Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sangihe Sulawesi Utara

Sosok Celline Army Sandil, Bawa Semangat dalam Pendidikan Non-formal di Kepulauan Sangihe

"Saya merasa cocok dengan sistem perkuliahan yang fleksibel, yang memberi peluang untuk tetap bekerja dan mengabdi,” katanya.

Dok. Pribadi
TONAL - Celline Army Sandil (26). Ia merupakan aktivis sekaligus pengajar di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. 

TRIBUNMANADO.CO.ID, SANGIHE - Seorang perempuan bernama Celline Army Sandil (26) memilih tak hanya menyaksikan keterbatasan pendidikan di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.

Sejak mendirikan Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) Sangihe Learning Center pada 2020, Celline membawa semangat baru dalam pendidikan non-formal di daerah kepulauan.

Lembaga ini menjadi tempat kursus terkemuka di Sangihe, menawarkan beragam program mulai dari Bahasa Inggris, Sempoa, Komputer, hingga Bimbingan Minat Belajar Anak (Bimba) untuk membaca, menulis, dan berhitung (calistung).

“Bagi saya, ini bukan hanya soal membuka tempat kursus. Ini tentang menyediakan ruang belajar bagi mereka yang selama ini tak punya akses,” ujar Celline saat ditemui di Tahuna, Sabtu (21/6/2025).

Semangat keberpihakannya pada masyarakat terlihat jelas.

Ia membuka kelas-kelas khusus bagi anak-anak dari keluarga prasejahtera yang bisa membayar biaya kursus dengan botol plastik bekas.

Gagasan sederhana itu menjelma menjadi gerakan sosial dan sekaligus memperkenalkan praktik eco-living kepada generasi muda.

Tak berhenti di situ, Celline juga menggagas Green Corner Sangihe Learning Center, sebuah komunitas lingkungan yang kini memproduksi ecoenzym dan dijalankan oleh sejumlah mahasiswa dari perguruan tinggi swasta di Sangihe.

Inisiatif ini memperluas cakupan misi lembaga dari pendidikan, kini juga merambah isu keberlanjutan.

Sebagai perempuan yang memimpin lembaga pendidikan sekaligus aktivis lingkungan, Celline menyadari tantangan yang harus dihadapinya.

Celline Army Sandil (26)
TONAL - Celline Army Sandil (26). Ia merupakan aktivis sekaligus pengajar di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.

“Stereotip gender dan beban ganda itu nyata. Tapi saya percaya, ketika perempuan diberi ruang dan dukungan yang sehat, kita bisa menembus batas itu,” ujarnya.

Celline juga menekankan pentingnya kehadiran perempuan dalam kepemimpinan.

Ia mengutip temuan McKinsey dalam laporan tahun 2018–2021 yang menunjukkan bahwa organisasi yang dipimpin perempuan cenderung lebih sehat secara struktur, lebih adil dalam pengambilan keputusan, dan lebih inklusif terhadap keberagaman.

“Perempuan terbiasa melihat dari banyak sisi, logika dan empati bekerja bersama. Ini yang membuat keputusan perempuan seringkali lebih komprehensif,” katanya.

Sebelum dikenal sebagai pelopor pendidikan, Celline lebih dulu bergerak sebagai aktivis lingkungan.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved