Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Bitung Sulawesi Utara

Marak Tindak Pidana di Bitung Sulawesi Utara, Akademisi Minta Reformasi Undang-Undang SPPA

"Kami sangat mengkritisi hal ini karena jika dibiarkan ketika mereka di dalam penjara diperlakukan dengan baik, maka tidak akan ada efek jera,"

Dok. Pribadi
AKADEMISI - Dosen STIE Petra Bitung Daysi Kelejan. Ia mengkritisi Undang-Undang SPPA yang dikaitkan dengan maraknya peristiwa kasus tindak pidana yang dilakukan anak di bawah umur. 

Anak yang menjadi tersangka diberikan berlapis-lapis perlindungan mulai dari pengurangan hukuman maksimal menjadi setengah, hingga jaminan tempat pembinaan yang edukatif. 

Namun, di mana ruang keadilan bagi korban? 

Apakah nyawa yang hilang hanya direspon dengan pelatihan dan pembinaan bagi pelaku?

Undang-Undang SPPA membatasi hukuman maksimal anak yang membunuh hingga 10 tahun penjara, berarti bisa di bawah 10 tahun, bahkan untuk kasus pembunuhan berencana sekalipun. 

"Dalam kasus-kasus tertentu, pelaku bahkan bisa keluar jauh lebih cepat melalui remisi, asimilasi, atau program integrasi sosial. Bagi keluarga korban, ini adalah penghinaan terhadap luka yang tidak akan pernah sembuh," jelasnya.

Dan dalam usia tersebut, pelaku pembunuhan ketika selesai menjalanai hukumannya masih dalam umur yang masih bisa melakukan sesuatu hal, baik positif atau melakukan hal yang negatif.

Mereka masih berkesempatan melakukan kembali tindak kejahatan yang sudah pernah dilakukan.

Dari perspektif manajemen keadilan, sistem peradilan sebagaimana sistem lain harus menjamin keseimbangan keadilan, bahwa semua pihak yang terdampak mendapat perhatian proporsional. 

Namun dalam UU SPPA, korban dan keluarga korban justru tidak dianggap sebagai pemangku kepentingan utama.

Tidak ada pasal yang secara eksplisit menjamin hak-hak mereka, tidak ada ruang partisipasi dalam proses hukum, dan tidak ada mekanisme resmi untuk keterlibatan dalam mediasi, rekomendasi hukuman, atau program pemulihan trauma. 

Ini adalah desain sistem yang cacat secara manajerial dan tidak akuntabel secara etis.

"Kritik akademis terhadap UU SPPA, empati tanpa proporsionalitas. Kami  tidak menolak konsep perlindungan anak. Justru mendukung pendekatan rehabilitatif dalam konteks yang tepat," kata dia.

Beberapa hal mendasar yang perlu dikaji ulang antara lain:

  1. Batasan hukuman yang tidak kontekstual, misalnya pembunuhan berencana oleh anak tetap dibatasi hanya 10 tahun maksimal.
  2. Tidak ada ruang kebijaksanaan bagi hakim untuk mempertimbangkan konteks kekejaman, pengulangan, atau dampak psikologis terhadap korban.
  3. Remisi dan asimilasi yang terlalu longgar, yaitu sistem pemotongan hukuman untuk anak seringkali tidak mempertimbangkan dampak emosional terhadap keluarga korban.
  4. Minimnya keterlibatan keluarga korban yang seharusnya diberi posisi setara dalam proses hukum, setidaknya untuk menyuarakan trauma dan harapan mereka terhadap proses pemulihan.
  5. Dominasi narasi perlindungan anak yang tidak seimbang. Di ruang publik, kita lebih sering membahas masa depan pelaku, sementara masa lalu dan kerusakan yang ditinggalkan kepada korban hampir tidak pernah dibicarakan.

Ecy memberikan saran konkret kepada pihak yang berwajib dan pemerintah agar lebih lebih tegas lagi untuk kasus pembunuhan.

Pihak yang berwajib harus senantiasa patroli malam dan menggunakan peralatan yang lengkap agar bisa menghindari kecelakaan dan meningkatkan kewaspasaan dan keselamatan diri ketika menjalankan tugasnya.

Baca juga: Sosok Hotma Sitompul, Pengacara Kondang Indonesia Meninggal Dunia

Baca juga: Tewas Terseret Banjir di Gorontalo, Ayah Mahasiswi Asal Mitra Menangis Peluk Nisan Anaknya: Ya Allah

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved