OPINI
Faktor yang Memengaruhi Keputusan Pemilih di Pilkada Sulawesi Utara 2024
Tidak sedikit pemilih lebih terpengaruh serangan fajar ketimbang kampanye yang mempresentasikan pembangunan jangka panjang pada setiap pilkada.
Oleh: Abdul Muis Daeng Pawero, M.Pd
Dosen FTIK dan Ketua Program Studi MPI IAIN Manado
TULISAN ini sebagai pelengkap saat menyampaikan materi pada kegiatan KPU Goes to Campus yang diselenggarakan KPU bekerja sama Dewa Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Manado.
Dalam diskusi tersebut, saya diperkenankan untuk memberikan penyampaian selama 10-15 menit.
Waktu yang diberikan merupakan waktu yang singkat untuk menyampaikan materi tentang faktor-faktor yang memengaruhi keputusan pemilih, khususnya terkait Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara yang nantinya digelar 27 November 2024.
Dalam diskusi yang diselengarakan secara panelis tersebut, saya tidak menyampaikan variabel seperti suku, agama maupun motif lainnya sebagai unsur pendorong pemilih menentukan pilihannya.
Baca juga: Ini Harapan Para Wong Cilik di HUT ke-401 Manado Sulawesi Utara
Bagi saya, hal wajar dan bahkan merupakan sesuatu yang diharuskan dalam demokrasi, jika masyarakat kita, mulai dari keluarga yang tinggal dalam satu rumah, tetangga, hingga masyarakat luas untuk kemudian menentukan sendiri pilihannya walaupun berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
Saya dan istri memilih presiden yang berbeda pada Pilpres 2024 baru-baru ini. Kami bahkan sering berdebat sengit tentang pilihan yang kami tentukan.
Namun setelah pilpres selesai, kami tetap kembali seperti sedia kala; sebagai suami-istri yang menjalani dan menikmati segala macam tantangan, ujian dan cobaan yang dihadapi dalam hidup.
Ujian dan cobaan yang pasti akan dihadapi setiap manusia. Ujian dan cobaan yang beratnya melebihi masalah perbedaan pilihan dalam pilpres maupun pilkada.
Oleh karena itu, menurut saya, perbedaan pilihan tidak perlu dipertajam. Apalagi dibuat kajian dalam forum-forum 'ilmiah'.
Biarkan itu mengalir dalam ruang batin masyarakat Indonesia yang multikultur.
Toh, manusia juga sudah dibekali dengan sikap saling mengasihi satu sama lain oleh sang Pencipta.
Yang perlu dilakukan hanyalah 'mentradisikan' sikap saling mengasihi itu, bukan pebedaan pilihannya.
Baca juga: Harapan para Sopir Bus di HUT ke-401 Kota Manado Sulawesi Utara
Maka dari itu, dalam pertemuan tersebut, saya mencoba menyoroti kembali output yang menjadi target KPU dalam setiap sosialisasi yang dilakukan yakni memberikan pemahaman kepada masyarakat agar "menjadi pemilih yang cerdas dan berintegritas”.
Kata 'cerdas' juga merupakan amanat UUD 1945, di mana negara memiliki amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Akan tetapi, kehidupan kekinian kita yang dipenuhi 'notifikasi' yang tiada henti, kehidupan yang dipenuhi polusi digital, tidak semudah itu mengartikan apa arti 'cerdas'.
Dalam kurikulum perguruan tinggi, mahasiswa dapat dikatakan cerdas ketika mampu memenuhi apa yang dinamakan kriteria “HOTS” (Higher Order Thinking Skills).
Maksunya kemampuan berpikir tingkat tinggi untuk melakukan analisis, pemetaan, pemecahan masalah, desain, kreasi, dan lain sebagainya.
Artinya, cerdas adalah saat akal-pikiran pemberian Tuhan digunakan dengan sebaik-baiknya.
Akan tetapi, kemudahan akses terhadap ilmu pengetahuan yang difasilitasi teknologi semacam ChatGPT bersama kelompoknya sesama AI, justru menjadikan kecerdasan manusia mengalami semacam 're-definisi'.
Buat apa capek-capek berfikir padahal teknologi sudah menyiapkannya?
Melihat teknologi yang memanjakan manusia dan kemudian ketergantungan manusia terhadap teknologi tak dapat terelakkan, maka boleh dikatakan bahwa kecerdasan memang sedang mengalami 're-definisi'.
Yang awalnya merupakan kemampuan menggunakan akal-budi sebaik-baiknya, berubah menjadi 'efisiensi'.
Jika manusia telah 'terbantukan' oleh teknologi dalam setiap aspek kehidupan yang dijalani, mulai dari memesan makanan, belajar, hingga diskusi menggunakan Chat GPT, maka ia manusia cerdas.
Termasuk memanfaatkan teknologi untuk membantu siswa/mahasiswa supaya tidak lagi 'capek-capek berpikir'.
Pergeseran makna kecerdasan inilah yang kemudian menjawab pertanyaan “Kenapa sebagian orang memilih pemimpin politik tidak lagi berp'kir menggunakan “kecerdasan'?
Pada prinsipnya, bukan karena pemilih itu tidak cerdas. Namun telah terjadi pergeseran makna terkait kecerdasan itu sendiri, sebagaimana telah dijelaskan.
Poin kedua yang saya jelaskan adalah terdapat variabel-variabel tertentu yang mendorong pemilih untuk menentukan pilihannya.
Saya kemudian menjelaskan variabel tersebut dengan menggunakan satu referensi tentang dorongan (Nudge) yang merupakan hasil riset Richard H. Thaler dan Cass R. Sunstein.
Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa pada prinsipnya, manusia tidak netral dalam menentukan pilihan.
Selalu ada dorongan yang membuat seseorang memilih, walaupun orang tersebut berpikir bahwa dia memilih dengan bebas sesuai kehendaknya.
Sebagai contoh, pernahkah pembaca yang budiman memiliki pengalaman ketika hendak beli sesuatu, katakanlah beli rokok, namun yang terjadi justru membeli lebih dari satu item yang tidak direncanakan sebelumnya? (Apalagi jika baru gajian).
Awalnya hanya niat beli rokok, tapi di luar rencana, tiba-tiba juga turut beli biskuit, kopi, dan minuman dingin.
Atau pergi ke mal dengan niat jalan-jalan, namun yang terjadi justru uang belanja habis karena membeli sesuatu yang tidak ada dalam rencana sebelumnya?
Inilah apa yang dimaksud Thaler sebagai “Arsitek Pilihan yang mengatur konteks di mana orang membuat keputusan”
Dasar berpikir ini juga menjelaskan kenapa salah satu paslon dalam pemilu yang telah merancang road map untuk membangun daerah demi kesejahteraan rakyat dalam suatu kampanye yang memakan banyak biaya, namun dipatahkan oleh satu dorongan 'arsitek pilihan' semacam serangan fajar.
Lantas, mengapa beberapa pemilih lebih terpengaruh dengan daya dorong serangan fajar ketimbang kampanye yang mempresentasikan pembangunan jangka panjang untuk kesejahteraan rakyat?
Jawaban pertanyaan ini terkait penjelasan saya di point ketiga yakni tentang dua sistem berfikir manusia, yang turut berpengaruh dalam menentukan pilihan.
Politik uang atau dikenal dengan 'serangan fajar' telah dilarang dalam Undang-undang sebagaimana tertuang dalam Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), 515 dan 523 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (selengkapnya, silahkan googleing atau gunakan Chat GPT).
Saya kurang pfaham apakah masyarakat Indonesia telah terpapar politik uang atau tidak.
Namun, katakanlah sebagian orang telah terpapar 'serangan fajar'. Pertanyaannya, mengapa lebih memilih serangan fajar ketimbang visi-misi para paslon?
Dalam point ketiga, saya menjelaskan bahwa dalam riset Richard Thaler yang dijelaskan dalam buku Nudge bahwa pada prinsipnya manusia memiliki dua sistem berpikir yaitu sistem berpikir otomatis dan sistem berpikir reflektif.
Sistem otomatis adalah sistem cepat dan naluriah. Tidak melibatkan apa yang biasanya dikaitkan dengan 'berpikir'.
Ketika orang meloncat saat ada ular tiba-tiba melintas di dekatnya atau mengumpat saat menginjak kotoran, maka orang tersebut menggunakan sistem otomatis.
Studi Leiberman (2002) dan Ledoux (1998) menjelaskan bahwa sistem otomatis terkait dengan bagian-bagian otak yang paling tua yang juga dimiliki kadal.
Sementara itu, sistem reflektif lebih disengaja dan sadar diri. Kriteria HOTS, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, merupakan sistem reflektif.
Sebagian besar orang juga cenderung memakai sistem reflektif ketika memutuskan akan memilih jalan yang mana dalam suatu perjalanan.
Ketika menyusun tulisan ini, saya menggunakan sistem reflektif.
Dengan kata lain, sistem otomatis merupakan reaksi naluriah, sedangkan sistem reflektif adalah pemikiran sadar.
Dalam konteks pemilu, dua sistem berpikir ini yang akan bertarung dalam diri pemilih. Pertarungan akan semakin sengit saat pemilih berada di TPS.
Dalam hal ini, istilah 'serangan fajar' memang betul-betul layak digunakan dalam politik uang.
Ia benar-benar 'menyerang' sistem reflektif pemilih menjelang pemungutan suara.
Saat sistem reflektif kalah bertarung karena dihantam serangan fajar, maka pemilih akan menggunakan sistem otomatis di kotak suara.
Jadi, mengapa beberapa orang masih terpapar dengan politik uang padahal sudah ada Undang-Undang yang melarangnya, bukan karena sekedar bahwa politik uang telah menjadi tradisi.
Itu lebih kepada 'serangan fajar' yang menghantam sistem berpikir reflektif manusia, sehingga sistem berpikir otomatis yang memenangkan pertarungan, menjadi pendorong tunggal bagi beberapa pemilih untuk menentukan pilihannya.
Tulisan ini tentu kehadirannya mungkin tidak terlalu membawa kontribusi yang berarti bagi demokrasi.
Namun mudah-mudahan dapat menjadi pemantik bagi pikiran-pikiran cemerlang khususnya untuk adik-adik mahasiswa yang saat ini dihadapkan dengan polusi teknologi yang memanjakan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.