Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sejarah

Sejarah Hari Ini, 7 Agustus 1994 AJI Dibentuk, Berawal dari Perlawanan terhadap Pengekangan Pers

Deklarasi Sirnagalih adalah momentum penting dari bentuk perlawanan kepada Pemerintah Orba yang represif terhadap kebebasan pers.

|
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Rizali Posumah
Dokumentasi AJI Manado
Anggota AJI Manado foto bersama salah satu saksi sejarah berdirinya AJI Indonesia, yakni Hasudungan Sirait (kemeja biru berkacamata), 18 November 2024. 

Manado, TRIBUNMANADO.CO.ID - Hari ini tanggal 7 Agustus 1994 di masa Orde Baru, sekitar 100 wartawan dan kolomnis berkumpul di Desa Sirnagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Indonesia.

Mereka menandatangani pernyataan bersama yang dikenal sebagai Deklarasi Sirnagalih.

Deklarasi Sirnagalih adalah momentum penting, bentuk perlawanan kepada Pemerintah Orba yang represif terhadap kebebasan pers.

Di mana sebelumnya pada tanggal 21 Juni 1994, pemerintah Orba membredel tiga media karena pemberitaan yang dianggap mengkritik penguasa.

Inti dari isi Deklarasi Sirnagalih adalah, menuntut dipenuhinya hak masyarakat atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk para wartawan, serta mengumumkan dibentuknya Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Tempo dalam salah satu artikelnya menyebut, deklarasi ini menjadi tonggak penting dalam sejarah kewartawanan Indonesia.

"Di mana untuk pertama kalinya, para wartawan bersatu untuk melawan kesewenang-wenangan pemerintah dalam pemberangusan pers."

Saat dibentuk pertama kali, AJI hanya beranggotakan 500 orang. 

Di antara mereka yakni Yosep Stanley Adi Prasetyo (Jakarta-Jakarta), Meirizal Zulkarnain (Bisnis Indonesia), Hasudungan Sirait (Bisnis Indonesia), Rin Hindryati (Bisnis Indonesia), Satrio Arismunandar (Kompas).

Dhia Prekasha Yoedha (Kompas), Santoso (Forum Keadilan), Ayu Utami (Forum Keadilan), Andreas Harsono (The Jakarta Post), Ati Nurbaiti (The Jakarta Post), Roy Pakpahan (Suara Pembaruan), dan lain-lain.

Kini anggota AJI kurang lebih dua ribuan orang dan tersebar di seluruh Indonesia

Sejarah 

Sejarah berawal saat pemerintah Orde Baru melakukan pembredelan terhadap tiga media pada tanggal 21 Juni 1994. 

Media-media tersebut dituding memuat berita yang mengkritik penguasa. 

Pembredelan media oleh rezim Orde Baru sebanarnya bukan hanya kali ini saja. 

Bahkan sudah terjadi sejak awal rezim ini berkuasa. 

Tahun 1978 misalnya, Kompas bersama 12 media lainnya dilarang terbit sejak bulan Januari, dan bisa terbit setelah menandatangani pernyataan tertulis yang berisi permintaan maaf sekaligus berjanji tidak akan menyinggung penguasa, pada tanggal 5 Februari.

Kembali ke tahun Juni 1994, tindakan represif rezim Orde Baru ini memicu aksi solidaritas dan perlawanan dari banyak kalangan secara merata di sejumlah kota. 

Gerakan perlawanan ini tidak hanya melibatkan jurnalis, namun juga seniman, budayawan dan para penulis.

Puncaknya, pada 7 Agustus 1994, sektiar 100 orang yang terdiri atas jurnalis dan kolumnis, aktivis pro demokrasi, berkumpul di Sirnagalih, Bogor.

Di hari itu, Deklarasi Sirnagalih ditandatangani. 

Deklarasi ini pada intinya menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI

Dikategorikan organisasi terlarang oleh Orde Baru

Oleh Pemerintah Orde Baru, AJI dikategorikan sebagai organisasi terlarang. 

Walhasil aktivitas AJI pun harus berjalan di bawah tanah. Roda organisasi dijalankan oleh dua puluhan jurnalis-aktivis.

Sistem manajemen dan pengorganisasian diselenggarakan secara tertutup. 

Ini dilakukan untuk menghindari tekanan aparat. 

Dengan cara seperti ini, organisasi berjalan efektif. Terlebih AJI waktu itu hanya memiliki anggota kurang dari 200 jurnalis. 

Lahirnya AJI dibidani oleh  individu dan aktivis Forum Wartawan Independen (FOWI) Bandung, Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta (FDWY), Surabaya Press Club (SPC) dan Solidaritas Jurnalis Independen (SJI) Jakarta.

AJI, selain melakukan demonstrasi menentang pengekangan pers, juga menerbitkan majalah alternatif Independen, yang kemudian menjadi Suara Independen. 

Aktivitas AJI ini menuntut biaya mahal. Tiga anggotanya pada Maret 1995 dijebloskan ke penjara.

Mereka masing-masing yakni Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo.

Ahmad Taufik dan Eko Maryadi dipenjara selama tiga tahun, sementara Danang Kukuh Wardoyo 20 bulan penjara. 

Tak sampai di situ, aparat kemudna kembali menyasar mitra penerbit AJI yakni Andi Syahputra. 

Andi Syahputra dipenjara selama 18 bulan sejak Oktober 1996. 

Aparat juga mengawasi ketat para anggota AJI yang bekerja di media. Mereka dibatasi ruang geraknya. 

Bahkan, Pejabat Departemen Penerangan juga tidak segan-segan menekan para pemimpin redaksi agar tidak memperkerjakan mereka di medianya. 

Konsistensi dalam memperjuangkan misi inilah yang menempatkan AJI berada dalam barisan kelompok yang mendorong demokratisasi dan menentang otoritarianisme.

Inilah yang membuahkan pengakuan dari elemen gerakan pro demokrasi di Indonesia, sehingga AJI dikenal sebagai pembela kebebasan pers dan berekspresi. 

Diakui Hingga Mancanegara

Pengakuan tak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari mancanegara.

Diantaranya dari International Federation of Journalist (IFJ), Article XIX dan International Freedom Expression Exchange (IFEX).

Ketiga organisasi internasional tersebut kemudian menjadi mitra kerja AJI.

Selain itu, banyak organisasi-organisasi asing, khususnya NGO internasional, yang mendukung aktivitas AJI.

Termasuk badan-badan PBB yang berkantor di Indonesia

AJI diterima secara resmi menjadi anggota IFJ, organisasi jurnalis terbesar dan paling berpengaruh di dunia, yang bermarkas di Brussels, Belgia, pada 18 Oktober 1995.

Penghargaan

AJI telah mendapatkan berbagai penghargaan dari dunia internasional.

Sebut saja, Committee to Protect Journalist (CPJ), The Freedom Forum (AS), International Press Institute (IPI-Wina) dan The Global Network of Editors and Media Executive (Zurich). 

Setelah Orde Baru

Di zaman setelah Orde Baru, pers mulai menikmati kebebasan, jumlah penerbitan meningkat.

Pasca reformasi, tercatat ada 1.398 penerbitan baru.

Namun, hingga tahun 2000, hanya 487 penerbitan saja yang terbit.

Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis Meninggkat

Penutupan media ini meninggalkan masalah perburuhan.

AJI melakukan advokasi dan pembelaan atas beberapa pekerja pers yang banyak di-PHK saat itu. 

Selain bergugurannya media, fenomena yang masih cukup menonjol adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Berdasarkan catatan AJI, setelah reformasi, kekerasan memang cenderung meningkat.

Tahun 1998, kekerasan terhadap jurnalis tercatat sebanyak 42 kasus.

Setahun kemudian, 1999, menjadi 74 kasus dan 115 di tahun 2000.

Setelah itu, kuantitasnya cenderung menurun, sebanyak 95 kasus (2001), 70 kasus (2002) dan 59 kasus (2003). 

Kasus yang tergolong menonjol pada tahun 2003 adalah penyanderaan terhadap wartawan senior RCTI Ersa Siregar dan juru kamera RCTI, Ferry Santoro.

AJI terlibat aktif dalam usaha pembebasan keduanya, sampai akhirnya Fery berhasil dibebaskan.

Namun, Ersa Siregar meninggal dalam kontak senjata antara TNI dan penyanderanya, Gerakan Aceh Merdeka. 

Pada saat yang sama, juga mulai marak fenomena gugatan terhadap media.

Beberapa media yang digugat ke pengadilan pidana maupun perdata adalah Harian Rakyat Merdeka, Kompas, Koran Tempo, Majalah Tempo dan Majalah Trust.

Atas kasus-kasus tersebut, AJI turut memberikan advokasi. 

Selain itu, AJI juga membuat program Maluku Media Center.

Selain sebagai safety office bagi jurnalis di daerah bergolak tersebut, program itu juga untuk kampanye penerapan jurnalisme damai.

Sebab, berdasarkan sejumlah pengamat dan analis, peran media cukup menonjol dalam konflik bernuansa agama tersebut.

Hingga kini, program tersebut masih berjalan. 

Komitmen AJI

AJI sejak awal terbentuknya mempunyai komitmen untuk memperjuangkan hak-hak publik atas informasi dan kebebasan pers.

Untuk yang pertama, AJI memposisikan dirinya sebagai bagian dari publik yang berjuang mendapatkan segala macam informasi yang menyangkut kepentingan publik. 

Mengenai fungsi sebagai organisasi pers dan jurnalis, AJI juga gigih memperjuangkan dan mempertahankan kebebasan pers.

Muara dari dua komitmen ini adalah terpenuhinya kebutuhan publik akan informasi yang obyektif. 

Untuk menjaga kebebasan pers, AJI berupaya menciptakan iklim pers yang sehat.

Suatu keadaan yang ditandai dengan sikap jurnalis yang profesional, patuh kepada etika dan jangan lupa mendapatkan kesejahteraan yang layak.

Ketiga soal ini saling terkait.

Profesionalisme plus kepatuhan pada etika tidak mungkin bisa berkembang tanpa diimbangi oleh kesejahteraan yang memadai.

Menurut AJI, kesejahteraan jurnalis yang memadai ikut mempengaruhi jurnalis untuk bekerja profesional, patuh pada etika dan bersikap independen. 

SUMBER: 

- Tribuntribunsumselwiki.com

- aji.or.id

- Buku: Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved