Opini
Laporan Rapi, Sistem Rapuh : WTP dan Akuntabilitas yang Tertinggal di Minahasa Tenggara
Ada tiga persoalan besar yang berakar pada lemahnya pengendalian intern dan kelonggaran dalam penegakan aturan.
Penulis: Nielton Durado | Editor: Rizali Posumah
Oleh: Ardiansyah ASN Pemkab Mitra dan Mahasiswa Magister Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
Anggaran daerah sering kali dipresentasikan dengan kalimat-kalimat penuh optimisme: pembangunan terus digenjot, penguatan layanan dasar, dan komitmen transparansi.
Namun dibalik narasi tersebut, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra) Tahun 2023 menampilkan kenyataan lain yang lebih getir.
Pekerjaan selesai hanya diatas kertas, pembayaran penuh tetap dilakukan, dan kas daerah kehilangan potensi penerimaan yang seharusnya bisa digunakan untuk kesejahteraan publik.
Tiga Masalah Utama dalam temuan
Dalam resume resmi pemeriksaan yang dimuat pada halaman 378 dokumen BPK LHP Kabupaten Minahasa Tenggara (2024), tergambar dengan terang bahwa ada tiga persoalan besar yang berakar pada lemahnya pengendalian intern dan kelonggaran dalam penegakan aturan.
Ironisnya, seluruh kondisi ini berlangsung ditengah predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang kembali diraih oleh Kabupaten Minahasa Tenggara
Di mana hal ini kemudian menunjukkan bahwa kualitas pengelolaan anggaran belum tentu tercermin utuh dalam label audit yang tampak bersih di permukaan.
Tiga temuan utama dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Badan Pemeriksa Keuangan RI (2024) tersebut antara lain :
Pertama, penggunaan langsung dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari Bank SulutGo dilakukan tanpa melalui mekanisme resmi keuangan daerah.
Praktik ini melewati sistem akuntabilitas publik dan membuka ruang bagi penggunaan anggaran diluar kendali rakyat.
Kedua, terdapat tujuh kontrak putus pada Dinas PUPR dengan nilai total lebih dari Rp 4 miliar.
Namun hingga akhir tahun anggaran, jaminan uang muka dan jaminan pelaksanaan belum juga dicairkan ke kas daerah.
Ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan bentuk nyata pembiaran atas potensi kerugian keuangan daerah.
Ketiga, keterlambatan pelaksanaan pekerjaan pada sembilan paket kegiatan, baik belanja modal maupun belanja barang dan jasa, tidak disertai dengan pengenaan denda sebagaimana mestinya.
Tanpa sanksi, kontrak menjadi tak lebih dari dokumen formalitas yang bisa dilanggar tanpa konsekuensi.
Dari Gedung Sekolah Sampai Jalan Lingkungan
Masalah-masalah sistemik itu menampakkan dirinya dalam pelaksanaan proyek di lapangan.
Misalnya pada pembangunan ruang laboratorium komputer dan rehabilitasi laboratorium IPA di dua SMP di Ratahan, pekerjaan telah dibayar lunas.
Namun volume realisasi tidak sesuai dengan kontrak.
BPK mencatat kelebihan pembayaran sebesar Rp 43 juta.
Ini bukan angka kecil jika dikalikan dengan praktik serupa di banyak titik lainnya.
Kasus lain muncul dalam pembangunan jaringan irigasi sekunder di Kecamatan Belang.
Volume fisik pada item galian saluran tanah dan pasangan batu tidak sesuai dengan spesifikasi, tapi pembayaran telah dilakukan penuh.
Ini bukan sekadar inefisiensi; ini pengabaian terhadap hak rakyat atas pembangunan yang benar.
Begitu pula dengan proyek peningkatan jalan lingkungan di Desa Buku Selatan dan Kalait.
Laporan progres menyebut pekerjaan tuntas, namun hasil fisik tidak mencerminkan itu.
BPK menemukan kelebihan pembayaran senilai Rp 27 juta lebih.
Jalan yang seharusnya jadi urat nadi ekonomi desa, justru menjadi saksi bisu dari pemborosan anggaran.
BPK Sudah Bicara, Lalu Apa?
Laporan BPK ini tidak berdiri tanpa dasar.
Pemeriksaan dilakukan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.
Dalam Pasal 9 UU 15/2004 ditegaskan bahwa pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan paling lambat 60 hari setelah laporan diterima.
Namun yang sering terjadi adalah laporan selesai, publik lupa, dan elite tertawa.
Padahal, temuan seperti jaminan proyek yang tidak dicairkan dan denda yang tidak ditagih adalah bentuk nyata kelalaian yang bisa menimbulkan kerugian daerah.
Jika ini dibiarkan, maka pemeriksaan BPK hanya menjadi rutinitas tahunan tanpa daya perbaikan.
Inilah saatnya fungsi pengawasan DPRD diuji.
Temuan BPK seharusnya jadi pintu masuk evaluasi kinerja eksekutif, bukan sekadar dibahas dalam sidang lalu dilupakan.
Tanpa tekanan politik dan sosial, tidak akan ada perbaikan birokrasi.
Perlu ada mekanisme pelaporan publik yang mengikat, serta tindakan nyata dari aparat penegak hukum jika rekomendasi BPK tidak ditindaklanjuti.
Akuntabilitas Tak Cukup diatas Kertas
Setiap lembar laporan BPK seharusnya dibaca dengan kacamata rakyat.
Bukan sekadar soal angka, tapi tentang layanan publik yang tak berjalan, infrastruktur yang mangkrak, dan keuangan daerah yang tak berpihak pada kebutuhan nyata masyarakat.
Di sinilah terlihat bahwa akuntabilitas publik tak cukup ditegakkan hanya melalui dokumen pemeriksaan tahunan.
Din et al. (2022) dalam jurnalnya Governance of Financial Management and Regulation-Based Fiscal Accountability menyebut bahwa akuntabilitas fiskal tidak akan berjalan efektif tanpa tiga pilar utama: kapasitas kelembagaan, keberpihakan kebijakan, dan keterlibatan aktor politik.
Artinya, laporan rapi dan kepatuhan prosedural bukanlah jaminan substansi pemerintahan yang bersih.
Jika pelaksana kebijakan tak serius memperbaiki kelemahan regulatif dan kontrol internal, maka praktik buruk akan terus berulang meski daerah berkali-kali mendapat predikat WTP.
Sementara itu, Friedman et al. (2022) dalam studinya mengenai sistem sanksi dalam pengawasan publik menegaskan bahwa akuntabilitas sejati memerlukan efek jera yang nyata.
Ia menyoroti bahwa banyak institusi pemeriksa tidak memiliki daya paksa untuk menindak temuan, apalagi jika sistem hukumnya permisif dan elite lokal memiliki kekebalan informal.
Dalam konteks Minahasa Tenggara, fakta bahwa kontrak putus tidak diikuti pencairan jaminan atau bahwa keterlambatan pekerjaan tidak dikenai denda, adalah contoh konkret dari lemahnya efek korektif atas pelanggaran.
Kedua studi tersebut menunjukkan bahwa perbaikan sistem harus dimulai dari keberanian politik untuk memberi sanksi, memperkuat kelembagaan audit internal, dan melibatkan masyarakat dalam pemantauan anggaran secara terbuka.
Tanpa itu semua, kita hanya mencatat kerusakan tahun demi tahun dan mempercantik laporan sambil membiarkan sistemnya tetap rapuh.
Gedung telah dibayar, jalan sudah diperbaiki—setidaknya di atas kertas.
Tapi mengapa rakyat tak merasa? Karena akuntabilitas sejati bukan soal format laporan, tapi keberanian menindak, memperbaiki, dan memastikan uang publik kembali ke tangan publik.
Dan selama itu belum terjadi, maka Wajar Tanpa Pengecualian hanyalah kosmetika administratif belaka—laporan yang rapi menutupi sistem yang rapuh.
Jalan sudah diperbaiki—setidaknya di atas kertas. Tapi mengapa rakyat tak merasa? Karena akuntabilitas sejati bukan soal format laporan, tapi keberanian menindak, memperbaiki, dan memastikan uang publik kembali ke tangan publik.
Dan selama itu belum terjadi, maka Wajar Tanpa Pengecualian hanyalah kosmetika administratif belaka, yang ujugnya hanya bermuara pada "laporan yang rapi menutupi sistem yang rapuh”.
*Referensi
Din, M., Munawarah, M., Ghozali, I., Achmad, T., & Karim, F. (2022). Governance of Financial Management and Regulation-Based Fiscal Accountability. Journal of Governance and Regulation, 11(2), 116–123.
https://doi.org/10.22495/jgrv11i2art10 Friedman, B., Harris, A., Huebner, B. M., Martin, K. D., Pettit, B., Shannon, S. K. S., & Sykes, B. L. (2022). What Is Wrong with Monetary Sanctions? Directions for Policy, Practice, and Research. Rsf, 8(1), 221–244. https://doi.org/10.7758/RSF.2022.8.1.10 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Badan Pemeriksa Keuangan RI. (2024). Republik Indonesia Pemerintah Kabupaten Minahasa Tenggara Tahun 2023. (***)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.