Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Opini

Kita Semua Telah MenyalibkanNya

Manado, Sulawesi Utara, berkabung demi merayakan suatu hari paling gelap dalam sejarah.  Penyaliban Yesus Kristus.

Penulis: Arthur_Rompis | Editor: Rizali Posumah
Tribun Manado/Arthur Rompis
DRAMA - Pentas penyaliban Yesus di Manado, Sulawesi Utara. Jumat Agung 2023 begitu berwarna. Untuk pertama kalinya sejak dua tahun, prosesi jalan Salib diizinkan mentas. Dan gereja - gereja pun berlomba menampilkan prosesi jalan Salib 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Manado, Sulawesi Utara, berkabung demi merayakan suatu hari paling gelap dalam sejarah. 

Jalanan penuh orang berpakaian hitam, tanda ada kematian yang harus ditangisi. 

Mereka berbaris menuju gereja. 

Pesta, dansa dan miras sejenak ditinggal di kolong rumah. 

Abu dikantongi dalam saku untuk disiram di atas kepala saat tiba di gereja. 

Jumat Agung 2023 begitu berwarna. Untuk pertama kalinya sejak dua tahun, prosesi jalan Salib diizinkan mentas. Dan gereja - gereja pun berlomba menampilkan prosesi jalan Salib.

Beberapa prosesi mirip pentas kolosal. Seperti yang ditampilkan sebuah gereja di wilayah Utara. 

Ini teater yang menurut saya sophisticated. 

Para pemainnya menampilkan seni peran yang luar biasa. 

Pemeran Yesus sepanjang pentas jadi sansak hidup. 

Ia dipukul, ditendang, dicambuk, diludahi dan dimaki maki.

Ia tampak kesakitan - tapi bukan semata karena luka di tubuh. 

Tapi kesakitan dari hati yang mengampuni. 

Inilah part tersulit bagi setiap pemeran Yesus dan si pemeran memerankan "kesakitan yang agung" dengan mulus.

Kemudian pemeran tentara Romawi yang bengis dan kejam. 

Tapi tokoh antagonis adalah ahli Taurat dan orang orang Farisi. 

Mereka benar - benar tampil untuk dibenci. 

Pemeran Maria ibu Yesus membuat pentas itu penuh tragedi. Ia menangis ketika Yesus dicambuk di depan Pilatus.

Pun ketika ia memegang kaki Yesus yang baru saja mati di kayu salib. Adegan ini begitu ikonik.

Saya memotretnya sambil jongkok, demi mencari sisi terbaik dan menjadikannya foto utama dalam berita. 

Aksi brilian para pemeran itu ditunjang dengan perlengkapan pentas yang lumayan wah. Saat Yesus disalib, warna sekelilingnya jadi merah dan ada asap yang muncul. 

Warna merah itu jadi kedap kedip saat Yesus menyerahkan nyawanya. 

Pentas itu menyajikan harmonisasi antara iman dan rasa.

Teater dengan demikian bukan lagi ajang para artis untuk berbohong untuk menyatakan kebenaran, sebagaimana diucapkan Shakespeare.

Tapi bagi saya point of viewnya ada di akhir pentas. 

Seorang majelis tampil dan membawakan puisi. Wajahnya menatap Yesus yang disalib sambil tangannya menunjuk nunjuk ke sekitar. 

"Kita hanyalah cacing yang menggerogoti roti dan anggur perjamuan, kita hanyalah lintah yang menempel di tubuh sakramen, kita semua telah menyalibkanNya".

Saya ingat tulisan seorang penulis yang saya lupa namanya. Ia mengisahkan Yesus yang datang, bukan pada 2000 tahun yang lalu, tapi di sama kini?

Yesus menyusuri jalan yang padat dengan pertokoan, yang berdampingan dengan pantai - mirip Manado, dan berseru - seru tentang kerajaan Allah. 

Siapa yang akan menyalibkannya? Mungkin saja, para hamba Tuhan yang menghilangkan Yesus dari salibnya dan berbicara tentang

Yesus yang lain sebagai sang pembuat mujizat, pemberi kekayaan dan rezeki. 

Atau hamba Tuhan yang hidup hedon, yang di mimbar meminta orang miskin untuk memberi dan dalam keseharian hanya melayani orang kaya. 

Hamba Tuhan yang tak mau menegur dosa politisi, karena silau dengan kekuasaan mereka. 

Ataukah majelis yang menjadikan pelayan Kristus sebagai profesi batu loncatan untuk kemuliaan duniawi. 

Mungkin saja para politikus yang membeli rakyat dengan serangan fajar dan menjual mereka di pasar yang bernama Demokrasi. 

Atau para kepala daerah yang mencium pipi rakyat untuk mengkhianati mereka.

Atau para aktivis yang membela rakyat demi bisa berkawan dengan penguasa. 

Ataukah para polisi, jaksa dan hakim yang pintar berakrobat hukum, mengubah orang salah jadi benar dan orang benar jadi salah. 

Bisa saja itu seniman, yang gemar menyanyikan lagu tentang perselingkuhan atau bersajak tentang orang ketiga. 

Atau jangan jangan itu saya, seorang wartawan yang jadi gemuk karena gosip, yang kian kian "menghibur yang kuasa dan menegur yang papah". Ya kita semua telah menyalibkanNya. (Arthur Rompis)

 

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Relawan Palsu dan Politik Rente

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved