Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Emansipasi Wanita Minahasa  Dideskripsikan, 'Jauh sebelum Kartini'

SETIAP Tanggal 21 April, bangsa Indonesia merayakan Hari Kartini untuk menghormati perjuangan seorang pahlawan nasional, Raden Ajeng Kartini

|
Editor: David_Kusuma
Dokumen Pribadi
Efraim Evert Lengkong 

Penulis: Efraim Evert Lengkong (Dewan Penasehat DPW 'Manguni Indonesia' Sulawesi Utara)

SETIAP Tanggal 21 April, bangsa Indonesia merayakan Hari Kartini untuk menghormati perjuangan seorang pahlawan nasional, Raden Ajeng Kartini.

Hari Kartini 21 April 2025 bertemakan "Perempuan Berdaya, Indonesia Maju” menyoroti peran penting perempuan dalam berbagai aspek pembangunan nasional. 

Hari Kartini didedikasikan untuk menghormati perjuangan Kartini pada kesetaraan hak-hak perempuan, khususnya di bidang pendidikan. Juga menghapus batasan-batasan sosial yang membatasi perempuan dalam belajar, berkarya, dan mengembangkan potensi mereka. 

Berkaitan dengan hari Kartini, perlu diingat akan adanya "Kartini-Kartini" lain seperti Maria Walanda Maramis yang telah memperjuangkan hak asasi dan emansipasi perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan politik dimana visinya terus mempengaruhi dan menginspirasi perempuan Indonesia terlebih perempuan Minahasa di era modern ini.

Kesetaraan laki-laki dan perempuan di Minahasa sudah ada sejak zaman nenek moyang dulu, hal ini tentunya berlatar belakang dari budaya orang Minahasa. 

Lagenda Toar Lumimuut menceritakan bahwa, asal usul orang Minahasa berasal dari "Mongolia" (Tiongkok Utara). 

Alkisah "Putri Khan agung", dari Mongolia jatuh cinta pada seorang prajurit yang gagah berani. Hubungan asmara mereka menyebabkan putri hamil. Karena prajurit tersebut bukan berdarah bangsawan maka putri dan semua pelayannya di usir dan si prajurit di hukum mati. 

Dengan menggunakan kapal layar mereka diusir dan kemudian terdampar di pesisir  pantai Minahasa. 

Saat terdampar di tanah Minahasa putri tersebut diselamatkan Karema, "dewi khayangan" yang kemudian diberi nama Lumimuut. Kemudian Lumimuut melahirkan seorang laki-laki yang diberi nama Toar, yang saat dewasa Toar jatuh cinta padanya.

Lumimuut Toar lagend dan sumber otentik (keasalan = “orisinalitas”) masyarakat Minahasa. 

Terjadinya perkawinan Toar dan Lumimuut akibat dipisahkan Karema ("dewi kahyangan"). Sebelum berpisah Karema memberikan tongkat dari batang Tuis sama tinggi kepada mereka. Dengan maksud apa bila mereka ketemu maka kedua tongkat itu menjadi ukuran tanda bahwa mereka adalah ibu dan anak. 

Karema, tidak menyadari bahwa batang tanaman tuis hidup. Setelah berpisah sekian lama mereka bertemu. Tongkat batang tuis yang dulunya sama tinggi sekarang berbeda. Maka perkawinan pun tak terelakkan. 

Dalam perkawinan mereka, Lumimuut melahirkan anak kurang lebih 27, salah seorang putri mereka bernama Lingkanbene/wene ("konon sangat cantik"). Suatu hari Toar akan berpergian ke Wenang (Manado), untuk barter bahan hasil bumi dengan tembikar. 

Sendy Paat, Wanita Cantik dari Minahasa
Sendy Paat, Wanita Cantik dari Minahasa

Toar dan Lumimuut membawa putrinya ke Pelabuhan Manado.  Di pelabuhan Manado Lingkan bertemu dengan Pelaut Italia bernama "Aruns Crito, setelah mereka menikah, mereka tinggal di lereng gunung Klabat. Dan orang memanggilnya "Arror Krito".

Lingkanbene dan suaminya Crito, merupakan sumber pertanian di Tonsea (Minahasa Utara = Minut).

Mrs Margareta Liwoso Carle, perempuan kelahiran Remboken Minahasa dalam studi doktoral (2005), secara mendalam, meneliti dan mempelajari bagaimana wacana perempuan yang "diasosiasikan" dengan nilai-nilai tradisional Minahasa dan modernisasi dewasa ini.

Liwoso Carle, dalam analisis wacana imajinasi perempuan terkait dengan nilai-nilai tradisional Minahasa dan modernisasi, pendekatan interdispliner, menegaskan kembali bahwa peran perempuan dalam cerita daerah (Minahasa), telah mengalami emansipasi jauh sebelum Kartini di Jawa yang menggaungkan gerakan wanita.  

Namun secara khusus perkembangan emansipasi wanita Minahasa tidak semata-mata menuntut hak dan sama-sama persamaan belaka.

Ada tempat wacana yang menonjolkan peran perempuan dalam mengeksplorasi Minahasa seperti tempat di masyarakat Minahasa. Khusus mengenai mitologi yang hidup dalam masyarakat Minahasa.

Wacana mitologi menjelaskan asal muasal nenek moyang Minahasa dari Karema-Lumimuut secara signifikan wacana tradisional telah menghadirkan tokoh perempuan Minahasa.

Seperti: Maria Maramis, nyonya Walanda, tokoh emansipasi. Wanita kelahiran 1 Desember tahun 1872 di desa Kema, sekarang Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara, dilahirkan dari seorang wanita yang bernama Sarah Rotinsulu.

Maria memperjuangkan hak-hak asasi dan emansipasi perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan politik. 

Jauh sebelum RA Kartini. Juga mendirikan organisasi wanita pertama PIKAT.

Setelah 45 tahun dari kematiannya pada tanggal 22 April 1924.  Maria dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. 

Sopie Cornelia Pandean, Aneke Lapian, adalah perempuan Minahasa yang ikut merebut kemerdekaan. 

Dokter perempuan pertama di Indonesia Maria Emilia Thomas wanita Likupang Minahasa Utara (17 Februari 1896 – 10 Oktober 1966).

Lulus dari Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA) pada tahun 1922. Dan juga dokter spesialis "obstetri dan ginekologi" pertama di Indonesia dan juga mendirikan sekolah kebidanan di Bukittinggi

Nona Karundeng merupakan satu-satunya perempuan Minahasa yang memiliki andil dalam penyusunan dan pengetikan naskah proklamasi Indonesi, dan masih banyak pemimpin perempuan Minahasa lainnya.

Peran perempuan yang kuat dimasa itu dan sekarang memberikan pemahaman bahwa Minahasa lebih dulu menganut “matiarkal”, yaitu sistem sosial di mana perempuan memiliki kekuasaan mutlak dalam keluarga. Sistem ini, perempuan memiliki hak istimewa dan otoritas moral.

Sistem tersebut hampir tidak berubah bentuk pada masa pemerintahan Belanda hingga fase modern (di zaman Now) perempuan Minahasa saat ini.

Hasil dari perkawinan silang antara "Lingkan yang memiliki 'gen Khan' dan 'gen Crito' dari Italia", tidak dapat dipungkiri keturunan mereka membuahkan perempuan yang cantik, kulit putih kuning gading, bibir sensual, mata sipit kebiruan, agresif dan pemberani. 

Namun tidak terbatas pada itu, di balik kebebasan dalam kesetaraan perempuan Minahasa, seringkali konteks sensual dan permisif "permisivisme" "sikap dan pandangan yang membolehkan dan mengizinkan segala-galanya", didefinisikan dalam logika yang tidak dapat diubah. 

Disalah artikan dengan konotasi negatif, dengan sebutan "bibir Manado"

Cara pandang yang dijabarkan Lumimuut menunjukkan bahwa keturunannya adalah sosok yang cerdas, agresif, berani, berekspresi dan bertanggung jawab dalam tugas. 

Tak heran bila kata emansipasi "Wanita Minahasa" yang pertama kali dideskripsikan, "Jauh sebelum Kartini". (*)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved