 24 Juli 2025 , saya merasa ini bukan sekadar peluncuran kurikulum baru.

Ini adalah ajakan mendalam untuk mereformasi cara kita memandang pendidikan. Bukan hanya sebagai proses intelektual, tetapi sebagai proses penyucian batin dan penumbuhan rasa kemanusiaan yang mendalam.

Dalam pidatonya, Menteri Agama menyampaikan bahwa cinta adalah anugerah terbesar Tuhan, melintasi batas agama dan keyakinan.

Namun sayangnya, cinta selama ini absen dalam sistem pendidikan kita. Kita terlalu sibuk menyusun rumus dan mengukur capaian kognitif, tapi lupa bahwa peserta didik adalah manusia, bukan mesin.

Pendidikan yang hanya mengejar nilai, ijazah, dan capaian statistik telah kehilangan jiwanya.

Menumbuhkan Rasa dalam Sistem Pendidikan

KBC hadir sebagai kritik tajam terhadap pendidikan yang terlalu logos minded.

Kita terlalu terpaku pada logika untung rugi, terlalu fokus pada efisiensi dan produktivitas, hingga mengabaikan sisi-sisi lembut kemanusiaan seperti empati, kontemplasi, dan penghayatan spiritual.

Akibatnya, kita menyaksikan berbagai krisis: intoleransi, kekerasan atas nama agama, kerusakan alam, dan hilangnya rasa hormat terhadap kehidupan itu sendiri.

Baca juga: 5 Fakta Perampokan Tambang Ratatotok Mitra, Para Pelaku Datang Seperti Ninja dan Bawa Emas di Karung

Menteri Agama mengingatkan bahwa semesta ini adalah tajalli, penyingkapan wajah Tuhan, sebagaimana diajarkan oleh Ibnu Arabi.

Namun dunia modern telah mengalami de-sakralisasi. Tidak ada lagi ruang singgah bagi perasaan.

Semua serba mekanikal, dihitung secara statistik, dan dikendalikan oleh algoritma keuntungan.

Bahkan rutinitas ibadah pun kehilangan makna, menjadi kegiatan tanpa isi karena kering dari cinta.

Dalam konteks ini, KBC bukan sekadar metode pembelajaran baru, tetapi visi besar: bagaimana menjadikan cinta sebagai fondasi pendidikan.

Bukan cinta yang sentimental atau romantik, tetapi cinta yang transformative yang memanusiakan manusia dan menyambungkan kembali kita dengan Tuhan dan semesta.

Bayangkan jika kampus bisa berasa seperti masjid (baca; tempat ibadah): tempat menenangkan hati, membangun kejujuran, dan merawat kesadaran spiritual.

Bayangkan jika pasar pun bisa terasa seperti masjid (baca: tempat ibadah) penuh etika, keadilan, dan rasa tanggung jawab.

Tapi hari ini, yang terjadi justru sebaliknya: masjid baca: tempat ibadah) kadang terasa seperti pasar, gaduh, dan kehilangan keteduhan.

Algoritma Cinta, Bukan Kompetisi Buta

Pendidikan agama yang sejatinya menjadi jantung moralitas, sering kali hanya diajarkan sebagai daftar kewajiban ritual, bukan pengalaman mencintai Tuhan.

Maka benar kata Menteri Agama: “kita perlu menciptakan algoritma baru yaitu sistem pendidikan yang menyentuh batin, membangkitkan cinta, dan menjadikan peserta didik sebagai pencinta-bukan hanya penghafal”.

Kurikulum Berbasis Cinta adalah ajakan untuk kembali ke hakikat pendidikan: menumbuhkan manusia seutuhnya.

Ia tidak bertentangan dengan akal sehat, tetapi menyempurnakannya dengan rasa.

Ia tidak anti-teknologi, tapi mengingatkan bahwa algoritma yang kita bangun harus berpihak pada kasih sayang, bukan hanya pada efisiensi dan kompetisi.

Baca juga: Breaking News: Raski Mokodompit Dilantik, Rekor 4 Periode Duduk di DPRD Sulawesi Utara

Pendidikan yang baik bukan hanya menghasilkan orang pintar, tetapi juga orang baik.

Orang yang bisa menghargai perbedaan, menjaga lingkungan, menghormati sesama, dan mencintai Tuhannya.

Inilah harapan dari KBC: kurikulum yang tidak hanya mencetak lulusan unggul, tetapi juga manusia yang utuh.

Indonesia sesungguhnya punya kekayaan besar dalam tradisi spiritual, budaya toleransi, dan nilai-nilai luhur.

Kita hanya perlu menjahit ulang semuanya dalam bingkai cinta. Dan cinta, seperti kata Menteri Agama, adalah “kesadaran universal”.

Maka saatnya pendidikan kita kembali ke pangkuan cinta—sebelum semuanya menjadi kering dan kehilangan makna. Wallahu ‘a’lam. (*)

 

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved