Opini
Pelayanan Kesehatan Berbasis Profit, Sebuah Katastrofik Kemanusiaan?
KESEHATAN pada dasarnya merupakan Hak Asasi Manusia yang menjadi hak dasar yang dibawa setiap manusia sejak dia lahir.
Oleh : dr Adi Tucunan MKes (Staf Pengajar FKM Unsrat)
KESEHATAN pada dasarnya merupakan Hak Asasi Manusia yang menjadi hak dasar yang dibawa setiap manusia sejak dia lahir.
Hak atas kesehatan ini tertuang dalam Universal Declaration on Human Rights Pasal 25 Paragraf 1 dan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights Pasal 12, serta UUD 1945 Pasal 28(h) ayat 1.
Prinsipnya, setiap orang berhak untuk mendapat pelayanan kesehatan terbaik untuk dirinya karena sudah dijamin dengan konstitusi di setiap negara dan negara maupun organisasi layanan kesehatan harus menjunjung tinggi serta menghormati hak-hak mendasar dari setiap warga negara ini.
Di banyak negara secara khusus negara-negara low income countries dan middle income countries, masih ada banyak persoalan dalam menjalankan pelayanan kesehatan kepada rakyatnya, dikarenakan masalah ekonomi yang menjadi persoalan utama. Kekuatan pendanaan kesehatan yang rendah di sebuah negara menjadi akar masalah di sektor kesehatan.
Banyak infrastruktur kesehatan yang buruk, dengan fasilitas sarana prasarana terbatas, minimnya tenaga kesehatan, dengan penggajian yang rendah pada tenaga kesehatan, melahirkan sebuah kondisi di mana sumber daya manusia kesehatan di banyak negara termasuk Indonesia harus memikirkan cara mempertahankan pelayanan kesehatannya dengan berbagai cara, termasuk di antaranya lebih memprioritaskan pelayanan berorientasi profit untuk menjalankan operasional layanan kesehatan.
Dampak dari orientasi profit yang ditunjang dengan kesehatan yang diindustrialisasikan memberikan efek buruk pada pelayanan kesehatan yang diterima oleh mereka yang memiliki kepesertaan dengan kartu BPJS, dibanding mereka yang mendapat pelayanan dengan pembiayaan out of pocket alias membayar dari kantong sendiri.
Sudah menjadi rahasia umum, banyak persoalan terjadi di rumah sakit di mana rumah sakit menolak baik secara halus dengan berbagai alasan maupun secara terang-terangan menolak pasien yang memiliki kartu BPJS. Sebenarnya alasannya mudah ditebak, karena pembiayaan dengan BPJS baik sistem kapitasi maupun INA CBG’s sangat kecil pembayaran yang didapat oleh tenaga kesehatan atau pihak fasyankes tempat pelayanan, sedangkan jika berbayar tunai akan lebih mendapat dana segar dan lebih mahal tentunya.
Ini menyebabkan ada semacam disparitas dalam pelayanan yaitu siapa yang membayar lebih tinggi akan mendapat pelayanan prioritas atau terbaik, dibanding mereka yang menggunakan kartu PBJS. Ini memang tidak semua digeneralisir pada fasyankes karena ada banyak fasyankes yang menjalankan pelayanan dengan amanah dan dedikasi terhadap kemanusiaan yang tinggi; tapi ada banyak fasyankes yang memperlakukan peserta BPJS, apalagi kelas III dengan semena-mena bahkan kadang berbuah pengusiran dari rumah sakit, dengan alasan administrasi.
Orientasi profit yang ada di benak manajemen rumah sakit dan individu tenaga kesehatan tentu saja membuat perbedaan dalam pelayanan, di mana orang-orang dengan kartu BPJS apalagi kelas III akan cenderung tidak terlayani dengan baik dibanding mereka yang berbayar tunai, apalagi di kelas VIP.
Sistem pembiayaan ternyata masih menjadi tolok ukur pelayanan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mengapa ini terjadi? kita perlu memahami akar masalah mengapa fasyankes-fasyankes bekerja seperti perusahaan yang berorientasi profit bukan dengan pertimbangan kemanusiaan, karena mereka adalah petugas yang berbeda dengan orang-orang yang bekerja dalam perusahaan atau industri.
Melayani di sektor kesehatan dengan tujuan memperoleh profit atau hanya sekedar menjalankan kewajiban pekerjaan untuk mendapat upah adalah sebuah kegagalan memahami pelayanan kemanusiaan yang sesungguhnya.
Nilai kemanusiaan seseorang tidak bisa diukur atau ditukar sama sekali dengan keuntungan finansial atau materi lain karena nilai-nilai ini adalah hakikat dasar kita menjadi manusia yang mulia; sehingga pelayanan pun tidak boleh membedakan atas pertimbangan lain.
Menciptakan disparitas dalam pelayanan akan menjadi aib bagi professional di bidang kesehatan, karena mereka adalah organisasi profesi dengan pengakuan luas terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi karena terikat dengan sumpah profesi yang luhur dan mulia itu.
Jika kita yang bekerja di sektor kesehatan, masih mengasumsikan kita berada di sektor industri seperti umumnya industri jasa yang lain, maka kita akan melangkah pada jalan yang sangat keliru dengan catatan akan terjadinya bencana besar bagi kemanusiaan karena kita bisa menjadi ‘pembunuh berdarah dingin’.
Banyak di antara kita mungkin berasumsi bahwa bekerja di sektor kesehatan adalah tambang untuk memperoleh kekayaan, dan memang banyak tenaga kesehatan menjadi kaya raya dengan mendapat imbalan jasa dari pelayanan yang diberikan. Tetapi jika orientasi ini dipertahankan dan kita melayani dengan tujuan utama adalah keuntungan finansial, maka kita sedang menyangkali keluhuran dan sisi kemanusiaan dari profesi kita sendiri.
Seorang tenaga kesehatan tidak bedanya dengan seorang penjual barang jika berorientasi pada profit. Sebaliknya, ada perbedaan signifikan antara profesi kesehatan dengan profesi lain dalam hal pelayanan, karena kita sangat berdekatan dengan manusia dan dirinya yang seutuhnya, bukan tentang barang yang diperdagangkan.
Jika seorang dokter berpikir bahwa pasiennya adalah objek keuntungan finansial dan tujuan pendidikan dia adalah untuk mencari keuntungan finansial sebanyak mungkin, maka ini akan menjadi tragedi kemanusiaan yang besar, karena manusia yang dia layani akan dibajak kemanusiaannya dengan cara memperlakukan pasien sebagai objek materi dia.
Pelayanan kesehatan harus dibedakan dengan bisnis pribadi karena kita terikat dengan sumpah profesi yang akan memperlakukan semua manusia ciptaan Tuhan dengan sebaik-baiknya, bukan kita disumpah untuk mencari keuntungan materi.
Distorsi makna pelayanan kesehatan saat ini banyak telah berubah, akibat industrialisasi yang masuk ke dunia kesehatan mengubah cara pandang kita dalam pelayanan. Rumah sakit atau individu yang bekerja di sektor kesehatan demi memperoleh keuntungan kadang mengabaikan hal paling bermakna dalam proses pelayanan yaitu penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang yang dijunjung tinggi oleh semua konstitusi di negara mana pun di dunia.
Hari ini juga nampaknya ada asumsi bahwa biaya pendidikan kesehatan adalah mahal, dan ini harus ditebus dengan tarif yang mahal juga di sektor kesehatan. Dunia industri kesehatan benar-benar memakan korban di era sekarang, dengan banyaknya kasus ‘pemerasan terselubung’ bagi masyarakat yang mendapat pelayanan.
Banyaknya kasus Fraud di instansi kesehatan meliputi penipuan administrasi, mark-up anggaran, manipulasi diagnosa penyakit dan sebagainya, memberitahukan kita bahwa sektor kesehatan sudah diamputasi dari nilai-nilai luhur menjadi hanya sekedar mencari profit. Banyak rumah sakit yang terindikasi fraud karena melakukan banyak malpraktek, maladministrasi dan mismanajemen dalam menjalankan perannya; semua ini karena berujung pada satu tujuan yaitu mendapat profit sebesar-besarnya, dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan kejujuran serta penghormatan terhadap prinsip good governance.
Fraud di sektor kesehatan terindikasi cukup sering yang mengakibatkan kerugian keuangan yang cukup besar. Mentalitas mencari untung sendiri akan mengakibatkan seorang tenaga kesehatan tidak berfokus untuk membuat efisiensi pelayanan kesehatan tapi akan mencari cara untuk memperbesar biaya pelayanan yang tidak seharusnya.
Misalnya seorang dokter akan meminta pasien untuk melakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat atau teknologi yang tidak diperlukan karena ini akan memakan biaya mahal. Ada juga dokter yang akan memberi resep obat yang akan ditebus di luar apotik rumah sakit karena ada kerjasama dengan pihak apotik atau industri farmasi untuk mendapatkan keuntungan dari situ; dan ada banyak kasus lain yang berhubungan dengan upaya mencari untung yang tidak bisa disebutkan. Ini semua melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan dan tata kelola pelayanan kesehatan yang baik.
Pentingnya pengawasan yang ketat serta komitmen politik yang kuat dari pemerintah harus benar-benar terjadi untuk menjalankan sektor kesehatan yang manusiawi dan sesuai dengan etika dan profesi kesehatan yang dijunjung tinggi dan mendapat tempat terhormat.
Para tenaga kesehatan perlu menyadari bahwa tugas mulia mereka tidak dibatasi dengan kewajiban teknis operasional medis semata tapi lebih kepada bagaimana penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan adalah barisan terdepan untuk membuat pelayanan kesehatan menjadi lebih beradab dan manusiawi.
Semoga kita semua bisa bersinergi menciptakan suatu ekosistem pelayanan kesehatan lebih bermartabat dan berperikemanusiaan sehingga cita-cita negara untuk mensejahterakan rakyat melalui kesehatan bisa dicapai tanpa mengorbankan nyawa manusia lebih banyak lagi. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.